Aku sendiri ketika masih di indonesia bisa dibilang jarang sekali dibentak oleh kondektur bis bahkan seingatku tidak pernah,karena kebanyakan kondektur bis sendiri mengenalku.Awal aku mulai mengenal mereka adalah sejak aku merantau ke sebuah kota yang jaraknya lumayan jauh dari kampung halaman ku,Bukittinggi
Adat merantau yang masih kuat di kampung ku,membuat ayahku memberikan pilihan beberapa sekolah setelah ku tamat SD yang berada di luar kampungku.Takdir membawa ku untuk menentukan pilihan di Sebuah pondok pesantren bernama Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang,
Model merantau yang kuanut tentu saja tidak se-ekstrem yang teman2 bayangkan (apalagi yang sudah menonton film “Merantau”).Aku sendiri masih diizinkan untuk pulang kampung maksimal 1 bulan sekali.Nah,intensitas kepulangan ku yang lumayan sering (1 kali sebulan) membuat para kondektur dan supir bis familiar dengan wajahku.Bahkan ada yang mencatat jadwal2 kepulanganku.
Nah dari sini bermula lah keakraban ku dengan beberapa kondektur dan supir bis.Bahkan dalam beberapa kesempatan pun aku lah yang menjadi kondektur tersebut.Mengangkut barang penumpang,meminta ongkos,bahkan berdiri dalam bus dengan jarak ratusan kilo pun sudah ku lakoni.ternyata para kondektur memiliki ciri khas yang unik dalam bersosialisasi.Dan aku tidak mau menceritakannya ,bagi yang ingin merasakan dan mengetahuinya silahkan mendaftar jadi kondektur bis di tempat teman2 berada.Bagi ku sungguh pengalaman yang luar biasa bersosialisasi dengan mereka---tentunya tanpa bentakan.
***
Nah hari ketiga di mesir,untuk pertama kali nya aku menaiki bis “mesir”.Sebenarnya kalau dipandang dari sisi benda alias bisnya,itu bis kedua yang kunaiki.Bis pertama mesir adalah bis yang menjemput kami di bandara,bedanya bis tersebut adalah carteran para senior kami di mesir,dan tentunya tanpa kondektur.
Bis pertama yang ku naiki ini besarnya kira-kira sama dengan bis Lorena yang ku tumpangi ketika berangkat mengikuti Advance Leadership Training PII di Jawa Barat,dan sama ukurannya dengan bis ANS jurusan Padang-Jakarta.Sekilas aku tidak melihat perbedaan arah jurusan dari setiap bis di terminal (mahattoh0 zahro’ tersebut.Mungkin karena bentuk dan warnanya yang sama serta hanya sedikit papan pengumuman rute bis tersebut.Aku sendiri pada waktu itu belum tahu di Mesir bagian mana Universitas Al-Azhar berada.
Aku bersama teman2 langsung mengambil bangku di deretan paling belakang.Kebetulan bangku di depan rata-rata sudah diisi,dan supaya kami tidak terpisah , kami biarlah berkumpul di bangku belakang saja.Sayangnya kami belum menyadari bahwa bangku deretan belakang ternyata berada di atas mesin bis yang sangat panas dan mengeluarkan asap yang lumayan mengganggu.Kami baru menyadari setelah supir bis menginjak gas pertamanya.Sungguh menyedihkan.
Bangku bis pun sudah terisi penuh,dan bis bersiap – siap untuk berangkat.Supir bis sudah siap di depan dan seseorang yang ku ketahui sebagai kondektur pun mulai menagih para penumpang.Senior pun kemudian membayar ongkos untuk kami semua.kami pun di berikan semacam karcis.Setelah kurang lebih satu menit berjalan,bis berhenti di sebuah halte.Beberapa penumpang pun naik di pintu belakang dekat kami semua duduk.Kekagetan ku pun bermula,karena tiba-tiba si kondektur berteriak dengan keras “yalla ya syabab khus uddem...yalla..khus ghowwah”.Jantungku pun memompa darah dengan cepat.Aku mengira ada yang salah dengan kami karena terlihat si kondektur menatap kami dengan tatapan tajam.Aku pun mencoba untuk tetap tenang meskipun jantung ku hampir copot rasanya.Beberapa saat kemudian bis pun berhenti di halte berikutnya,beberapa orang naik dan kejadian tadi pun mulai lagi,sang kondektur berteriak dengan keras dengan kata-kata yang sama “yalla ya syabab khus uddem...yalla..khus ghowwah”.Dengan wajah pias, kutatap senior ku.Senior ku Cuma tersenyum dengan kekagetan ku.
Itulah fenomena “horror” kedua yang kurasakan ketika baru berada di mesir.Bahwa ternyata suara orang mesir itu “SANGAT KERAS SEKALI” dan mereka “SUKA TERIAK-TERIAK”.Aku tidak tahu penyebabnya.Yang ku tahu dulu waktu di indonesia hanya mereka yang tinggal di pesisir pantai yang teriak keras,itupun karena dipengaruhi oleh angin laut yang kencang yang membelokkan arah suara mereka.Kairo sendiri jauh dari pantai.
Perjalanan menuju Kampus Universitas Al-Azhar ternyata lumayan jauh.Kurang lebih membutuhkan waktu 1 jam untuk sampai ke halte Masyikhoh azhar tempat kami akan turun.Ketika turun bis aku sempat berpikir bagaimana jika aku yang berada dalam posisi berdiri dalam bis tadi.Kalau Cuma sekedar berdiri sendirian saja sih tidak masalah,parahnya harus berdiri diantara keringat dan bau manusia yang panas,satu jam lagi.Di kemudian hari , hal –hal yang kuceritakan ini akhirnya telah menjadi kebiasaan sehari-hari dan kucoba untuk menikmatinya.
Kesulitan dalam memahami bahasa arab amiyah mesir sejujurnya menjadi kendala terbesar dalam bersosialisasi disini.Sering terjadi hal- hal yang membuatku salah sangka terhadap omongan orang sekitar (orang mesir tentunya).Apalagi karena omongan mesir dilakukan layaknya mereka saling berbicara dari tempat yang jauh,berteriak dengan suara yang keras.Pada masa-masa awal di mesir hal ini sering ku alami.Jantungku hampir mau copot setiap kali orang mesir berteriak (atau sekedar bertegur sapa) di sampingku.Belum lagi horror kalau tiba-tiba orang mesir menanyakan sesuatu kepada kami dengan bahasa amiyah yang cepat dan sulit dipahami.Untungnya senior mengajarkan kami kalimat pamungkas untuk menolak pembicaraan orang mesir, bunyinya “ ma’lesy,ana musy fahim,ana gadid hena” (maaf,aku tak paham,aku baru disini).Sungguh ungkapan kejujuran yang lugu namun diucapkan dengan penuh keikhlasan.
***
Di kemudian hari,ketidak-tahuan akan bahasa arab amiyah mesir membuat horror yang paling parah ku alami selama di mesir...(bersambung)
No comments:
Post a Comment