Lantas kemana para manusia ?
11:36 AM
Manusia pun kehilangan kemanusiaannya......
Saya sengaja memulai curhatan ini dengan sebuah hipotesa
bahwa memang manusia sudah kehilangan kemanusiaannya. Ada banyak rasa yang
sudah mati. Ada banyak nilai yang sudah hilang. Padahal, manusia menjadi
manusia justru karena ada rasa, karena ada nilai. Kita bisa lihat buktinya di
sekitar kita. Tidak lagi yang peduli dengan rintihan kawannya yang memohon
bantuan, apalagi dengan rintihan orang asing berbaju lusuh yang menengadahkan
tangannya lemah sedangkan kakinya berbalut darah. Ah, saya lupa, rintihan yang
mestinya bukti butuh pertolongan pun sekarang sudah dimanipulasi untuk meraup
harta kekayaan. Manusia, sekali lagi, sudah tidak lagi jadi manusia.
Hubungan kemanusiaan kita pun sudah jadi begitu absurdnya
sampai untuk berpelukan dengan orang tua pun kita berat. Kita lebih suka mengakrabkan
diri lewat teman social media yang tidak pernah kita temui ketimbang
mempertahankan hubungan dengan teman sekamar. Argumentasi yang mestinya
disampaikan secara langsung agar jelas titik terangnya, justru kita bikin
semakin tidak jelas lantaran kita lebih suka menyampaikannya via telpon, bahkan
inbox facebook.
Pun rasa pribadi yang menjadi kelemahan sekaligus kebanggaan
kita, sudah terlalu mudahnya kita umbar. Bahkan kita teriakkan di dunia maya
dengan lantangnya. Hati yang mestinya jadi tempat rahasia kita pun tiada lagi
gunanya. Apalah daya, sang hati tidak terlalu berarti ketimbang jejaring yang
selalu bertanya “Apa yang sedang anda pikirkan”. Oh, apakah saya salah
mengartikannya ? yang kita pikirkan, bukan yang kita rasakan.
Hubungan seksualitas yang dulunya adalah kehormatan sekarang
tidak lebih berharga dari membeli sekantong permen bagi anak kecil. Jangan
heran kalau bisnis alat kuat dan galian rapet semakin subur. Ini bukan tanda
positif, ini lambang kehancuran hubungan suci yang dulunya hanya bisa
didapatkan dengan mengikrarkan di depan penghulu, dan kini tak lebih mahal dari
bakwan.
Cinta pun terumbar layaknya jamur di musim hujan. Tak
terletak pada tempatnya. Tak disampaikan pada orang yang tepat. Bahkan tidak
diucapkan pada waktu yang tepat. Seorang perempuan bodoh begitu mudah berucap “Aku
cinta padamu” pada pacarnya yang menghargainya tak lebih seperti anjing
menghargai tulang. Seorang laki-laki hina, mengejar-ngejar wanita dan
menanggalkan kehormatannya agar kata “Cinta”nya bisa diterima. Seorang anak
malah terkunci mulutnya ketika ingin berkata “ Aku cinta padamu wahai ayah dan
bunda “. Yang lebih parah, seorang makhluk pun tak teringat untuk berucap “Aku
cinta padamu wahai Rasul Allah, Aku cinta padamu” bahkan untuk berucap “Aku
mencintaimu Ya Allah, izinkan aku mencintaiMu”.
Ketidaknyamanan justru menjadi tujuan, bukan sarana
kehidupan. Kita harus impikan hidup yang nyaman. Dan untuk mencapainya, kita
memang harus memanfaatkan posisi tidak nyaman. Lucunya, kenyamanan hari ini
hanya sekedar saran dan justru tidak nyaman yang dijadikan tujuan. Hidup kita
pun absurd. Tidak bermakna, gersang, lantaran tujuan hidup kita tidak lain
adalah tidak nyaman itu sendiri.
Rasa cemburu pun seolah-olah sudah menjadi kebiasaan, sudah
menjadi hobi, sudah menjadi candu baru yang susah dilepaskan. Bahkan, tak
jarang kita cemburu terhadap sesuatu yang justru tidak mesti kita cemburui.
Hubungan antara suami istri pun retak karena rasa cemburunya tidak dikelola.
Justru mereka jadikan rasa cemburu sebagai alat hukum untuk saling menyakiti,
lupa tujuan awal menikah.
Ah, manusia sepertinya tidak lagi jadi manusia. Kejujuran
sudah hilang. Curang dianggap sebagai alat legal untuk memperoleh sesuatu,
bahkan yang lebih parah dianggap sebagai sebuah kecelakaan yang patut untuk
diobati dan dibudi dayakan, bukan sebagai penyakit yang harus dipangkas.
Meninggalkan seseorang pun dianggap sebagai satu-satunya opsi. Tanpa disadari sakit
yang ditinggalkan dan meninggalkan sama perihnya.
Atau jangan-jangan kita menikmati kesakitan itu sendiri ? lantas kemana para manusia ?
1 komentar
namanya juga jaman edan. mungkin ini adalah tanda-tanda dunia mau kiamat ya......
ReplyDelete