Ibarat serial korea, hanya penonton yang emosional saat pemeran utama dizalimi oleh tokoh antagonis. hanya penonton yang sedih saat tokoh antagonis kelihatannya gembira. Penonton marah, sedih, dan akhirnya bertepuk gembira sembari mengusap air mata saat ending serialnya berakhir bahagia.Saat sang tokoh utama mendapatkan hati pujaannya, dan saat tokoh antagonis berujung duka.
Tetapi apakah rasa yang sama dialami oleh sutradara atau pembuat skenarionya ? jelas tidak. Sutradara tahu bahwa si tokoh utama akan dizalimi, penulis skenariolah yang mengatur bahwa suatu saat si tokoh antagonis akan berujung duka. Pengetahuan dan kesadaran mereka terhadap apa yang terjadi, membuat segala rasa yang menimpa penonton menjadi sirna. Bagi mereka berdua, ini hanyalah akting. Ini memang seperti yang direncanakan, tidak hal yang tiba-tiba.
Mungkin itu juga yang dirasakan oleh manusia yang menyadari bahwa hidup di dunia adalah akting. Hidup ini adalah sandiwara kata almarhumah nike ardila. Hidup ini adalah akting manusia yang menjalankan skenario Tuhan, yang kita sebut dengan takdir.
Dalam diri, kita sebenarnya ada dua entitas. Pertama, diri kita yang memiliki kesadaran tersebut. Diri kita yang betul-betul paham bahwa segala kesuksesan dan kegagalan, segala anugerah dan bencana, sebenarnya adalah kreasi skenario Tuhan untuk diri kita. Sehingga apapun yang terjadi, rasa kita sama, konstan, regid, tidak berubah. apapun itu, maka ya terserah Allah saja lah. Tidak sedih saat kehilangan, pun tidak bahagia saat diberikan.
Tetapi kita juga mempunyai entitas kedua yakni tampilan fisik kita yang merupakan aktor dari segala keinginan kita. Aktor inilah yang menangis saat sedih, tersenyum saat bahagia. Aktor inilah yang merintih saat ditimpa musibah dan terbahak saat mendapatkan anugerah. Para penonton (yaitu orang-orang di sekeliling kita) tidak akan tahu dengan kehendak entitas kesadaran kita. yang mereka nilai adalah tampilan fisik kita yang merupakan aktor diri kita.
Hanya saja, tampilan fisik yang merupakan aktor itu, terkadang juga bisa memiliki kehendak yang berlawanan dengan kehendak kesadaran diri kita. Tampilan fisik kita paham bahwa para penonton hanya memahami apa yang terlihat, bukan apa yang kita sadari. Penonton hanya akan menghukumi kita berdasarkan akting kita, bukan apa yang kita ketahui.
Itulah kenapa saat ada musibah, kesadaran diri kita mengatakan bahwa tidak sudah sedih, tidak usah menangis, bahkan tidak usah bereaksi. Ini hanya bagian dari skenario Tuhan yang harus kamu jalani. Ini adalah takdir. Terima saja.
Tetapi kalau kita tidak bereaksi, tidak sedih, tidak menangis, maka penonton akan protes. Mereka akan mempertanyakan akting kita. Maka mau tidak mau, tampilan fisik kita pun mulai memainkan kehendaknya demi penonton. Air mata pun mulai mengalir di pipi, badan berguncang, suara bergetar. Penonton pun ikut hanyut dalam aktingmu, walau kesadaran diri tetap bilang bahwa ini hanya bagian dari skenario Tuhan, tidak ada yang aneh.
Kesadaran diri kita mungkin akan tertawa atau setidaknya tersenyum melihat kehendak akting tampilan fisik kita yang menangis tersedu-sedu saat dikecewakan atau saat ia tertawa terbahak-bahak saat mendapatkan nikmat.
Hanya saja, ada juga manusia yang tidak sadar bahwa ia mempunyai kesadaran diri. Terlalu sering akting sehingga lupa bahwa ia punya kesadaran, punya dirinya yang lebih hakiki, yang lebih memahami apa itu hidup. Nikmat pun menggerusnya untuk terus berakting bahagia, bahkan terkadang dengan cara menzhalimi orang lain. Kesedihan pun menghancurkannya seolah hidup dan kehidupan sudah berakhir.
Tanpa kesadaran diri, sedih kita bisa tidak tertakar, bahagia kita pun bisa kelewatan. Kita bisa tidak memahami bahwa akting kita tetap harus sesuai skenario Tuhan bernama takdir.
***
Untuk memahami skenario Tuhan, kita perlu iman. Iman lah yang mengajarkan kita bahwa dalam berakting harus ada arahan, ada batasan. Iman lah yang mengarahkan bahwa ucapan yang mesti ada saat sedih adalah ucapan 'ini', sebagaimana perkataan saat bahagia adalah kalimat 'itu'. Iman mengatur kita untuk tidak berakting melebihi aturan yang ada. Dan kesadaran diri kitalah yang mempertahankan iman itu.
Seperti saya malam ini. Kesadaran diri saya tidak kaget dengan berita meninggalnya salah seorang santri terbaik yang pernah saya ajar. Saya paham sepenuhnya bahwa ini adalah skenario Allah. Memang sudah begitu mestinya. Tidak perlu sedih, tidak perlu tersedu-sedu.
Tetapi kehendak tampilan fisik saya lain. Ia harus berakting bahwa selayaknya setiap kehilangan akan menyebabkan kesedihan. Harus ada tangisan. Maka air mata saya pun tidak bisa saya bendung. Ia berkehendak begitu. Walaupun kesadaran diri saya bilang bahwa ini adalah takdir, tetapi tampilan fisik saya memiliki kehendak lain. Maka tampilan fisik saya harus ikut aturan main dari iman. Tidak boleh ada ucapan yang melampaui batas, tidak boleh ada kesedihan melebihi takarannya.
Pada akhirnya, kesadaran diri akan mempertahankan status kita sebagai makhluk Allah. Dan tampilan fisik kita akan menyatakan status kita sebagai manusia. Kolaborasi keduanyalah yang membuat hidup ini indah, wajar, dalam rangka mencapai redhoNya. Tetaplah sedih, biarlah menangis, tanpa menghilangkan kesadaran kita bahwa ini adalah takdirNya yang harus kita terima, dan suatu saat juga akan menyapa kita.
innalillahi wa inna ilaihi raji'un
Tetapi apakah rasa yang sama dialami oleh sutradara atau pembuat skenarionya ? jelas tidak. Sutradara tahu bahwa si tokoh utama akan dizalimi, penulis skenariolah yang mengatur bahwa suatu saat si tokoh antagonis akan berujung duka. Pengetahuan dan kesadaran mereka terhadap apa yang terjadi, membuat segala rasa yang menimpa penonton menjadi sirna. Bagi mereka berdua, ini hanyalah akting. Ini memang seperti yang direncanakan, tidak hal yang tiba-tiba.
Mungkin itu juga yang dirasakan oleh manusia yang menyadari bahwa hidup di dunia adalah akting. Hidup ini adalah sandiwara kata almarhumah nike ardila. Hidup ini adalah akting manusia yang menjalankan skenario Tuhan, yang kita sebut dengan takdir.
Dalam diri, kita sebenarnya ada dua entitas. Pertama, diri kita yang memiliki kesadaran tersebut. Diri kita yang betul-betul paham bahwa segala kesuksesan dan kegagalan, segala anugerah dan bencana, sebenarnya adalah kreasi skenario Tuhan untuk diri kita. Sehingga apapun yang terjadi, rasa kita sama, konstan, regid, tidak berubah. apapun itu, maka ya terserah Allah saja lah. Tidak sedih saat kehilangan, pun tidak bahagia saat diberikan.
Tetapi kita juga mempunyai entitas kedua yakni tampilan fisik kita yang merupakan aktor dari segala keinginan kita. Aktor inilah yang menangis saat sedih, tersenyum saat bahagia. Aktor inilah yang merintih saat ditimpa musibah dan terbahak saat mendapatkan anugerah. Para penonton (yaitu orang-orang di sekeliling kita) tidak akan tahu dengan kehendak entitas kesadaran kita. yang mereka nilai adalah tampilan fisik kita yang merupakan aktor diri kita.
Hanya saja, tampilan fisik yang merupakan aktor itu, terkadang juga bisa memiliki kehendak yang berlawanan dengan kehendak kesadaran diri kita. Tampilan fisik kita paham bahwa para penonton hanya memahami apa yang terlihat, bukan apa yang kita sadari. Penonton hanya akan menghukumi kita berdasarkan akting kita, bukan apa yang kita ketahui.
Itulah kenapa saat ada musibah, kesadaran diri kita mengatakan bahwa tidak sudah sedih, tidak usah menangis, bahkan tidak usah bereaksi. Ini hanya bagian dari skenario Tuhan yang harus kamu jalani. Ini adalah takdir. Terima saja.
Tetapi kalau kita tidak bereaksi, tidak sedih, tidak menangis, maka penonton akan protes. Mereka akan mempertanyakan akting kita. Maka mau tidak mau, tampilan fisik kita pun mulai memainkan kehendaknya demi penonton. Air mata pun mulai mengalir di pipi, badan berguncang, suara bergetar. Penonton pun ikut hanyut dalam aktingmu, walau kesadaran diri tetap bilang bahwa ini hanya bagian dari skenario Tuhan, tidak ada yang aneh.
Kesadaran diri kita mungkin akan tertawa atau setidaknya tersenyum melihat kehendak akting tampilan fisik kita yang menangis tersedu-sedu saat dikecewakan atau saat ia tertawa terbahak-bahak saat mendapatkan nikmat.
Hanya saja, ada juga manusia yang tidak sadar bahwa ia mempunyai kesadaran diri. Terlalu sering akting sehingga lupa bahwa ia punya kesadaran, punya dirinya yang lebih hakiki, yang lebih memahami apa itu hidup. Nikmat pun menggerusnya untuk terus berakting bahagia, bahkan terkadang dengan cara menzhalimi orang lain. Kesedihan pun menghancurkannya seolah hidup dan kehidupan sudah berakhir.
Tanpa kesadaran diri, sedih kita bisa tidak tertakar, bahagia kita pun bisa kelewatan. Kita bisa tidak memahami bahwa akting kita tetap harus sesuai skenario Tuhan bernama takdir.
***
Untuk memahami skenario Tuhan, kita perlu iman. Iman lah yang mengajarkan kita bahwa dalam berakting harus ada arahan, ada batasan. Iman lah yang mengarahkan bahwa ucapan yang mesti ada saat sedih adalah ucapan 'ini', sebagaimana perkataan saat bahagia adalah kalimat 'itu'. Iman mengatur kita untuk tidak berakting melebihi aturan yang ada. Dan kesadaran diri kitalah yang mempertahankan iman itu.
Seperti saya malam ini. Kesadaran diri saya tidak kaget dengan berita meninggalnya salah seorang santri terbaik yang pernah saya ajar. Saya paham sepenuhnya bahwa ini adalah skenario Allah. Memang sudah begitu mestinya. Tidak perlu sedih, tidak perlu tersedu-sedu.
Tetapi kehendak tampilan fisik saya lain. Ia harus berakting bahwa selayaknya setiap kehilangan akan menyebabkan kesedihan. Harus ada tangisan. Maka air mata saya pun tidak bisa saya bendung. Ia berkehendak begitu. Walaupun kesadaran diri saya bilang bahwa ini adalah takdir, tetapi tampilan fisik saya memiliki kehendak lain. Maka tampilan fisik saya harus ikut aturan main dari iman. Tidak boleh ada ucapan yang melampaui batas, tidak boleh ada kesedihan melebihi takarannya.
Pada akhirnya, kesadaran diri akan mempertahankan status kita sebagai makhluk Allah. Dan tampilan fisik kita akan menyatakan status kita sebagai manusia. Kolaborasi keduanyalah yang membuat hidup ini indah, wajar, dalam rangka mencapai redhoNya. Tetaplah sedih, biarlah menangis, tanpa menghilangkan kesadaran kita bahwa ini adalah takdirNya yang harus kita terima, dan suatu saat juga akan menyapa kita.
innalillahi wa inna ilaihi raji'un