Periodisasi Perkembangan Mazhab Syafi’i (Bagian 1)
8:20 PM
-Bagian 1-
Prolog
Gemilang dan mapannya mazhab-mazhab fiqh yang
kita temukan hari ini bukanlah berjalan tanpa proses. Sebagai sebuah aliran
yang diawali dari fikrah personal, mazhab fiqh telah menjalani proses yang
begitu panjang hingga akhirnya besar dan kokoh serta diterima oleh khalayak.
Ada proses dialog dan perdebatan panjang dalam perjalanannya. Itulah kenapa
dari sekitar 80 lebih mazhab fiqh yang pernah ada dalam khazanah Islam, hanya 4
yang bisa bertahan utuh sampai hari ini.
Ada mazhab yang tidak sempat berkembang
karena literatur dan referensi pokoknya lenyap seiring berpulangnya para
pejuangnya seperti mazhab Ats-Tsauri dan Awza’i. Ada pula mazhab yang mapan
namun tidak ada pejuang yang menegakkan dan menyebarkannya seperti mazhab
Al-Laits bin Sa’ad. Bahkan ada pula mazhab yang lumpuh lantaran referensi
utamanya banyak yang lenyap dan yang sempat diselamatkan pun tidak
diperjuangkan seperti mazhab Zhahiri. Hanya mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali yang bertahan dengan kokoh hingga hari ini. Yang lainnya dianggap tidak
kuat dan mapan serta dipertanyakan keotentikannya seperti Mazhab Zaidi dan
Ja’fari (dalam Syiah), Mazhab Ibadhi (dalam Khawarij) serta Mazhab Zhahiri
sendiri.
Hal yang menarik sebenarnya adalah ketika
kita mencoba membaca sejarah tentang bagaimana 4 mazhab ini bisa bertahan.
Bagaimana para pendirinya membuat kaedah yang benar-benar murni dan berbeda
dari konsep yang dimiliki mazhab lain ? Bagaimana ia bisa mempertahankan konsep
tersebut dalam percaturan intelektual yang di era itu mencapai puncaknya ?
Bagaimana kemudian para pejuangnya menyebarkan mazhab tersebut ? sampai
akhirnya dinamika dan dialektika para pejuang mazhab berhasil memunculkan
sistem yang benar-benar otentik dan ter-kodifikasi dari masing-masing mazhab
yang membuat mereka berbeda dari mazhab yang lain.
Dalam beberapa tulisan para pakar mengenai
hal ini, mereka membagi kajian terhadap dinamika perkembangan mazhab dalam
beberapa fase. Dimulai dari fase Konstruksi Pemikiran dan Konsep oleh Pendiri
Mazhab hingga fase kemapanannya sebagai sebuah mazhab serta dinamika di
dalamnya. Tulisan kali ini mencoba mengungkap secara sederhana tentang fase-fase
perkembangan mazhab Imam Syafi’i. Sebagai mazhab yang menurut Syah Waliyullah
Ad-Dihlawi “Mazhab yang paling dinamis dalam memproduksi Mujtahid”,
tentunya sangat menarik untuk menilik perkembangan dan dinamika yang terjadi di
dalamnya. Apalagi saat ini, mazhab Syafi’i sangat banyak dianut oleh masyarakat
dunia, terutama di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ia merupakan
mazhab dengan penganut terbanyak nomor 2 dibawah mazhab Hanafi. Tulisan ini
tentu saja tidak mewakili seutuhnya apa yang benar-benar terjadi dalam mazhab
Imam Syafi’i ini, namun setidaknya penulis berharap dapat menjadi tambahan
vitamin intelektualitas kita terhadap kajian-kajian mazhab dalam Islam.
Periodisasi Perkembangan Mazhab Syafi’i
Tidak mudah untuk membaca perkembangan yang
terjadi dalam mazhab Syafi’i. Hal ini mengingat dinamika yang terjadi di
dalamnya sangatlah aktif. Walau berasal dari satu Imam Mazhab, namun
warna-warni perbedaan pendapat serta pergerakan yang terjadi sangatlah dinamis.
Untuk membaca perkembangannya, ada baiknya kita bagi kedalam beberapa fase.
Fase Pertama :
Konstruksi dan Pembangunan Kaedah Mazhab
Seperti yang kita ketahui bahwa masing-masing
mazhab memiliki pola dan kaedah tersendiri dalam proses penetapan hukum. Pola
dan kaedah ini secara umum tersimpan dalam tulisan-tulisan para Mujtahid Mutlaq
yang mendirikan mazhab. Selain itu, pola dan kaedah tersebut juga ada dalam
riwayat para murid yang langsung berguru kepada sang Imam Mujtahid.
Dalam mazhab Syafi’i, konstruksi pola dan
kaedah mazhabnya terbagi kedalam dua masa yakni masa Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Seperti yang kita ketahui bahwa Qaul Qadim adalah Hasil dari Aktifitas Ilmiah (Baca:
Ijtihad) Imam Syafi’i selama di Baghdad sebelum hijrah ke Mesir. Hasil-hasil
dari aktifitas ilmiah beliau tersebut baik berupa fatwa, pendapat serta
kitab-kitab yang sempat dituliskan. Kitab yang memuat pola dan kaedah
mazhabnya, tertuang dalam kitab beliau yang bernama “Al-Hujjah”. Selain itu,
hasil-hasil aktifitas ilmiah beliau juga diriwayatkan oleh murid-murid yang
langsung belajar pada beliau, diantaranya yang termasyhur adalah :
1. Imam
Abu Abdillah, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy-Syaibani (241 H)
2. Imam
Al-Harits bin Sureij Al-Baghdadi (236 H)
3. Imam
Abu Tsur, Ibrahim bin Khalid Al-Baghdadi (240 H)
4. Imam
Abu Ali, Husein bin Ali Al-Karabisi (245 H)
5. Imam
Abu Ali, Hasan bin Muhammad Az-Za’farani (260 H)
(Faidah) Dari 5 orang
periwayat Qaul Qadim beliau, yang paling tinggi kualitas riwayatnya adalah Imam
Az-Za’farani. Dan seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa Mazhab Syafi’i
adalah mazhab yang paling dinamis dan paling banyak menghasilkan Mujtahid, dari
5 orang periwayat Qaul Qadim beliau yang masyhur ini, 2 dari mereka sampai ke
derajat Mujtahid Mutlaq dan sempat mendirikan mazhab tersendiri yang berbeda
dari mazhab Imam Syafi’i. Mereka berdua adalah Imam Ahmad bin Hanbal (Pendiri
Mazhab Hanbali) dan Imam Abu Tsur (namun sayangnya mazhab beliau tidak bertahan
hingga hari ini).
Adapun Qaul Jadid adalah Hasil dari Aktifitas
Ilmiah (Baca: Ijtihad) Imam Syafi’i setelah hijrah ke Mesir. Sama dengan Qaul
Qadim, Qaul Jadid juga tersimpan dalam kitab-kitab karangan beliau serta dari
riwayat-riwayat murid beliau di Mesir. Kitab yang paling utama adalah Al-Umm.
Dalam kitab ini memuat banyak konsep, kaedah serta hasil ijtihad Imam Syafi’i.
Di samping itu, ada juga kitab Ar-Risalah yang sangat masyhur dalam Ushul Fiqh,
dan kitab-kitab lainnya.
Selain terdapat dalam kitab, pola dan kaedah
mazhab beliau juga tersimpan dalam riwayat murid-murid beliau di Mesir,
diantaranya yang termasyhur adalah :
1. Imam
Abu Ya’qub, Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi (231 H). Beliau adalah
Khalifah/Pengganti yang mengajar di majelis Imam Syafi’i setelah Imam wafat.
2. Imam
Abdul Aziz bin Imran Al-Khiza’i (234 H). Awalnya beliau bermazhab Maliki, namun
pindah ke mazhab Syafi’i ketika Imam Hijrah ke Mesir.
3. Imam
Harmalah bin Yahya (243 H)
4. Imam
Abu Ibrahim, Ismail bin Yahya Al-Muzani (264 H). Beliau adalah orang pertama
setelah Imam Syafi’i yang menulis kitab fiqh dalam Mazhab Syafi’i. Secara kemampuan
personal, beliau telah mencapai derajat Mujtahid Mutlaq, namun beliau lebih
memilih untuk berijtihad dalam koridor mazhab Syafi’i. Kitab beliau
(Al-Mukhtashar atau yang lebih dikenal dengan Mukhtashar Muzani) adalah sumber
utama dari kitab-kitab fiqh mazhab Syafi’i era setelahnya. Beliau memiliki
pengaruh dan peran yang sangat besar dalam memperjuangkan dan menyebarkan
mazhab Syafi’i.
5. Imam
Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi (270 H). Beliau adalah murid imam Syafi’i yang
paling akhir wafat. Riwayat beliau dari Imam Syafi’i adalah yang paling kuat
dan paling bagus dari murid-murid Imam Syafi’i lainnya. Peran beliau sangat
besar dalam menyebarkan mazhab Syafi’i. Rata-rata, sanad mazhab Syafi’i yang
dimilii ulama hari ini bersambung sampai ke beliau dari Imam Syafi’i (selain
dari jalur beliau, juga banyak yang dari jalur Imam Muzani, namun dari beliau
adalah yang paling bagus).
6. Imam
Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi (256 H)
7. Imam
Abu Musa, Yunus bin Abdil A’la (264 H)
Ada beberapa catatan penting tentang Qaul
Qadim dan Qaul Jadid beliau ini :
·
Qaul Jadid
bukanlah mazhab baru bagi Imam Syafi’i, namun itu bagian dari khazanah dinamika
Intelektual Imam Syafi’i.
·
Qaul Jadid
sendiri muncul sebagai bagian proses koreksi ulang Imam Syafi’i terhadap
hasil-hasil ijtihad beliau yang berlalu.
·
Dinamisasi
perubahan ijtihad Imam Syafi’i ini membuktikan bahwa kemampuan fiqh beliau
semakin tajam setelah bertemu dengan komunitas ilmiah di Mesir. Hal ini
menambah ketajaman nalar Fiqh beliau setelah sebelumnya hijrah dari satu daerah
ke daerah lain untuk menuntut ilmu. Beliau pernah merasakan fiqh Makkah, fiqh
Madinah, fiqh Yaman, fiqh Iraq dan fiqh Mesir, dimana masing-masing wilayah
memiliki ciri khas serta keutamaan tersendiri yang menguatkan nalar fiqh
beliau.
·
Nalar Fiqh
beliau juga ditunjang dari proses pembelajaran beliau kepada pakar-pakar fiqh
dimasa itu. Di Makkah beliau belajar Fiqhnya Ibn Abbas, di Madinah fiqhnya Madrasah
Hadits Imam Malik, di Yaman Fiqhnya Muadz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib, di
Iraq fiqhnya Madrasah Ahlu Ra’yi, dan di Mesir Fiqhnya Imam Al-Laits bin Sa’ad
dan Imam Awza’i.
Bisa dibilang bahwa saat beliau di Mesir,
selesai pula konstruksi dan pendirian mazhab Syafi’i. Mazhab beliau sangat
masyhur dan makruf ketika itu. Bahkan pengaruhnya di Mesir sampai “mengancam”
pengaruh mazhab Maliki yang besar dan mapan disana. Cukup banyak pakar-pakar
Fiqh yang pindah ke mazhab beliau saat itu. Pola, kaedah serta konsep beliau
sudah berdiri secara independen dan berbeda dari mazhab yang lain. Walau tentu
saja, bangunan mazhabnya tidaklah sedetail dan terstruktur rapi seperti yang
kita temukan sekarang. Saat itu, dalam Mazhab Syafi’i tidaklah terlalu banyak
corak pendapat seperti yang kita temukan hari ini.
(bersambung...)
1 komentar
Informasi yang bermanfaat uda... :)
ReplyDelete