Takut

11:49 AM

Ada yang masih ingat dengan film 3 idiot ? film besutan Rajkumar Hirani dan dibintangi oleh aktor terkenal –Aamir Khan- ini menghadirkan kualitas nilai yang luar biasa. Menceritakan tentang persahabatan 3 orang mahasiswa  di salah satu perguruan tinggi terkenal di India yang lulusannya selalu mendapatkan tempat strategis di dunia kerja (salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh penduduk negara berkembang seperti India).  

Ada 3 persfektif Mahasiswa sebagai entitas pelajar yang dimainkan oleh film tersebut. Farhan Qureshi, salah seorang mahasiswa yang passionnya justru dibidang fotografi, namun demi memenuhi kehendak orang tua, ia jalani juga tahun demi tahun disana. Walhasil, setiap tahun ia harus rela duduk di pojok, sebuah strata ranking yang diciptakan oleh rektor perguruan tinggi tersebut. Raju Rastoghi, salah seorang briliant yang berasal dari keluarga miskin. Beban hidup keluarga, ayah yang sakit-sakitan dan kakak perempuan yang belum menikah, menambah ketakutannya dalam belajar. Di otaknya telah terpatri tujuan bahwa ia harus berhasil agar hidup dia dan keluarganya berubah, sehingga ia lupa untuk menikmati pembelajaran itu sendiri.  Hasilnya, ia harus menjalani tahun demi tahun tidak jauh beda dengan Farhan, duduk di pojok saat foto tahunan.

Tokoh ketiga adalah tokoh utama Film ini. Ranchodas Chanchad yang diperankan oleh Aamir khan mewakili seorang mahasiswa dengan niat murni belajar. Apa yang ia inginkan dari kuliah adalah belajar itu sendiri, dari siapapun dan dari manapun. Sikap ini ia buktikan dengan kritis saat bertanya. Selain itu, niat belajar yang terpatri di dadanya, membuat ia tidak patah arang ketika ada hambatan. Salah satu buktinya adalah ketika ia diusir dari kelas Mesin (lantaran mengerjai dosennya yang berpikir tekstual), ia justru masuk kelas lain dan mendapatkan ilmu disana.
***
Nah, kali ini saya ingin mencoba membahas sebuah persfektif dari sosok Raju Rastoghi. Bagi yang sudah pernah menonton film ini, jelas tahu bahwa ia adalah sosok dengan ciri khas selalu berbaju ala India. Di tangannya terpasang begitu banyak cincin yang ia percayai dapat membantu segala kesulitannya. Tujuannya kuliah hanya satu, perbaikan nasib keluarganya.

Beban demi beban pun menghimpit pundaknya. Ketakutan demi ketakutan perlahan menghilangkan identitas dirinya yang sebenarnya seorang yang briliant dan cerdas sejak kecil. Ketika ia gagal dalam belajar, ketakutan pun datang. Ia tidak sempat menikmati belajar itu sendiri. Yang ia pikirkan adalah ia harus mendapatkan nilai yang terbaik. Ironisnya, beban itu malah membuat otaknya lemah bekerja dan tidak sempat menikmati belajar dari Ilmu pengetahuan itu sendiri. Otaknya yang briliant dan cerdas harus tewas dihadapan beban yang ia panggul sendiri.

Puncaknya adalah ketika Sang Rektor memberikan pilihan padanya untuk memilih Di-DO atau men-DO teman karibnya. Beban yang mencapai titik kulminanasi ini pun menyampaikannya pada satu kesimpulan, bunuh diri (agar semua masalah dan bebannya hilang). Beruntung sutradara film masih sayang dengannya. Ia selamat dan akhirnya belajar dari titik terpahit yang pernah ia jalani dalam hidupnya. Bahwa ketakutan telah menghilangkan identitas dirinya. Bahwa ketakutan telah menjauhkan dirinya dari arti sebuah pembelajaran. Bahwa ketakutan tidaklah menghasilkan solusi apa-apa selain kerusakan yang ia alami. Beruntung ia masih bisa kembali.

***
Takut adalah sifat alamiah manusia. Manusia sebagai makhluk mistis, senantiasa memiliki rasa takut pada apa yang ia anggap lebih berkuasa darinya. Sejarah membuktikan bahwa sebab kenapa nenek moyang menyembah pohon besar, laut, matahari, petir dan lain-lain adalah lantaran menganggap semua itu lebih berkuasa darinya.  Persoalannya adalah apakah kita itu takut pada hal yang benar atau tidak ? apakah ketakutan yang kita miliki itu tepat ?

Seorang pelajar, seringkali ditakut-takuti untuk agar jangan sampai ia tidak naik kelas. Bagi pelajar lain, seringkali ditakut-takuti agar jangan sampai rankingnya turun. Atau seperti hal klise yang kita temui setiap tahun, pelajar jangan sampai tidak lulus Ujian Nasional. Ketakutan ini akhirnya menghilangkan inti dari pembelajaran itu sendiri yakni belajar dan menyerap Ilmu pengetahuan. Ketakutan ini akhirnya menghasilkan pelajar tidak penting apa itu pengetahuan namun yang  jelas ia naik kelas, dapat ranking teratas serta lulus dengan nilai memuaskan. Apa itu pengetahuan, masa bodoh.

Seorang pekerja, ditakut-takuti untuk selalu berinovasi agar tidak dipecat. Ketakutan ini pun pada akhirnya membutakan akal sehat. Kreatifitas yang ia miliki, terbunuh oleh ketakutan akan target yang harus dicapai. Makanya jangan heran kalau kita temukan pekerja yang curang atau melakukan cara apa saja agar ia berhasil mencapai target.

Seorang aktifis dan organisatoris, ditakut-takuti oleh beban saat Laporan Pertanggung Jawaban mereka ditolak. Ditambah ketakutan bahwa jika mereka tidak berkegiatan, mereka akan dipandang rendah dan remeh. Ketakutan ini pun menghasilkan paling tidak dua jenis aktifis. Pertama, aktifis targetan dimana yang ia butuhkan adalah kegiatan sebanyak-banyaknya agar LPJ diterima dan dipuji. Tak peduli apakah prosesnya memberikan pelajaran dan nilai atau tidak. Kedua, aktifis pengecut, yang sebenarnya mempunyai potensi namun akhirnya lari dan membunuh potensi itu sendiri.

***
Sebagai sebuah penyakit, rasa takut itu harus disikapi dan ditelaah dengan bijak. Takut untuk tidak lulus itu wajar, namun jangan sampai mengalahkan rasa takut untuk tidak mendapatkan pelajaran. Takut target tidak tercapai itu wajar, namun jangan sampai mengalahkan takut untuk tidak jujur dalam bekerja. Takut saat menjadi aktifis wajar, namun jangan sampai mengalahkan ketakutan akan hilangnya rasa peduli.

Rasa takut itu harus diorganisir dengan tepat. Mestinya rasa takut tidak lulus harus dikesampingkan, dan diganti dengan rasa ingin belajar. Toh lulus namun memiliki kualitas yang bobrok juga bukan sebuah kebanggaan. Takut tidak mencapai target mestinya dihilangkan dulu. Berikan porsi yang lebih besar pada otak untuk berkreatifitas. Pindahkan keyakinan dari target ke keyakinan pada kreatifitas yang akan kita munculkan.

Takut berorganisasi atau gagal menjadi organisatoris harus dibuang jauh-jauh. Jadikan asas pembelajaran dan kepedulian menjadi titik utama.  Sehingga, ketika menjadi aktifis, segala tindak-tanduk dan apapun aktifitasnya hanya berlandaskan dua hal: karena saya sedang belajar dan karena saya peduli.

Menghilangkan rasa takut tidak bisa dengan cara apapun kecuali dengan mengganti keyakinan. Keyakinan bahwa tidak lulus itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kualitas diri yang rendah dan bodoh.  Ketakutan bahwa target tidak sampai itu sebenarnya tidak ada apa-apa karena kita bahkan belum berusaha. Masih banyak waktu dan kreatifitas sampai batas waktunya datang. Ketakutan bahwa organisasi menjadi beban itu bisa diganti dengan keyakinan bahwa apa yang sedang saya perbuat akan menjadi ilmu dan pembelajaran bagi saya serta manfaat bagi orang lain.

***

Takut itu wajar, namun jika ia diberikan pada sesuatu yang tidak tepat, dan porsinya melebihi apa yang semestinya kita butuhkan, itu bukan lagi dalam batas kewajaran.



You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images