Antara ” Tasbih ” & ” Palu Arit “
1:31 PMIni hanyalah sebuah opini singkat,jangan hukum admin dari tulisan
ini.Semoga wacana yang ditimbulkan tulisan ini dapat menambah tsaqofi
kita.Tulisan ini termasuk awal ana menulis sekitar awal 2008an.jadi
maklumi yaa
Mayoritas umat Islam dan masyarakat Indonesia masih memandang, komunisme
adalah bahaya laten dan harus dibabat. Seakan-akan penganut faham ini
tidak diizinkan menghirup udara segar di bumi merah putih. Mereka dicap
sebagai pemberontak yang kejam, sadis, dan anti-agama. Apalagi sejak
kecil, saat orba berkuasa, tiap tanggal 30 September kita seakan
dihipnotis oleh film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer itu.
Adegan yang paling membakar darah umat Islam adalah adegan penyerangan
anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap umat Islam yang sedang
bersembahyang di masjid. Mereka merobek dan menginjak-injak kitab suci
al-Qur’an. Benarkah demikian faktanya? Wallahu a’lam.
Kala itu, pasca tragedi lubang buaya, umat Islam adalah barisan terdepan
secara massif dan emosional untuk mengganyang antek-antek PKI. Sejak
peristiwa itu hingga kini, umat Islam jengkelnya bukan main kalau
mencium apapun yang berbau PKI. Ini tak lepas dari hasil propaganda atau
konspirasi yang ingin menyingkirkan PKI dari pentas politik, budaya,
dan ideologi masyarakat Indonesia. Akhirnya PKI secara resmi diborgol
oleh Tap MPRS No. XXV/1966.
Perang dingin Islam dan komunisme masih berkecamuk di tanah air. Masih
sering kita dengar dan baca informasi di televisi, surat kabar, milis,
situs, dan blog yang memberitakan aksi kekerasan kelompok Islam terhadap
PKI. Misalnya kelompok Islam tertentu membubarkan forum diskusi yang
berbau komunisme, memprotes parpol yang mirip dengan jargon-jargon
komunis, dan pembakaran buku-buku berirama sosialis.
Gaya dan reaksi umat Islam seperti itu tidak semua. Sebagian kelompok
Islam ada yang sudah melek sejarah dan tidak membabi buta membenci
komunisme. Bahkan mereka ini rela meluangkan waktunya untuk bergerak
melakukan rekonsiliasi dan advokasi korban politik akibat peristiwa 30
September 1965. Kelompok umat Islam semacam ini masih terbilang minor.
Masih banyak umat Islam yang masih dibutakan versi sejarah orde baru
yang selalu menyalahkan PKI.
Padahal sejak dulu banyak orang Islam yang komunis atau komunis yang
Islam, tapi fakta ini sengaja ditutup-tutupi. Sebut saja Haji Misbach,
Hasan Raid, dan Haji Ahmadi Mustahal adalah deretan nama-nama muslim
komunis. Selain itu, sejarah mencatat, Sarekat Islam (SI) adalah cikal
bakal PKI (lihat, Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, 1999).
Sinergi Ritus Ubudiyah dan Gerak Sosial
Gerakan inilah yang menyokong gerakan perjuangan buruh dan rakyat miskin
dari belenggu penindasan dan penjajahan di era pra-kemerdekaan. Kita
masih ingat statemen tegas yang tertulis dalam Buku Putih G.30-S
Pemberontakan PKI, (1994, h.11), “Nabi Muhammad saw. telah mengajarkan
sosialisme sejak seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx.” Itulah
pernyataan tokoh SI, Haji Agus Salim, saat Kongres Nasional VI SI
Oktober 1921 di Surabaya. Sosialisme adalah induk yang melahirkan
komunisme ala marxisme-leninisme (pemikir praksis komunisme).
Prinsip-prinsip perjuangan kemanusiaan (antroposentris) yang dianut PKI
inilah ternyata menyedot banyak simpatik umat Islam. Mereka lebih
memilih PKI yang memperjuangkan rakyat miskin atau kelas bawah daripada
partai-partai Islam yang tak begitu jelas pembelaannya kepada rakyat
kecil. Ini tampak dalam diri Hasan Raid. Menurutnya, Partai Masyumi
kurang bisa mengamalkan ajaran Islam untuk memihak kaum miskin,
sementara PKI lebih pas untuk mengamalkan ajaran Islam, khususnya dalam
menegakkan keadilan di Bumi Nusantara.
“Aku tak memilih masuk partai Islam, seperti Masyumi karena partai
tersebut sebagai organisasi didirikan di zaman Jepang dan menjadi partai
politik pasca Maklumat November 1945 dari Wapres Mohammad Hatta. Banyak
sedikitnya tentu ada bau Jepangnya,” tutur Hasan Raid dalam Pergulatan
Muslim Komunis: Otobiografi Hasan Raid (2001, h. 66).
Pada titik inilah Islam dan komunisme bisa bergandengan tangan dan tidak
bermusuhan. Sebagai umat Islam semestinya sadar bahwa kewajiban kita
tidak hanya kewajiban vertikal: beribadah kepada Tuhan, tapi juga
kewajiban horisontal: berbuat baik dengan sesama makhluk.
“Tasbih” dan “palu arit” yang saya maksud adalah simbol keharmonisan
orientasi ibadah duniawiyah (ritus ubudiyah) dan ukhrawiyah (gerak
sosial) yang harus dijaga. Simbol itu bukan berarti mendorong umat Islam
untuk masuk partai komunis, tapi sebagai otokritik atau introspeksi
diri tentang kenyataan Islam yang masih berkutat pada nalar teologis
(al-’aqlu al-aqa’idy). “Cirinya adalah pemusatan segala aktivitas dan
persoalan apapun kepada Tuhan, tanpa menghiraukan harkat dan martabat
manusia serta problem kemanusiaan,” papar Mohammad Arkoun dalam Al-Fikru
al-Islamy: Naqdun wa Ijtihadun.
Untuk mensinerginakan dua perkara itu, maka bulan ini adalah momentum
yang tepat. Bulan puasa tidak hanya dijadikan sebagai riyadhah ubudiyah,
tapi juga mestinya menjadi latihan riyadhah insaniah, memperbanyak
ibadah sosial. Karena memang puasa dapat menggugah kesadaran progresif,
mengikis egoisme, dan menumbuhkan sikap kebersamaan.
Orang yang berpuasa tentu tak akan tega melihat tetangganya tidak makan.
Inilah salah satu bentuk sekala kecil kesadaran sosial sebagai upaya
pembebasan dari kemiskinan. (QS. 107:1-7). Dalam perspektif Islam,
kebersamaan merupakan makna hidup yang sejati. Karena itu, setiap
individu harus menjadikan orang lain tidak ubah dirinya sendiri.
Artinya, jika orang lain merasa tidak betah hidup dalam penderitaan,
setiap muslim seharusnya mampu berempati, dan mencari solusi untuk
melepaskan mereka dari jerat penderitaan. (QS. 6:145).
Uswah dari Sang Nabi
Pemaknaan seperti ini sejalan dengan misi profetik Nabi Muhammad saw.,
yaitu pembebasan manusia dari segala bentuk kooptasi tirani dan
ketertindasan. Dalam catatan kitab sirah al-nabawiyah, Rasulullah tidak
pernah melakukan gerakan pembebasan atas pertimbangan agama atau suku.
Nabi melakukan misi pembebasan atas dasar-dasar kemanusiaan.
Pertama, pembebasan sosio-kultural. Sebelum Rasulullah diutus, struktur
masyarakat masyarakat Arab dikenal feodal, paternalistik, dan melahirkan
penindasan. Secara garis besar, mereka terbagi dalam dua kelas yang
saling bertentangan, kelas terhormat yang menindas (the oppressor) dan
kelas budak dan orang miskin yang tertindas (the oppressed). Sang Nabi
hadir Pada waktu itu untuk merontokkan kesenjangan sosial dan
memperjuangkan kesetaraan. (QS. 5:8).
Kedua, keadilan ekonomi dan anti kapitalisme. Sejak diturunkan pertama
kali, al-Quran amat menekankan pemerataan dan keadilan semua, bukan
untuk segelintir orang. Al-Qur’an amat menentang penimbunan dan
perputaran harta pada orang-orang kaya saja (QS. 59:7), sementara orang
miskin tertindas secara struktural dan sistemik. Untuk keperluan ini,
Al-Quran menganjurkan orang berpunya menafkahkan sebagian hartanya
kepada fakir miskin (QS. 2:219).
Haji Misbach, seorang muslim komunis, dalam artikelnya yang berjudul
Islamisme dan Komunisme, beranggapan bahwa kapitalisme adalah biang
kehancuran nilai-nilai kemanusiaan dan merusak tatanan agama. Bahkan dia
kecewa terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum
dhuafa. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama
dengan berjuang melawan setan dan menegakkan ajaran agama Islam.
Jadi, sudah semestinya pertentangan Islam dan komunisme kini dikubur.
Toh tidak ada hal substansial yang bertengan antara komunisme dengan
gerak sosial kemanusiaan dalam Islam. Kalau pun ada perbedaan tauhid,
itu hal yang wajar seperti kelompok lain yang berbeda dengan Islam.
Namun sejatinya tidak ada yang aneh dengan komunisme, sebab komunisme
bisa saja bersahabat dengan Islam, sebagaimana yang dilakoni oleh
orang-orang muslim komunis. Berarti, tak selamanya komunis itu anti
Tuhan. Mereka menggunakan senjata “tasbih” untuk beribadah secara
vertikal kepada Tuhan dan senjata “palu arit” untuk beribadah secara
horisontal kepada manusia dan lingkungan.
0 komentar