Kuntowijoyo dan Ilmu Sosial Profetik

11:49 AM


“Jika engkau ingin membaca sejarah umat Islam, bacalah Kuntowijoyo.” Demikian saran dosen saya di IAIN Walisongo ketika mengambil sarjana politik Islam. Lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 dan meninggal 22 Februari 2005, Kunto adalah sejarawan terkemuka Indonesia yang “nyambi” jadi budayawan dan sastrawan. Sekolahnya sederhana. Mulai dari Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. SMP di Klaten dan SMA di Solo, dan sarjana sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969. Gelar master American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat tahun 1974, dan Ph.D dalam ilmu Sejarah dari Universitas Columbia tahun 1980. Anak kedua dari sembilan bersaudara ini dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah dan dunia seni. Ayahnya yang Muhammadiyah suka mendalang. Dua lingkungan ini nantinya sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja sehingga menjadi budayawan sekaligus sejarawan.



Semasa kuliah, dia sudah akrab dengan dunia seni dan teater. Dia bahkan pernah menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup Mantika, di masanya hingga 1971. Pada kesempatan ini, dia bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu’bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam dan Salim Said. Sementara minat belajar sejarah sudah terlihat sejak kecil. Konon, saat belajar di madrasah ibtidaiyah di sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah (1950-1956), Kunto kecil sangat kagum kepada guru mengajinya, Ustad Mustajab, yang piawai menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara dramatik. Seolah dia dan murid-murid lainnya ikut mengalami peristiwa yang dituturkan Sang Ustad itu. Sejak itu, dia tertarik dengan sejarah.



Bakat menulisnya juga tumbuh sejak masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah itu. Gurunya, Sariamsi Arifin, seorang penyair dan Yusmanam, adalah pengarang. Kedua guru inilah yang membangkitkan gairah menulis Kunto. Dia pun mengasah kemampuan menulis dengan terus menulis. Baginya, cara belajar menulis adalah banyak membaca dan menulis. Kunto, kemudian melahirkan sebuah novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung. Bukti kehebatannya adalah beberapa penghargaan yang diterimanya dari Pusat Bahasa atas kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994). Dari komunitas sastra ASEAN (1997), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999), dan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (diterbitkan ulang 2001).



Sejak 1985, keluarga Kunto dan istrinya yang bersahaja menempati rumah bertipe 70 di Jalan Ampel Gading 429, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta. Pada waktu itu, rumah itu dibeli dengan harga Rp 4,5 juta. Belakangan rumah itu diperluas menjadi sekitar 180 meter persegi dan berlantai dua. Ruang tamunya yang berukuran sekitar 4X5 meter hanya diisi dengan meja kursi tamu warna cokelat tua. Tak ada lukisan di dinding dan perabotan mahal.



Harta yang paling mahal di rumah itu hanyalah tumpukan buku dan piala-piala penghargaan untuk karya-karya tulisnya. Ruang perpustakaan di lantai atas penuh sesak dengan buku. Ruang keluarga, ruang tamu, lantai atas dan lantai bawah juga dijejali buku. Meja dan tangga ke lantai atas pun berisi buku-buku. Isterinya, Ning, yang kini menjadi dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogja, juga telah menyelesaikan studi di Psychology Department, Hunter College of The City University of New York, tahun 1980. Dukungan Susilaningsih, sang istri yang dengan sabar dan tekun menemani, telah menjadi kekuatan dan inspirasi tersendiri bagi Kunto. Ketika Kunto jatuh sakit dan sulit melafalkan kalimat-kalimat dengan jelas, Ning, yang selalu setia mendampingi menerima tamu, sekaligus menjadi penerjemah ucapan-ucapannya. Begitu juga ketika wawancara dengan wartawan. Ning juga yang membacakan makalah Kunto dalam berbagai forum seminar. Jika Ning berhalangan, putra sulungnya, Punang, yang studi di Jurusan Geologi UGM, menggantinya sebagai penerjemah. Adalah Ning juga yang selalu setia menadampinginya melakukan olah raga senam, jogging atau jalan kaki. Sekali dua hari, dia berolah raga. Kunto biasanya sudah bangun tidur sekitar pukul 03.30. Kemudian salat tahajud, salat fajar dan berzikir. Selepas itu, dia menulis sampai beduk subuh. Setelah salat subuh, meneruskan menulis lagi. Kala jadwal jalan pagi, dua hari sekali, setelah salat subuh, ia berjalan-jalan untuk melemaskan otot kakinya sampai sejauh 5 kilometer. Kegiatan menulis dilanjutkan lagi setelah jalan pagi. Siang hari, dia tidur siang. Sorenya, ia kembali menulis. Beristirahat sejenak dan sehabis salat isya, menulis lagi sampai tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga pukul 02.00wib.



Namun, di tengah keasyikannya menulis, Kunto juga senang menonton pertandingan tinju dan film koboi di TV. Pada saat menonton dan jalan, ia selalu mengantongi sebuah buku catatan kecil untuk mencatat ide-ide yang secara kebetulan muncul. Novel Khotbah di Atas Bukit (1976) yang menjadi master piece-nya, ternyata ditulis hanya sambil lalu di sela-sela waktu mengajar. Menurut Ning, hingga menjelang akhir hayat, Kunto masih menulis. Naskahnya yang ditemukan sebelum Kunto meninggal adalah berjudul Mengalami Sejarah. Bahkan, Kunto masih ingin menulis buku tentang Muhammadiyah untuk menyambut muktamar.



Hampir tidak ada tanda-tanda dia akan pergi selamanya dalam waktu dekat. Aktivitas kesehariannya hingga Minggu malam 20 Februari 2005 masih biasa-biasa. Bahkan pada hari Sabtu sebelum kematiannya, dia masih sempat ke kampus untuk menanyakan syarat kenaikan pangkat IV D-nya. Minggu masih berkunjung ke adiknya yang hamil tua. Kendati menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjak mengalami serangan virus meningo enchepalitis pada 6 Januari 1992, dia terus berkarya sampai detik-detik akhir hayatnya. Ia meninggal dunia di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare dan ginjal. Sebagai seorang sejarawan, dia sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah, memang mengajarkannya kearifan itu. Baginya, belajar sejarah adalah proses belajar kearifan. Dia mengimplementasikan dalam kesehariannya. Dia rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan.



Selain sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, dia juga pemikir (intelektual) Islam yang cerdas, jujur dan berintegritas. Buku-bukunya, seperti Paradigma Islam dan Politik Islam, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat Islam, sungguh mencerminkan kecerdasan, kejujuran dan integritasnya sebagai seorang intelektual muslim. Para mahasiswa memandangnya sebagai “guru yang bijaksana.” Meski dalam kondisi sakit, ia tetap mau merelakan waktunya untuk membimbing mahasiswa.



Hebatnya, Kunto juga seorang kyai. Dia ikut membangun dan membina Pondok Pesantren Budi Mulia tahun 1980 dan mendirikan Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta tahun 1980. Dia menyatu dengan pondok pesantren yang menempatkan dirinya sebagai seorang kiai. Dia juga seorang aktivis Muhammadiyah yang sangat lekat dengan Muhammadiyah sehingga menjadi anggota PP Muhammadiyah sampai melahirkan sebuah berjudul Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif menyebut Kunto merupakan sosok pemikir Islam yang sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah. Menurut Syafii, kritiknya sangat pedas tetapi merupakan pemikiran yang sangat mendasar.



Saat wafat, penulis ingat bahwa jenazahnya diziarahi banyak sekali manusia yang kehilangan. Ia disemayamkan di rumah duka Jl Ampelgading 429, Perumahan Condongcatur dan di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Dikebumikan Rabu 23 Februari 2005 di Makam Keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta. Dia meninggalkan seorang istri, Drs Susilaningsih MA yang dinikahi pada 8 November 1969, beserta dua putra, yakni Ir Punang Amaripuja SE MSc (34) dan Alun Paradipta (22).



Karya dan Pikiran Kuntowijoyo



Kunto banyak menulis karyanya secara variatif; sejarah, budaya, filsafat, politik dan sastra. Beberapa di antaranya Mantra Pejinak Ular, Isyarat, Khotbah di Atas Bukit, Hampir Sebuah Subversi (Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999), Identitas Politik Umat Islam (Mizan&Ummat, 1997), Impian Amerika (Yayasan Bentang Budaya&Pustaka Republika, 1998), Radikalisasi Petani (Bentang Intervisi Utama, 1993), Pasar (Bentang Intervisi Utama, 1994), Dinamika Internal Umat Islam Indonesia (Lembaga Studi Informasi Pembangunan, 1993), Demokrasi&Budaya Birokrasi (Yayasan Bentang Budaya, 1994), Dilarang Mencintai Bunga-bunga (Pustaka Firdaus, 1992), Paradigma Islam (Mizan, 1991), Tema Islam Dalam Pertunjukan Rakyat Jawa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1986), Budaya&Masyarakat (Tiara Wacana Yogya, 1987), Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (Mizan Pustaka, 2002), Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 (Matabangsa&Yayasan Adikarya IKAPI&The Ford Foundation, 2002), Metodologi Sejarah (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2003), Wasripin Dan Satinah (Penerbit Buku Kompas, 2003), Topeng Kayu (Yayasan Bentang Budaya, 2001), Penjelasan Sejarah (Tiara Wacana, 2008), Mengusir Matahari (Pustaka Hidayah, 1999), Penjelasan Sejarah (Tiara Wacana, 2008), Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (1991), Identitas Politik Umat Islam, (Mizan Bandung, 1997).



Tesis Utama Kuntowijoyo



Tidak berlebihan jika sejarawan alumni Columbia University, Amerika Serikat, ini dijuluki seorang sejarawan spiritual. Karena memang, dia menjalani hidup dengan sangat sederhana. Dia guru besar sejarah di Universitas Gadjah Mada. Pengarang berbagai judul novel, cerpen dan puisi. Pemikir dan penulis beberapa buku tentang Islam. Kolomnis di berbagai media. Aktivis berintegritas tinggi sekaligus moralis yang sangat sering menjadi penceramah di masjid-masjid.



Bayangkan, kendati sebagian hari-hari (puluhan tahun) dijalaninya dalam keadaan sakit, dia telah menulis lebih 50 judul buku. Belum terhitung kolom-kolomnya di berbagai media. Tak jarang pula bukunya mendapat acungan jempol dari berbagai kalangan intelektual. Banyak penuangan pemikiran yang mampu menerjemahkan konsep perjuangan ke dalam langkah nyata.



Gagasannya yang sangat penting bagi pengembangan ilmu sosial di Indonesia adalah idenya tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja. Menurutnya, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma ISP. Dalam magnum opus-nya Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, gagasan ISP lahir sebagai respon keagamaan terhadap perdebatan teologis yang terjadi di tubuh internal umat Islam.



Setidaknya ada tiga pengandaian dalam ilmu sosial. Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari ilmu alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian ilmu sosial dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu alam. Ketiga, ilmu sosial harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral dan bebas nilai. Sayangnya, fenomena sosial tidak sama dengan fenomena alam sehingga pemakaian metode ilmu alam untuk mengkaji fenomena sosial menjadi salah arah. Teori-teori yang tercipta juga tidak universal sebagaimana klaim positivis, tapi sangat terkait dengan dimensi lokal dan temporal di mana teori itu muncul. Dalam kenyataannya, ilmu sosial ternyata tidak pernah mampu melepaskan diri dari keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu. Klaim bebas nilai tak lebih dari sebentuk hipokrasi intelektual. Inilah gugatan-gugatan yang dilontarkan sebagian ilmuwan sosial, baik Barat maupun Timur, terhadap positivisme.



Klaim bebas nilai menyebabkan ilmu sosial hanya berusaha menjelaskan realitas (erklaren) secara apa adanya tanpa melakukan pemihakan, atau memahami realitas (verstehen) kemudian memaafkannya. Teori-teori sosial melulu ingin menyalin fakta masa kini. Dengan cara itu, ilmu sosial diam-diam melestarikan masa kini, sehingga, dengan kedok tidak memihak, netral, bebas nilai, teori-teori itu menutupi kemungkinan perubahan ke masa depan. Karena itu teori yang mengklaim dirinya bebas nilai pada hakekatnya juga memihak, memihak kemapanan.



Salah satu perlawanan sengit terhadap logika positivisme datang dari para penganut teori kritis. Teori Kritis hendak mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan referensi pada tujuannya. Karenanya, di dalam teori kritis, terkandung muatan utopia tertentu yang menyebabkan pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya tidak netral. Ilmu sosial dalam melakukan pembacaan terhadap masyarakat menentukan variabel sosial dan proses kategorisasi terhadap masyarakat tersebut. Artinya, perkembangan suatu masyarakat ditentukan oleh kerangka ilmu sosial dan direfleksikan dalam bangunan sebuah teori. Teori-teori modernisme, misalnya dalam rezim orde baru, berperan sebagai alat analisa realitas sosial yang mempengaruhi mindset kita tentang tradisi, perubahan sosial dan kondisi sosiologis masyarakat. Penggunaan ilmu sosial yang dipaksakan terhadap basis material yang berbeda menyebabkan disorientasi pengetahuan. Sehingga persoalan mendasar sebuah realitas sosial tidak ditemukan karena kita hanya menjelaskan fenomena dengan kerangka teori yang bersifat distortif. Dalam kedudukannya, ilmu sosial memiliki variabel independen dan dependen. Dikatakan sebagai variabel independen ketika ilmu sosial mempunyai kekuatan konstitutif dan dapat berperan besar dalam rekayasa sosial untuk transformasi sosial. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai variabel dependen, ilmu sosial mempunyai kekuatan reflektif dan dengan itu berperan untuk melakukan legitimasi sosial (Ignas Kleden, 1988). Pertanyaannya kemudian adalah ke arah mana, untuk siapa dan oleh siapa transformasi sosial itu dilakukan? Dan apakah upaya pembacaan tersebut menyimpan interest tertentu atau terlepas sama sekali dari segala kepentingan?



Perdebatan apakah ilmu sosial memiliki kepentingan atau tidak telah menjadi pertikaian klasik dari dulu sampai sekarang. Namun hal itu menjadi menarik untuk dibahas sebagai upaya kita melihat bagaimana konstruksi ilmu sosial dibangun. Pandangan yang sering dipakai dalam membongkar relasi knowledge dan interest banyak meminjam analisa Juergen Habermas. Hubungan pengetahuan dan kepentingan–dalam gagasan Habermas—mengandung dua tesis utama. Pertama, setiap jenis pengetahuan (termasuk di dalamnya ilmu sosial) lahir dari dorongan kepentingan yang sifatnya subyektif. Kedua, hubungan keduanya merupakan keniscayaan dalam setiap produksi pengetahuan.



Hubungan pengetahuan dan kepentingan memberikan penjelasan kepada kita bahwa tidak ada jenis pengetahuan yang lahir begitu saja tanpa dipengaruhi oleh unsur subyektif dan konteks historis-sosiologis yang melatarbelakanginya. Apalagi ilmu sosial bertujuan memberikan penjelasan terhadap realitas masyarakat beserta fenomena eksistensialnya. Kekeringan ilmu sosial, khususnya di negara dunia ketiga, banyak disadari sebagai akibat miskinnya refleksi diri ilmuwan sosial dalam melakukan kontekstualisasi pembacaan. Konsekuensinya jelas, ilmu sosial kehilangan makna dan arah terhadap apa yang ditelitinya.



Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa ilmu sosial berada dalam ruang interaksi antara setting sosio-kultural masyarakat dengan aktor ilmuwan sosial yang memproduksi teori. Atau dengan kata lain, bangunan ilmuan sosial tercetak dalam ruang yang dipenuhi tarik-ulur kepentingan antara kesadaran, realitas sosial dan kekuasaan. Karl Marx, misalnya, melahirkan konsepsi kelasnya yang khas berdasarkan masyarakat Eropa pasca revolusi industri yang melahirkan kelas buruh sebagai subordinat dari kelas pemilik alat-alat produksi (baca: borjuis).



Dalam konteks Indonesia, upaya untuk membuat ilmuan sosial yang berangkat dari akar tradisi dan realitas historis masyarakat dapat kita lihat dalam pemikiran Kuntowijoyo. Kefasihannya meramu ayat-ayat agama dengan teori-teori sosial ditambah lagi dengan analisa sejarah yang matang menjadikan almarhum Kuntowijoyo sebagai salah satu pemikir yang harus diapresiasi gagasannya. Ide-ide genial dan otentik mampu diproduksi oleh beliau dan tidak pernah lepas dari akar tradisi.



Krisis yang dialami ilmu sosial di Indonesia dapat kita lihat sebagai bentuk “hilang ingatan” akan peran tradisi dan sejarah sebagai jembatan penghubung antara kesadaran (subyek) dengan realitas historis masyarakat. Meminjam analisa pemikiran MacIntyre [1997], dalam bukunya After Virtue: a Study in Moral Theory, bahwa setiap praktek dari subyek serta warisan-warisan tradisi yang dilahirkan secara terus-menerus kemudian mengendap dalam tiap-tiap pengalaman komunitas selalu menyimpan sumber penalaran baru bagi subyek berikutnya. Artinya, ilmu sosial yang berkembang di Barat merupakan hasil refleksi terhadap warisan dan perkembangan masyarakatnya. Bagaimana mungkin kita menggunakan secara mutlak kaca mata ilmu sosial Barat untuk membaca fenomena konkret kelokalan masyarakat Indonesia yang secara makro maupun mikro jauh berbeda dengan masyarakat Barat.



Melalui ISP, kuntowijoyo berupaya melakukan–istilah Dawam Rahardjo—“pribumisasi ilmu-ilmu sosial” (indigenization of social sciences). Gagasan ini merupakan strategi counter idea terhadap dominasi dan hegemoni ilmu sosial mainstream yang telah lama “menghinggap” di kepala ilmuwan sosial Indonesia. Modus kerjanya mencoba membongkar teori-teori yang mapan dan kemudian mencari sintesa kreatif yang bercorak lokal dengan rumusan live in dengan realitas konkret masyarakat.



Pilar Utama Ilmu Sosial Profetik Kuntowidjoyo



Menurut Kunto, ISP memiliki tiga pilar utama dalam kerjanya. Ketiganya yaitu humanisasi sebagai ontologi, liberasi sebagai epistemologi dan transendensi sebagai aksiologi. Berikut lebih jelasnya. Dalam ISP, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan,” ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanisasi tentu sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.



Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis dan mencengkeram pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia. Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali.



Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme dengan panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap alam dan manusia. Ilmu akal adalah ilmu kontestasi yang metode dan taktik perangnya telah ditulis dengan amat cerdas oleh Descartes melalui semboyannya “Cogito Ergo Sum.” Melalui ilmu perang Descartes, peradaban modern menciptakan mesin-mesin perang terhadap alam berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan mengeksploitasi alam tanpa batas. Menciptakan mesin-mesin perang terhadap manusia berupa senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi. Manusia dilingkupi perasaan tak aman, cemas dan saling menyerang demi ego dan kuasanya.



Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivitas teknologi, ekonomi, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalisasi) dan loneliness (privatisasi dan individualisasi).



Sedang paradigma liberasi dalam ISP disesuaikan dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan). Hanya saja ISP tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi ISP dalam konteks ilmu adalah ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam ISP dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika marxisme dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif, ISP justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.



Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Dus, liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit. Kuntowijoyo bahkan menganggap sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos. Contohnya menurut Kunto adalah sebagaimana orang beragama tanpa amal. Hidup orang beragama yang kegiatannya hanya berdoa adalah hidup tanpa logos dan hanya bersandar pada mitos. Cara beragama mitos ini adalah cara salah yang dikritik Kunto dengan sangat argumentatif.



Selanjutnya, Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.



Sedangkan paradigma transendensi dalam ISP merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam ISP.



Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri. Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna. Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, motif dan arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan.



Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam ISP di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik—di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya—menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.



Bagi Kuntowijoyo, kesadaran dalam ISP diletakkan di atas basis material. Dengan ini ISP berniat untuk menjadi paradigma baru. Marxisme menawarkan paradigma baru dengan kaidahnya mengenai structure (basis material) dan superstructure (kesadaran) dengan menyatakan bahwa structure menentukan superstructure. Lalu, feminisme menyatakan bahwa seks (jenis kelamin) menentukan kesadaran. ISP melalui tesis Kunto membalikkan rumusan ini dengan meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis material (structure). Artinya, kesadaranlah yang menentukan materi, kesadaranlah yang menentukan kelamin seseorang. Kesadaran akan diri dan Tuhanlah yang menentukan “keberadaan” hal lain di luar diri dan Tuhannya. Dengan tesis ini, Kuntowijoyo yakin bahwa pandangan ini akan banyak pengaruhnya dalam lapangan ilmu sosial dan humaniora di masa depan. Dia memberi contoh tentang gejalan kesadaran lingkungan global dan CSR di perusahaan-perusahaan adalah buah dari hipotesanya.[]



sumber : http://www.yudhieharyono.com/?p=27

You Might Also Like

3 komentar

  1. Blognya sangat membantu saya mengenai siapa sosok fenomenal Kuntowijoyo. Terima kasih. :-)

    ReplyDelete
  2. Saya kagum dengan karya-karya Kuntowijoyo, terutama untuk fiksinya. Dia ingin mendekontruksi mitos menjadi rasionaitas dengan cara yang sangat simpel dan terkesan remeh temeh...mengena setiap membaca ceren2 beiau...

    ReplyDelete

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images