Sarjana,mau kemana lagi kamu
10:46 AM
Pada harinya, kegembiraan memenuhi relung dada Kalif, karena saat yang ditunggu sudah datang. Kalif mau di wisuda, sutau impiannya sejak dulu. Ketika Kalif bertemu dengan Hamdan, sohib lamanya di waktu Sekolah Dasar, Kalif langsung salaman dengan Hamdan, suatu kebiasaan bagi mereka berdua kala bertemu.. Hamdan ikut bersuka cita atas keberhasilan temannya, dengan suatu harapan ilmu sang kawan dapat di bumikan untuk kebaikan kampung. “Selamat Ya…Kamu orang yang sangat beruntung kawan, awak ikut bahagia” itulah ungkapan yang meluncur dari mulut Hamdan.
Hamdan hanya khatam sampai Sekolah Dasar tak sempat ke jenjang pengajian Pesentren apa lagi Perguruan Tinggi. Pengetahuan Hamdan tidak banyak, yang dia tahu hanya satu “ilmu adalah kerendahan hati. Itupun ia dengar dari neneknya “Hamdan pahamilah bahwa semakin tinggi ilmu orang, maka ia semakin tidak mengerti apa-apa. Dan ilmu tidak lebih dan tidak kurang adalah kerendahan hati”.
“Sarjana” di abad ini adalah suatu yang sangat signifan dalam hidup, ia hampir saja menyamai dengan makan dan minum sebagai layaknya kebutuhan hidup sehari. Tidak hanya sebatas itu saja, bahkan “sarjana” telah menjadi mitos di abad yang menyanjung tinggi rasionalitas. Lihat misalnya kualitas manusia sangat distandarisasikan oleh gelar kesarjanaan. Sulit bagi orang untuk masuk ke wilayah pekerjaan tanpa ada gelar keserjanaan yang disandangnya. Betapun validitas kualitas ilmu orang, tapi tanpa pernah nyantri di perguruan tinggi atau tanpa gelar keserjanaan, maka bersiap-siaplah untuk jadi orang marginal.
Begitu vital kah… Oh…Tentu saja. Sehingga sarjana kadang telah menjadi komoditi di banyak perguruan tinggi. Tentunya semua bermuara pada uang. Sarjana katanya dapat menghasilkan uang dengan mudah tanpa kerja keras. Dan meraih sarjapun butuh uang banyak. Kalau anda punya banyak uang, anda boleh pilih gelar apa yang anda inginkan. Tinggal pesan saja. Banyak stok gelar di perguruan tinggi, mulai dari kelas pantau sampai pada kelas ikan hiu. Kita masih ingat betapa repotnya Mendiknas Yahya Muhaimin mengontrol jalannya suatu pendidikan di Perguruan Tinggi. Di semua perguruan tinggi dilakukan pencek-ulang oleh badan Akreditasi. Nah dengan demikian pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah masih ada kualitas kesarjanaan…Jawabannya entalah….
Menilik dari statitistik angka pengangguran di negara kita, dengan kasat mata angka pengangguran terdidik sangat membludak akhir-akhir ini. Dan ini sangat rentan dengan bahaya. Bila pengangguran kelas teri (yang bukan terdidik) tidak begitu mengkhawatirkan, karena mereka biasanya tak banyak neko-beko. Akan tetapi pengangguran terdidik inilah yang sebenarnya cukup membahayakan. Kenapa….Ya.. Karena ilmu dan status yang mereka sandang. Jangan harap sang sarjana mau kerja sembarangan, seperti kembali ke kampung untuk mengurusi bagaimana menjadikan warga masyarakatnya menjadi hidup lebih layak dan makmur. Jawabanya sudah pasti… itukan bukan kerjanya sarjana, untuk apa ngaji tinggi kalau toh akhirnya akan ke kampung juga ngurusi sawah dan ladang. Jadi….Ya sarjana itu kerja di kantor atau jadi guru.,
Pergeseran paradigma inilah yang bikin para sarjana hampir sinting, mereka berada di persimpangan harapan dan kenyataan, teori dan praksis. Lihat saja mereka sangat kebingunan hari ini. Antara tawa dan tangis, gembira dan sedih, harapan dan ketakutan, berpadu dan berkelindan menjadi satu dalam batin mereka. Kesadaran mulai muncul bahwa tak mereka sudah layak lagi harus bergantung pada orang tua. Dan seharusnya merekalah yang mengambil peran dan tugas orang tua dalam survive kehidupan. Namun sementara kesarjanaan bukanlah jaminan buat itu. Wisuda adalah awal dari pertarungan hidup yang sesungguhnya.
Di saat Kalif termangu, Hamdan bertanya, lho kenapa kamu cemberut, Lif, bukankah seharusnya kamu ceria, bahagia, karena kamu sudah meraih harapan yang kamu impian kawan….Kamu kan bisa cari kerja dengan mudah, lantaran kamu sudah punya gelar sarjana.. ? Kamu Nggak tahu Hamdan, pikiran awak sumpek dan hati ini galau. Karena masa depan awak belum jelas. Awak mulai mengerti untuk apa sesungguhnya ijazah dan gelar kesarjanaan ini. Bukankah kamu lihat berapa banyak para sarja yang tercampak dari pertarungan dunia kerja. Bahkan banyak yang jadi perampok, gay, mucikari, menipu orang dan enath apa lagi. Gelar awak ini bukanlah satu-satu jaminan masa depan Hamdan. Oh.. Begitu, toh, Hamdan jadi melongo, terheran-heran. Awak malah iri sama kamu Hamdan, kamu tak sampai ngaji tinggi tapi hidup kamu tenang, damai, harmonis, masa depanmu jelas. Tidak seperti awak ini. Ya..,.Kalua awak sudah begini sejak dulunya, jadi orang biasa-biasa saja. Nggak ingin jadi apa-apa kecuali jadi diri awak sendiri, menikmati dan menjalani hidup apa adanya tanpa bagaimana seharusnya. Karena Nenek Awak pernah titip pesan :
“Hamdan…. Kerjakan apa saja yang kamu dapat dan mampu untuk kerjakan,jangan bikin suatu stratifikasi dalam perkejaan. Bebaskan dirimu dari pilihan-pilahan,
karena pilihan itu tidak selamnya relevan dengan keinginan dan kebutuhan kamu.
Ingat Hamdan “Keberhasilan itu sangat tergantung sajauhmana kita mampu menjadikan setiap detik kehidupan menjadi “suatu kemenangan”.
0 komentar