M.Natsir dan Demokrasi
7:35 PM
I. Pengantar
sejak 6 November 2008, berdasarkan Kepres No: 041/TK/TAHUN 2008 nama Natsir masuk kedalam daftar Pahlawan Nasional. Dalam diktum surat keputusan itu disebutkan bahwa gelar tersebut diberikan “sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa … dst.” Dengan demikian pengkajian terhadap pemikiran-pemikiran Natsir telah memiliki legalitas, dan bahkan menjadi kewajiban Negara dan warganya.
Sebagai sebuah asumsi, mungkin ada benarnya teori “Challang-Response” Arnold Toynbee tentang sebuah agen perubahan yang disebut dengan creative minority (minoritas yang kreatif). Toynbee yakin betul bahwa lahir kembalinya sebuah peradaban berasal dari kemampuan kelompok minoritas yang secara kreatif mampu dan berhasil merespon tantangan yang ada disekitarnya menjadi sebuah peluang emas menuju perubahan lebih baik. Jika teori itu digunakan untuk membaca sejarah perjuangan-pengisian kemerdekaan Indonesia, memang tidak sedikit para pejuang yang terjun langung kemedannya. Namun perlu ditegaskan bahwa mereka semua digerakkan oleh orang-orang yang memiliki pemikiran cemerlang, meski jumlah mereka terbatas.
Dr. Mohammad Natsir adalah salah satu diantaranya (selanjutnya disebut M. Nartsir/Natsir). Dengan beragam medan perjuangan yang ditempuhnya (politik, da’wah, pendidikan, dll), ia berusaha dengan penuh kesungguhan untuk menjadikan Islam sebagai pondasi untuk membangun Indonesia. Natsir memang tidak sendiri, ia diikuti oleh para pejuang sependirian yang bermakmum kepadanya. Dalam salah satu bait puisi Hamka kepada Natsir di sidang Konstituante 1957 menunjukkan keinginan Hamka untuk masuk kedalam “daftar” perjuangan Natsir.
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan akupun masukkan
Dalam daftarmu ……. !
II. Mengenal Demokrasi; Tinjauan awal
Berpolitik memang tidak selalu identik dengan berdemokrasi. Sebab berpolitik dalam Islam (siyâsah), jika merujuk kepada pengertian yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah adalah upaya seseorang dalam melakukan perbaikan secara umum terhadap kehidupan manusia dan penghindaran dari kerusakan. Artinya, siapapun orangnya yang berupaya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia serta mencegah segala bentuk kerusakan, maka ia telah berpolitik. Merujuk kepada teladan Rasulullah, maka politik adalah bagian dari aktifitas beliau. Bahkan John L Esposito setuju bahwa sejak kemunculannya di Arab Saudi (sekarang) Islam berkembang sebagai gerakan keagamaan dan politik yang didalamnya agama menyatu terhadap Negara dan masyarakat. Kepercayaan tersebut berakar pada al qur’an sebagai wahyu dan as sunnah sebagai ajaran Nabinya. Lebih tegas lagi Espositu menyebutkan data sejarah, bahwa ketika Nabi Muhammad dan pengikutnya hijrah dari Makkah ke Madinah, maka posisi Nabi disana adalah sebagai; seorang Nabi, Kepala Negara, Panglima Pasukan, Hakim Agung dan pembentuk hukum. Berdasarkan perintah al Qur’an ; Taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (Annisa: 32). Dimasa inilah Islam di Madinah semakin memperlihatkan kristalisasinya sebagai keimanan dan sebuah sistem sosio-politik.
Saat ini istilah “berpolitik” sangat identik dengan “berdemokrasi.” Hal itu lebih disebabkan karena sistem perpolitikan yang dianut banyak negara-negara modern (secara umum) saat ini adalah sistem demokrasi.
Data yang disebutkan dalam The New Ensiklopedi Britannica menjelaskan kata “demokrasi” (democracy) secara bahasa berasal dari bahasa Greek (Yunani) yaitu demos:people dan kratos:rule atau disebut dengan; “pemerintahan rakyat”. Sementara itu, ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’ menyebut kata “demokrasi” sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya (pemerintahan rakyat), atau sebagai gagasan, atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga Negara. Demokrasi kemudian dijadikan sebagai landasan persoalan yang menyangkut hajat orang banyak sehingga melahirkan banyak demokrasi seperti, demokrasi ekonomi, demokrasi politik, demokrasi material dan lain-lain. Dalam hal ini demokrasi menganut faham bahwa penentu kebijakan pemerintahan berada ditangan manusia (rakyat), dimana berlaku hukum “one man one vote” (setiap orang memiliki hak suara). Atau menurut pendapat lain semisal Dr. Muhammad ‘Imarah, ia menyebutkan bahwa demokrasi menganut sistem ”the voice of people is the voice of God.” Artinya rakyat adalah pemilik kekuasaan dan sumber hukum. Kekuasaan rakyat menurut sistem demokrasi adalah milk rakyat dan melalui rakyat pula untuk mencapai kedaulatan rakyat dan tujuan-tujuannya, serta kepentingan-kepentingannya.
Konsep demokrasi pada awalnya lahir dari pemikiran mengenai hubungan Negara dan hukum Yunani Kuno. Konsep itu kemudian dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abad ke 6 SM sampai abad ke 4 M. Demokrasi yang dipraktekkan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung. Sifat langsung itu berjalan secara efektif karena Negara kota (city state) Yunani Kuno berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah Negara yang hanya terbatas pada sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 300.000 orang. Selain itu pula, ketentuan-ketentuan menikmati hak demokrasi hanya berlaku untuk warga Negara resmi, sedangkan mereka yang berstatus budak belian, pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak dapat menikmatinya. Gagasan demokrasi Yunani Kuno ini berakhir pada abad pertangahan.
Bentuk demokrasi pada Abad pertengahan ini ditandai dengan peralihan demokrasi dari kekuasaan rakyat kepada kekuasaan agama (Paus) yang melembaga dalam pemerintahan dengan struktur masyarakat yang bersifat feodal, dan tandai oleh perebutan kekuasaan diantara para bangsawan. Kaum bangsawan dan agamawan memiliki kekuatan untuk menguasai dunia perpolitikan. Namun menjelang abad pertengahan beakhir, timbul kembali keinginan untuk menghidupkan demokrasi. Lahirnya magna charta (piagam besar) sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John di Inggris merupakan tonggak baru kemunculan demokrasi. Dalam magna charta disebutkan bahwa raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus bawahannya. Selain itu piagam tersebut juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar; pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi menusia lebih penting dari pada kedaulatan raja. Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di dunia Barat adalah lahirnya renaissance dan reformasi. Ketika itu muncul pula gerakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad ke 16, bertujuan untuk memperbaiki keadaan dalam gereja Katolik. Marthin Luther berada dibalik revolusi ini yang kemudian memunculkan gereka protestan. Di Barat (Abad Modern), John Locke seorang filosof Inggris (1632-1704) melahirkan cirri khas demokrasi rakyat yang berorientasi pada hak live (kehidupan), liberal (kebebasan), dan property (hak memiliki). Sementara itu filosof asal Perancis Montesquieu (1689-1944) melahirkan apa yang dikenal dengan “tiras politica”. Tokoh-tokoh lain yang turut menonjol dalam mengembangkan demokrasi di Barat adalah Jean Jacques Rousseau dan Thomas Jefferson .
The New Ensiklopedi Britannica kembali menerangkan bahwa Dalam perkambangannya, setidaknya ada beberapa bentuk demokrasi yang muncul diantaranya; demokrasi langsung (direct democracy) yaitu corak pemerintahan demokrasi yang dilakukan secara langsung oleh semua warga Negara dalam membuat keputusan politik. Ada pula demokrasi perwakilan (representative demokrasi) yaitu corak pemerintahan yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat (warga negara diberi hak untuk turut serta menentukan keputusan politik melalui badan perwakilan rakyat. Dan terakhir demokrasi liberal/konstitusional (liberal democracy/constitusional democracy) yaitu sistem politik dengan banyak partai dimana kekuasaan politik berada ditangan politisi sipil yang berpusat di parlemen.
Sesungguhnya, implementasi sistem demokrasi tidaklah baku. Meski memiliki konsepsi dasar yang sama yaitu; kedaulatan ada di tangan rakyat, akan tetapi mekanisme penerapan demokrasi di sejumlah Negara kerap tak sama. Di Indonesia misalnya, saat ini dikenal dengan sebutan demokrasi Pancasila. Dahulu, sejak didekritkannya kembali UUD 1945 oleh Preseiden Soekarno pada 5 Juli 1959, maka ketika itu berlaku apa yang disebut dengan “Demokrasi Terpimpin” yang pelaksanaannya diantur dalam Ketetapan MPRS nomor VIII/MPRS/1965. Demokrasi terpimpin dimaksudkan untuk menentang sifat-sifat liberal demokrasi Barat yang bertentangan dengan azas-azas permusyawaratan untuk mencapai mufakat sesuai Pancasila. Namun dalam pelaksanaannya demokrasi terpimpin terlalu menonjolkan kepemimpinannya yang diberi hak untuk mengambil keputusan apabila tidak dicapai mufakat dalam suatu permusyawaratan, dan oleh karena itu meluncur kearah kediktatoran sehingga membuahkan pemberontakan G-30-S/PKI (1 Oktober 1965).
Secara umum Barat memandang bahwa sistem demokrasi merupakan sistem terbaik yang tiada banding. Ia dipandang sebagai evolusi sistem kehidupan terakhir yang pernah dilahirkan peradaban manusia. Pandangan gegabah tersebut semakin menemukan pembenarannya melalui analisa Francis Fukuyama dalam The And of History. Menurut Francis Fukuyama bentuk-bentuk pemerintahan sebelum kemunculan demokrasi liberal yang dikembangkan Barat saat ini adalah irasionalitas-irasionalitas yang pada umumya ditandai dengan berbagai kerusakan sehingga menyebabkan keruntuhan mereka. Sebaliknya ia berpendapat bahawa demokrasi liberal bebas dari kontradiksi internal yang fundamental seperti itu sehingga ia menjadikan demokrasi liberal sebagai “titik akhir” dari evolusi idiologis umat manusia, dan bentuk final pemerintahan manusia sehingga ia bisa disebut sebagai “akhir sejarah”. Francis mengikuti aliran Hegel dan Marx yang percaya bahwa evolusi masyarakat manusia tidaklah “open ended” tetapi ia akan berakhir bila manusia mencapai suatu bentuk masyarakat yang sempurna. Pandangan ini jelas tidak benar. Demokrasi nyata-nyata belum memberikan pelayanan memuaskan bagi perkembangan perdamaian dan keadilan. Tak sedikit dari Negara-negara yang menganut demokrasi (tak terkecuali Amerika) mengalami ketimpangan social cukup tinggi. Kerusuhan, peperangan, kelaparan, kemiskinan menjadi tayangan sehari-hari tak terkecuali di negara-negara makmur sekalipun. Demokrasi sesungguhnya memiliki dua waja yang berbeda; ideal-ideologis dan wajah real-pragmatis. Sebagai prodak sekularisme, sistem demokrasi lahir dari hasil pergulatan antara rasionalitas dan kuasa gereja. Akibatnya akal Barat telah menganggap pemerintahan agama hanya akan membawa kemunduran. Oleh karenanya, bentuk pemerintahan secular, liberal, dan pluralis adlaah satu-satunya solusi agar tidak terjadi pemerintahan despotic dan authoritarian. Namun demokrasi sesungguhnya memiliki kelemahan, disana terdapat kekaburan otoritas, seperti dalam demokrasi liberal dimana rakyatlah yang berdaulat, namun itu terjadi hanya beberapa tahun sekali.
III. Natsir; tentang Islam dan Demokrasi
Sebelum menghadapkan pemikiran Natsir tentang Islam dan demokrasi, terlebih dahulu kita melihat apa yang beliau pahami tentang konsep Islam secara umum.
3.1 Pandangan Natsir tentang Islam
Dengan sangat jelas Natsir memahami Islam sebagai agama penyerahan diri secara totalitas yang berkonsekwensi pada kepatuhan dan ketundukan hanya kepada Allah. Natsir mengatakan;
”Islam artinya damai, juga berarti menyerahkan diri dalam hal ini, yaitu menyerahkan diri, jiwa dan raga seluruhnya kepada Ilahi. Seorang muslim ialah seorang yang mematuhi dengan sesungguhnya akan segala suruhan Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya, baik yang berkenaan dengan kewajiban terhadap-Nya atau terhadap sesama manusia.”
Natsir juga menjelaskan bahwa penyerahan tersebut bukanlah penyererahan yang bersifat negatif atau dalam istilah beliau; “kurang akan makna” dimana seseorang tak lagi bisa berbuat apa-apa untuk mengusahakan diri menjadi manusia yang baik. Menurut Natsir, seseorang menyerakan dirinya kepada Allah yang Mahakuasa dengan gigih dan sekuat-kuatnya disebabkan karena yakin bahwa iradah Allah selaras dengan kehadiran manusia di dunia dan di akhirat nanti.
Bagi Natsir, Keterikatan seorang muslim dengan agamanya adalah suatu hal yang pokok. Sebab menurut sunatullâh, menantang aturan Ilahi merupakan sumber bagi kegagalan dan keruntuhan umat. Dalam salah satu penyampaian khutbah Idhul Fithri M. Natsir menjelaskan hal tersebut; ”Menentang aturan Ilahi adalah sumber dari kegagalan dan keruntuhan. Iniilah sunatullah yang berlaku bagi umat terdahulu, tetap berlaku bagi umat sekarang, dan bagi umat-umat yang akan datang seterusnya.” Islam mengikat pemeluknya dengan aturan-aturan dan undang-undang yang menghajatkan ketundukan. Tak terkecuali ketika dihadapkan pada persoalan hubungan antara manusia dengan adat istiadat. Padalah ia juga dipandang masyarakat sebagai aturan yang sakral.
Katiannya dengan hal di atas, maka Natsir memandang bahwa produk budaya suatu daerah dalam bentuk adat-istiadat tidak dapat selamanya mengikat seseorang untuk tunduk dan patuh kepada aturan tersebut, apalagi jika ia adalah seorang muslim. Karena sebagai seorang muslim, ia harus mendahulukan syari’at-Nya. Adat-istiadat yang tidak bertentangan dengan syari’at maka Islam menjaga dan membiarkannya berkembang. Namun sebaliknya, adat-istiadat yang menyalahi aturan syari’at maka ia harus dikalahkan. Dalam sebuah polemik tak berkesudahan tentang pembagian harta waris yang terjadi di ranah Minag tahun 1939, dan ketika salah satu ormas Islam semisal Perti (Persatuan Tarbiyah Islam) mengajukan usul kepada pemerintah agar polemik itu dikembalikan kepada hukum Islam, Natsir sangat menyambut positif usulan tersebut. Dengan tegas ia mengatakan; ”Agama Islam telah menetapkan suatu peraturan pembagian harta warisan dengan cukup jelas dan terang. Tiap-tiap seorang muslim tentu juga seorang Minangkabau muslim tidak lepas dari peratuan agama tersebut.” Tidak hanya sampai disitu, Natsir juga tampak tidak setuju dengan adat istiadat yang dipoles menyerupai Islam kemudian diakui identitasnya asebagai ajaran Islam. Tegas-tegas Natsir menyebutnya sebagai “bid’ah” dalam agama yaitu perbuatan-perbuatan yang disangka oleh yang melakukannya sebagai kewajiban atau anjuran. Tetapi menurut agama, sebenarnya tidak.’’ Gamal Abdul Nasir (penulis asal Malaysia) turut mengomentari pula sosok M. Natsir; “Bagi mujahid da’wah yang satu ini, kemajuan masyarakat Islam hanya dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara murni (tidak tercampur dengan syirik, bid’ah, khurafat, takhayyul) dan konsekwen.”
Kesimpulannya, dalam hal apapun seorang muslim harus melandasi setiap aktifitasnya dengan barometer yang telah ditetapkan oleh syari’at. Sebab bagi Natsir risalah Rasulullah mencakup prinsip-prinsip dan dasar hidup ber-’aqidah, ber-syari’ah, dan ber-nizham (undang-undang). Inilah keuniversalan syari’at Islam itu, dimana Islam tampil sebagai aturan hidup yang mengayomi pribadi-pribadi manusia, baik mereka yang muslim maupun mereka yang berbeda agama dengan ketentuan-ketentauan yang telah ditetapkan oleh syari’at. Bagi Natsir, mayoritas jumlah Islam di suatu tempat tidak akan menyebabkan ketertindasan posisi minoritas, sebab agama Islam melarang kepada umatnya untuk memaksakan doktrin agamanya kepada orang lain (Laa Ikraaha fiddiin) . Rasulullah sendiri menurut Natsir pernah mempraktekkan apa yang dikenal dengan ”Piagam Madinah” ketika harus hidup berdampingan dengan orang-orang Yahudi dan mempertahankan kedaulatan secara bersama-sama.
Tentang cakupan ajaran Islam, Natsir berkesimpulan bahwa Islam begitu lengkap. Bagi Natsir, Islam adalah aturan kehidupan yang didalamnya mengatur aspek ibadah antara pribadi manusia dengan Rabb-Nya sekaligus mengatur batasan-batasan mu’amalah antara sesama manusia. Semua aturan itu tercakup dalam tujuan hidup manusia di bumi ini yaitu untuk beribadah kepada Allah dengan makna yang sebenar-benarnya.
Melihat data-data di atas, tampak sekali bahwa pemahaman Natsir tentang Islam adalah ketundukan seseorang kepada Allah melalui ketundukan kepada aturan-aturan-Nya secara menyeluruh, lebih memilih hukum Islam dari hukum-hukum lainnya.
3.2 Pandangan Natsir tentang Demokrasi
Dalam kancah politik, Natsir memulai aktifitasnya melalui Partai Serikat Islam tahun 1930. Taklama setelah itu, beliau mendapat amanah untuk memimpin wilayah cabang Bandung. Keterlibatannya dalam partai politik semakin mengental sejak dinobatkan sebagai ketua umum Partai Masyumi pada tahun 1949 sebagai kendaran berdemokrasi. Dalam merealisasikan cita-cita Partai yaitu Ajaran dan hukum Islam yang teraplikasi dalam kehidupan bermasyarakat, ia menegaskan tiga jalan yang ditempuh; 1. Lapangan parlementer (legislatsif), 2. Lapangan pemerintahan (eksekutif) dan 3. lapangan pembinaan ummat. Kita dapat melihat ketiga aspek itu dilakukan oleh Natsir dan kawan-kawannya.
Sebagai tokoh yang menerima demokrasi sebagai jalan yang legal untuk menentukan arah kebijakan negara, Natsir tetap memiliki pemahaman tersendiri tentang praktek demokrasi. Natsir mengistilahkan ide demokrasinya dengan sebutan “Teistik Demokrasi”. Istilah ini mengacu kepada bentuk pemerintahan yang menjadikan Islam sebagai dasar negaranya. Itulah yang yang dilakukan Natsir dengan dukungan sejumlah partai Islam dalam sidang Konstituante. Dengan demikian, hukum-hukum Islam yang menjadi urat nadi mayoritas muslim di Nusantara ini dapat dilaksanakan dan menciptakan kebaikan bagi negeri. Dalam pidatonya di sidang konstituante yang membahas tentang dasar Negara, Natsir mencoba memahamkan kepada peserta sidang bahwa Islam memiliki keunggulan sistem dibandingkan dengan dua pilihan lainnya yaitu; pancasila dan sosial–ekonomi. Salah satu statemen Natsir yang terkenal ketika itu adalah;
” Saudara ketua. Ada tiga dasar yang telah dikemukakan dalam Komisi I yang dimajukan sebagai dasar Negara: Pancasila, Islam dan Sosial-ekonomi. Kewajiban saya dan kawan-kawan saya dari fraksi Masyumi adalah untuk menghidangkan kemuka sidang pleno yang terhormat … yakni kehendak kami, sebagaimana yang sudah diketahui oleh kita semua, supaya Negara Republik Indonesia kita ini berdasarkan Islam, Negara demokrasi berdasarkan Islam.
Gagasan Natsir yang mengusung ide Islam sebagai dasar negara merupakan perwujudan keyakinan Natsir terhadap ajaran Islam. Natsir memahami bahwa seseorang yang mengaku dirinya muslim, maka ia harus memiliki kepercayaan yang kuat kepada hal-hal berikut; 1) percaya dengan adanya Tuhan sebagai sumber dari segala hukum dan nilai hidup, 2) percaya dengan wahyu Tuhan kepada Rasul-Nya, 3) percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dan manusia atau perseorangan, 4) percaya dengan hubungan ini dapat memengaruhi hidupnya sehari-hari, 5) percaya bahwa dengan matinya seseorang, kehidupan rohnya tidak berakhir, 6) percaya dengan ibadah sebagai cara mengadakan hubungan Tuhan, 7) percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan hidup manusia. Menurut Natsir, ahli-ahli fakir Barat yang modern dan terkemuka telah sampai kepada kesimpulan, bahwa Islam sanggup dan mampu memeberikan penjelasan yang dirindukan dan dihasratkan untuk melepaskan bangsa manusia dari bencana.. Natsir juga meyakini bahwa Islam itu adalah totalitas kehidupan dan penghambaan kepada Allah. Oleh karena itu, aktifitas seorang muslim untuk berbangsa dan bernegara harus benar-benar ditujukan untuk pengabdian keapda Allah. Lebih lanjut Natsir menguaraikan bahwa tujuan kaum muslimin, minimal ada tiga hal yaitu;
1. Mencari kemerdekaan untuk kemerdekaan Islam agar berlaku susunan dan peraturan Islam
2. Untuk kemaslahatan dan keutamaan ummat Islam khususnya
3. dan makhluk Allah pada umumnya.
Dalam sebuah tulisan berjudul “Islam ‘Demokrasi’ ?” Natsir menolak keras ide Soekarno mencoba menawarkan ide “islam disisipkan/ditambahkan kedalam Negara. Waktu itu Soekarno beranggapan bahwa dalam ruang demokrasi dimana di sana terdapat perwakilan dari rakyat maka agama dapat disisipkan kedalamnya. Meski agama dipisahkan dari Negara namun jika didalamnya terdapat mayoritas politisi muslim maka tidak akan ada peraturan yang berjalan kecuali bersifat Islam. Namun bagi Natsir, Islam bukanlah semata-mata bentuk tambahan atau ekstra bagi sesuatu yang harus dimasukkan kepada suatu Negara. Akan tetapi, menurut prinsip Islam, Negara justeru merupakan alat dan perkakas bagi berlakunya hukum-hukum Islam. Jika kemudian ada yang bertanya; bukankah Islam itu demokratis ?, maka jawaban Natsir untuk pertanyaan itu adalah; Islam memang demokratis dalam artian anti, istibdad atau absolutisme atau kesewenang-wenangan. Disisni Natsir menolak keras ide penyisipan Islam (mengambil Islam secara parsial) itu.
Dalam pemberlakukan hukum-hukum Islam di sebuah negara, Natsir berpandangan bahwa segala peraturan Islam yang sudah jelas atau merupakan prinsip pokok Islam tidak perlu menunggu keputusan Majelis Syura untuk kemudian baru dijalankan, karena ia adalah sesuatu yang final dan tetap. Bahkan hal-hal seperti itu tidak boleh diputuskan dengan cara undian “separo tambah satu suara” (voting) atau bergantung kepada siapa yang duduk di Negara tersebut. Meskipun dengan ini ada yang mengatakan Islam tidak demokratis, Natsir mengatakan; “itu terserah” sebab baginya; “Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah demokrasi 100 %, bukan pada otokrasi 100 %. Islam itu…. yah Islam.” Demikian menurut Natsir.
Melalui pernyataan di atas, dengan jelas Natsir menyebutkan adanya “Majelis Syura” dalam konsep pemerintahan yang diinginkannya, meskipun secara umum sistem demokrasi tidak menggunakannya. Apa yang dimaksudkan Natsir tentang Majelis Syura memang tidak begitu dijelaskan secara mendetail dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi jika merujuk kepada model organisasi di dalam tubuh Partai Masyumi, agaknya kita dapat mengambil gambarannya.
Petama, Terbentuknya Partai Masyumi adalah kendaraan ummat Islam untuk mencapai cita-cita Islam yang memilik Tujuan secara tertulis yaitu: 1) Menegakkan kedaulatan negara dan agama Islam, dan 2) Melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan Negara. Kedua, berdasarkan kedua point diatas, maka salah satu prinsip Islam dalam urusan Negara adalah berlakunya sistem syura yang mewajibkan adanya Majelis Syura. Pasal VII dari penjelasan sistem organisasi Partai Masyumi menjelaskan adanya majelis itu yang mereka sebut dengan; “Majelis Syuro.” Salah satu diktum point kesatu berbunyi; “Disamping permusyawaratan dan pimpinan partai tersebut dalam pasal V dan VI ada Majelis Syura yang terdiri dari para alim ulama.” Sementara itu hak dan kewajiban Majelis Syura dituangkan dalam penjelasan AD ART pada Pasal ke 4 point ke 7 tentang Hak dan Kewajiban Majelis Syura. Point-point secara keseluruhan adalah;
1. Majelis Syura pusat berhak mengusulkan hal-hal yang mengenai politik kepada Dewan Pimpinan Partai
2. Majelis Syura pusat wajib memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan soal-soal keagamaan yang dikemukakan oleh Dewan Pimpinan Partai.
3. Dewan Pimpinan Partai wajib meminta fatwa kepada Majelis Syura Pusat dalam soal-soal politik yang dianggapnya mengenai hukum agama
4. Keputusan yang diambil dengan suara bulat oleh Majelis Syura pusat mengenai hukum agama adalah keputusan yang tertinggi
5. Hak dan kewajiban Majelis Syura Pusat diluar sidang lengkap diwakili dan dijalankan oleh Dewan Harian Majelis Syura Pusat.
6. Dewan Harian Majelis Syura Pusat bertanggung jawab atas pekerjaan kepada sidang lengkap Majelis Sura Puat.
Secara umum, prinsip musyawarah yang ada di dalam Islam sangat dijunjung tinggi oleh Nartsir karena merupakan sunnah Rasulullah dan para sahabat. Dalam majalah Suara Masjid edisi syawal – Dzulhijjah 1402 No. 95 pada rubrik Pesan dari Mimbar Natsir menegaskan bahwa;
“Ajaran Islam menegaskan tentang prinsip musyawarah yang tidak boleh dilupakan oleh seorang pemimpin, agar ia tidak menganggap dirinya paling pintar. Khittah yang demikian ini telah disunnahkan pada masa Rasulullah shalallahu ‘alihi wasallam dan diamalkan oleh para Khulafa’ ar Rasyidun di dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup duniawi.” Bermusyawarah merupakan seni kepemimpinan untuk mencapai suatu tujuan dengan tenaga orang lain (to heve things done by other people).”
Dr. Ramly Hutabarat (Rektor UIKA Bogor) dalam bukunya “Hukum dan Demokrasi” menunjukkan perbedaan demokrasi Islam yang diusung Natsir dengan demokrasi di Barat. Natsir memandang bahwa legislative bukanlah segala-galanya dalam pemerintahan. Ia bukanlah satu-satunya yang memiliki supermasi tertinggi seperti yang dianut oleh Barat. Dalam konsep demokrasi Barat, pada umumnya semua urusan diserahkan kepada eksekutif dan legislative. Undang-undang dibuat oleh pemerintah dan wakil rakyat. Lain halnya dengan pandangan Islam dimana Natsir berpandangan bahwa yang dapat diperbincangkan dalam lembaga tersebut adalah cara-cara untuk menjalankan semua hukum, atau teknis pelaksanaan hukum dimana hukum itu sendiri telah tetap sebagaimana yang digariskan oleh Allah. Aktifis Darul Islam; Kahar Muzakkar di dalam bukunya, “Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia” juga sepakat dengan konsep Natsir ini.
Bagi Natsir, dalam menjalankan pemerintahan Negara demokrasi berdasarkan Islam, maka sumber kekuasaan bagi penguasa adalah ketaatannya kepada undang-undang. Dalam hal ini yang berdaulat adalah hukum. Kekuasaan diterima atas pemilihan dan kerelaan rakyat. Kekuasaan digunakan untuk menegakkan yang benar, dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat, baik yang lemah maupun yang kuat. Dalam hal ini penguasa berhak atas kekuasaan rakyat selama ia menjalankan kekuasaannya di atas kebenaran. Rakyat juga harus diberikan hak untuk mengoreksi dan membetulkan perjalanan penguasa, bila ternyata bersalah. Dalam pidato yang berjudul ” Demokrasi dibawah Hukum” sebagai tanggapan atas demokrasi yang dibawa orde lama dan demokrasi yang akan dijalankan ole horde baru. Natsir kembali mengingatkan akan pentingnya penegakkan hukum untuk semua kalangan dari tingkat Pemimpin hingga rakyatnya. Setelah mengutip surah an Nisah: 59 (tentang ketaatan pada ulil amri) dan pidato Abu Bakar seusai di bai’at sebagai Pemimpin bagi kaum muslimin, Natsir mengatakan bahwa sumber kekuasaan penguasa adalah ketaatannya sendiri kepada undang-undang yang berlaku. Dalam hal ini, undang-undang yang berdaulat adalah undang-undang Ilahi. Kekuasaan diterima atas pilihan dan kerelaan rakyat. Kekuasaan dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan diantara seluruh rakyat. Penguasa berhak atas ketaatan rakyat selama ia menjalankan kekuasaannya atas kebenaran (mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya).
Menurut Firdaus Syam, Natsir sudah sangat maksimal menjalankan tugasnya di konstituante, termasuk ketika memperjuangkan agar Islam menjadi dasar Negara. Dipihak lain Natsir berhasil menepis kecurigaan partai-partai non Islam. Ia bersama Prawoto Mangkusasmito, Osman Raliby dan pemimpin progresif lainnya mampu bergerak jauh ketika partai Islam harus menyesuaikan diri dengan realitas yang ada dalam tubuh konstituante. Perjuangan Natsir dalam kelompok nasionalis Islam berhadapan dengan nasionalis sekuler di konstiutante merupakan potret keberanian dan keteguhan seorang Natsir dalam menampakkan ide-idenya ditengah-tengah keberagaman.
Penutup
1. Islam adalah agama yang lengkap, mengurusi semua aspek kehidupan. Melalui pandangan ini, Natsir menjadikan sarana perpolitikan sebagai salah satu upaya menegakkan agama.
2. Politik sejatinya tidak dapat dilepaskan dari agenda penegakkan Risalah Allah di bumi ini, karena Islam mengatur seluruh aspek hidup. Dlaam konteks inilah, penulis melihat bahwa M. Natsir telah menjalankan fungsi Islam sesuai yang diyakininya. Sebagaimana Al Imam Ibnu Qayiim berpandapat bahwa antara syari’ah dan siyasah tidak boleh dipisahkan dalam menjalankan sistem hukum. Kerna menurutnya, pemisahan tersebut sama halnya dengan pemisahan semisal hakikat dan syari’at, ‘aql dan Naql. Syari’ah dan siyasah adalah satu rumpun di bawah keumuman Risalah yang dibawa oleh Rasulullah. Pemisahan hanya ada pada shahih dan fasidnya. Yang baik adalah yang sesuai dengan syari’ah, demikian pula sebaliknya. Baik siayasah, hakikat atau thariqah semuanya ada dalam satu wadah yang dibangun diatas keumuman Rasialah Nabi yang telah sempurna.
3. Natsir menginginkan Negara ini dijalankan berdasarkan kepada asas Islam. Melalui sistem demokrasi, Natsir memperjuangkan visi dan misi Partainya.
4. Melalui sistem demokrasi ini, Natsir tetap menganggap pentingnya Majelis Syura. Dimana untuk persoalan-persoalan baku dalam agama, tidak ada sistem voting atau suara terbanyak. Negara hanya menjalankan dan mengeluarkan kebijakan yang bersifat teknis pelaksanaan.
—————- Wallahu A’lam Bishawab —————–
Daftar Pustaka
1. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Darul Falah, 1999
2. Abu Ridho, ‘Amal Siyasi; Gerakan Politik dalam Dakwah, Bangung: Syamil Cipta Media, 2004
3. A.G Pringgodigdo, et, all, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1977
4. A.G Pringgodigdo, et, all, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1977
5. Buletin Da’wah yang diterbitkan oleh DDII masjid Al Munawarah , 27 September 1968
6. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999
7. Dwi Purwoko, et, all, Negara Islam; Percikan Pemikiran H. Agus Salim, KH. Mas Mansyur, Mohammad Natsir, K.H. Hasyim Asy’ari, Depok: Permata Aristika Permata Kreasi, 2001
8. Endang Saefudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945; Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1977
9. Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam; Pokok-pokok Pemikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004
10. Francis Fukuyama, The and of History and The Last Man, terj. Mohammad Husein. A, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001
11. Firdaus Syam, Amin Ra’is dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, Jakarta: Khairul Bayan, 2003
12. Gamal Abdul Nasir, Mohammad Natsir Pendidik Ummah, Malaysia; Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 2003
13. John L. Esposito, Islam and Politic, terj. Joesoef Sou’yb, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
14. Lukman Hakim (Ed), M. Natsir di Panggung Sejarah Republik, Jakarta Penerbit Republika, 2008
15. Majalah Islamiya, Edisi: Thn 1 No. 6, Juli _ September 2005
16. M. Natsir, Marilah Shalat, Jakarta; Media Da’wah, 2006
17. M. Natsir, Capita Selecta 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973,
18. M. Natsir, Demokrasi dibawah Hukum, Jakrarta: Media Da’wah, 2002
19. M. Natsir, Capita Selecta 1 , Jakart; Bulan Bintang, tt, hal. 177
20. M. Natsir, Kumpulan khutbah Hari Raya, Jakarta; Media Da’wah, 1987
21. M. Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Media Da’wah, 2000
22. M. Natir, Politik Melalui Jalur Dakwah, Jakarta: Media Dakwah, 2008
23. M. Natsir, Indonesia di Persimpangan Jalan, Jakarta: PT. Abadi, 1984
24. M. Natsir, Dapatkah Dipisahkan Politik dari Agama ?, Jakarta: Penerbit Mutiara, 1953
25. M. Natrsir, Keragaman Hidup Antar Agama, Jakarta; Penerbit Hudaya, 1970
26. M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, Bandung; Bulan Sabit, 1969
27. M. Natsir, Peran Islam dalam Pembangungan, Jakarta: Youth Islamic Syudy Club (YISC), 1978
28. Majalah Suara Masjid, Edisi. Syawal – Dzulhijjah 1402 H/Agustus 1982 M No: 95
29. Muhammad ‘Imarah, Ma’rakah al Musthalahât baina al Gharb wa al Islam, terj. Mustahlah Maufur, Jakarta: Rabbani Press, 1998
30. Pepora 8, Kepartaian di Indonesia, Jakarta: Kementrian Penerangan Republik Indonesia, 1951
31. Robert P. Gwinn (Ed), The New Encyclopedia Britannica, Chichago: The University of Chichago, 1992
32. Ramli Hutabarat, Hukum dan Demokrasi, Jakrata: Biro Riset DDII, 1999
33. Syamsuddin bin Abdillah bin Muhammad bin Abi Bakr Ibn al Qayyim al Jauziyah, I’lâm al Muwaqqi’în, Beirut: Dâr al Jîl, tt
34. Tim Editor, Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978
35. Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi dan Hak-hak Asasai Manusia Masyarakat Madani
36. Yusuf Abdullah Puar (Ed), Mohammad Natsir; 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, Jakarta: Pustaka Antara, 1978
0 komentar