Memorial Training (Bagian 1)

12:41 PM

Suara-suara penuh cinta

Berbicara di depan khalayak ramai merupakan skill yang tidak seluruh manusia memilikinya. Skill ini ibarat memanjat pohon kelapa dimana semua orang bisa memanjat namun tidak semua orang kuat untuk mencakarkan tangannya ke sendi-sendi cerukan pohon, menggerakkan kaki dan tangannya dengan anggun hingga sampai ke puncak. Tidak semua orang bisa bertahan ketika semut-semut obesitas bercakar keras mendarat di pipi, pundak, tangan hingga kaki. Semut-semut luar biasa ini hanya bisa dihadapi oleh manusia yang luar biasa pula. Ketika si pemanjat teralihkan konsentrasinya hingga sibuk menyingkirkan si semut, besar kemungkinan ia akan gagal sampai ke atas.[Silahkan lanjutkan analoginya ^_^]

Menariknya lagi, ketika seseorang berbicara di depan khalayak, ia harus di forum manusia seperti apa ia berada.Karena setiap forum beda juga cara menghadapinya. Ketika seseorang ceramah agama di mesjid jelas beda dengan cara ceramah ilmiah di depan akademisi. Ketika memberikan pelatihan jelas beda dengan memberikan pendidikan dan penataran ala PNS yang setiap tahun diadakan. Dan yang paling jelas adalah ketika seseorang memberikan pelatihan ala pendidikan orang dewasa jelas beda dengan pendidikan anak-anak.

Dan sayangnya, di PII, Konsep Pelatihan ala Pendidikan Orang dewasa inilah yang dipakai.

Dalam konsep pendidikan orang dewasa, seorang pelatih atau instruktur tidaklah berfungsi sebagai guru yang menuangkan jus dan sirup pengetahuan kedalam gelas pikiran peserta didik. Seorang instruktur hanya berfungsi sebagai fasilitator kegiatan dimana peserta didik lah yang menjadi subjek sekaligus objek pendidikan. Dalam proses ini, peserta didik diharapkan mengeluarkan seluruh potensinya yang ada, mengetahui kekurangannya lalu saling mengisi antara satu dengan yang lain. Proses ini butuh keaktifan dari peserta. Dan tugas instruktur adalah memfasilitasi dan mengarahkan proses ini agar berjalan dengan mulus hingga pengetahuan pun beredar dengan ketukan dan birama yang indah.

Persoalan utamanya adalah seringkali kondisi kelas tidak kondusif yang biasanya terjadi akibat in group peserta tidak berjalan. Masing-masing peserta masih kuat rasa ke-Aku-annya. Setiap peserta merasa bahwa kritikan terhadap apa yang ia sampaikan adalah bentuk pelecehan intelektualitas. Sikap ini seringkali membuat peserta terjebak dalam nalar debat kusir dan terlena dalam menangkap substansi. Hingga akhirnya kultur belajar yang objektif pun susah terbangun.Maka, ketika menemukan kondisi ini, Seorang Instruktur harus kreatif dalam menghidupkan kelas dan mengarahkan proses pendidikan tersebut. Nah kreatif ini yang jadi pokok masalah.

Sebagai orang yang bukan takhossus dalam bidang pendidikan dan pelatihan, cukup susah bagi saya untuk mendatangkan konsep masuk ke kelas dengan tingkat kreatifitas tinggi macam Stephen Covey atau Andrie Wongso. Ilmu yang cetek dan pengalaman yang sedikit menjadi kendala utama. Seringkali ketika masuk kelas saya berpikir ‘apakah saya mampu?’. Bayang-bayang suasana kelas yang stagnant pun cukup membuat keringat dingin keluar. ‘Kalau kelas ini gagal, maka itu adalah tanggung jawab saya’ ujar saya dalam hati.

Rasa negatif ini cukup lama menghantui diri, hingga akhirnya saya pandangi peserta satu persatu. Melihat wajah-wajah yang penuh semangat demi mencapai cita. Saya tak boleh menyerah. Tekad ini saya hujamkan kedalam diri. Lalu samar-samar terdengar suara indah hangat di dalam hati saya. Suara-suara yang menyemangati bahwa saya mampu untuk mengemban tugas ini. Perlahan namun pasti, suara-suara itu menyejukkan perasaan yang membara. Ia laksana sekotak tissue basah yang mengeringkan kelat dan kusamnya muka yang berpeluh. Suara-suara yang berkata “Di Depan kamu adalah calon pejuang Umat Islam hari ini dan di masa yang akan datang”. Dan bismillah, kelas pun saya mulai dengan awal yang bahkan tidak terpikirkan oleh saya sebelum masuk kedalamnya. Ide-ide kreatif pun menyembul satu persatu lewat pori-pori otak, memerintahkan saya untuk berbuat ini dan itu.

Dan kejadian itu pun berulang-ulang setiap tugas mulia menjadi fasilitator training ini saya emban. Suara yang memberikan rasa nyaman, menguasai dada menghilangkan gundah. Suara-suara yang memberikan harapan dan menguatkan cita. Suara itu adalah suara-suara penuh cinta

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images