Belajar dari Musa dan Khidir Alaihimassalam (bagian 2)
1:23 PM
Menjadi Guru
Ideal
Guru adalah
salah satu pondasi penting dalam proses pendidikan. Berhasil atau tidaknya
seorang pelajar dalam menempuh pendidikannya akan sangat dominan sekali
ditentukan oleh guru tempat ia belajar. Karena guru adalah orang pertama yang
mengantarkan seorang pelajar atau murid kepada sebuah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya, bagaimana memahami ilmu tersebut serta bagaimana mengembangkannya
dan membuatnya berdaya guna. Mengingat hal ini, menjadi sebuah keniscayaan
bahwa seorang guru mesti memiliki karakteristik tertentu sehingga proses
pendidikan berlangsung secara optimal dan sampainya ilmu kepada si murid. Dan
hal ini kita temukan dalam kisah Musa dan Khidir Alaihimassalam.
Diantara
karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang guru yang kita temukan dari
kisah Musa dan Khidir adalah :
1. 1.Mumpuni
dalam ilmu yang diajarkan
Seorang
guru, mau tidak mau, adalah orang yang lebih berilmu dari murid. Seorang guru
bukan hanya seorang fasilitator yang hanya mampu mengorganisasi kemampuan para
murid lalu mengarahkannya kepada ilmu. Namun, seorang guru benar-benar harus
memiliki ilmu yang cukup sehingga apa yang ia berikan kepada muridnya adalah
sebuah kematangan, bukan keragu-raguan. Rendahnya kualitas guru dalam bidang
keilmuannya akan berimplikasi pada rendahnya kualitas murid yang dihasilkan.
Hal tersebut
bisa kita lihat dalam kisah Musa dan Khidir. Musa, pergi mencari ilmu dan
memilih Khidir sebagai gurunya agar Khidir bisa mengajarkannya ilmu yang tidak
ia ketahui[1].
Imam Zarnuji dalam karangannya yang
masyhur “Ta’lim Al-Muta’allim” berkata : “Ketika seorang murid hendak memilih
guru tempat ia belajar, maka pilihlah guru yang lebih alim, lebih wara’ serta
lebih dewasa umurnya. Imam Abu Hanifah akhirnya memilih berguru kepada Imam
Hammad bin Sulaiman setelah ia berpikir dan bertafakkur, ia (Baca : Imam Abu
Hanifah) lalu berkata : Aku berguru padanya (Imam Hammad bin Sulaiman)
lantaran ia lebih tua umurnya, serta memiliki kasih sayang dan kesabaran dalam
setiap hal”[2]
2. 2.Kemampuan
untuk mengartikulasikan ilmunya dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami
Selain
keilmuan yang mumpuni, seorang guru juga dituntut untuk bisa menyampaikan
sesuatu dengan bahasa yang ringan, sederhana serta mudah dipahami namun tidak
mengurangi pesan dari ilmu yang disampaikan. Karena setiap murid mempunyai
tingkatan dan level yang berbeda dalam ilmunya, serta berasal dari ragam tempat
tinggal dan budaya. Hal ini menuntut seorang guru untuk menggunakan bahasa yang
bisa merangkul semua kondisi muridnya.
Hal tersebut
dapat kita temukan dari kisah Musa dan Khidir, ketika Musa meminta kepada
Khidir untuk mengajarkan ilmu yang ia miliki, Khidir menjawab “Sesungguhnya
kamu tidak akan sanggup bersabar denganku[3]”.
Ibn Asyur berkata dalam tafsirnya: “Ayat ini adalah salah satu dasar dalam
proses pendidikan yakni bahwa seorang guru memberi beberapa peringatan dan
maklumat pada muridnya tentang
topik pendidikan yang sukar termasuk peringatan bahwa nanti si murid akan
kesulitan untuk menempuhnya[4]”.
Imam As-Sa’adi
ketika menafsirkan firman Allah قال فإن اتبعتني فلا تسألني عن شيء حتى أحدث لك منه ذكرا[5] mengatakan: “Seorang
guru demi kemaslahatan muridnya boleh menyuruh si murid untuk tidak bertanya
apapun sampai ia sendiri yang menjelaskan pada muridnya. Atau guru juga boleh
melarang si murid untuk terlalu dalam dan detail bertanya tentang sesuatu agar
si murid tidak menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak begitu penting dan
terlupa dari hal yang lebih penting dalam ilmu tersebut atau agar si murid
tidak bertanya hal-hal yang tidak termasuk pembahasan dari ilmu yang sedang
diajarkan[6]”.
Imam Ibn Hajar
Al-Asqalani berkata dalam Fathul Bari-nya: “Proses pendidikan seorang murid
harus dilakukan secara bertahap. Karena sesuatu yang diajarkan secara bertahap,
yang dimulai dengan hal yang mudah dan sederhana, akan lebih cepat ditangkap
oleh murid, lebih cepat ia mengerti serta akan lebih lama tertanam dalam
dirinya[7]”.
3. 3.Memiliki
kedekatan dengan murid
Guru adalah
orang tua kedua bagi murid. Ikatan yang dimiliki antara mereka berdua sangatlah
kuat. Hal ini meniscayakan seorang guru untuk terbuka dalam berinteraksi dengan
muridnya. Guru tidak boleh menutup-nutupi hal-hal yang dirasa penting untuk
disampaikan pada muridnya tanpa ada sebab. Hal ini bisa kita lihat dari cara
interaksi Khidir pada Musa ketika ia menerima Musa sebagai muridnya. Allah
berfirman “Dia (Khidir)
berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu[8]”. Ini adalah syarat yang ditawarkan
oleh Khidir pada Musa. Khidir dalam interaksinya langsung terbuka pada Musa. Ia
tidak menutup-nutupinya. Hal ini sangat penting dalam membangun kedekatan
antara Murid dan Guru.
Imam Al-Qurthubi ketika menafsirkan
ayat diatas berkata: “artinya: hingga aku sendiri yang akan menafsirkannya
padamu. Ini merupakan pelajaran bagaimana Khidir terbuka tentang apa
saja yang diperlukan agar interaksi antara mereka berdua berlangsung lama.
Sungguh kalau saja Musa sabar, ia akan menemukan ilmu yang luar biasa[9]”.
4. 4.Toleran dan
bijak dalam menanggapi kesalahan murid
Kemampuan
untuk memahami kondisi murid harus dimiliki oleh para guru. Seorang guru harus
mampu memahami kondisi si murid, baik dari sisi psikologisnya, kondisi
sosiologisnya, memahami tingkah polahnya dalam belajar dan berinteraksi, serta
memahami dan toleran terhadap kesalahan yang tidak ia sengaja. Hal ini adalah
prinsip utama dalam membangun hubungan yang erat antara murid dan guru. Karena
tidak bisa dipungkiri bahwa eratnya hubungan antara mereka berdua akan
memudahkan si murid dalam menggapai ilmu yang ia tuntut.
Dalam kisah
Musa dan Khidir kita bisa lihat bagaimana keinsyafan Musa dalam mengakui
kesalahannya dan bagaimana sikap Khidir yang begitu toleran dalam
menanggapinya. Allah ta’ala berfirman menceritakan keinsyafan Musa ketika
melanggar syarat untuk pertama kalinya: “Musa berkata:
"Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu
membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku"[10]. Ketika Musa kembali
melanggar syarat untuk tidak bertanya sampai Khidir sendiri yang
menjelaskannya, Allah berfirman: “Musa berkata: "Jika aku bertanya
kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan
aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”[11]. Khidir pun kembali
memberikan toleransi hingga akhirnya Musa melanggar untuk ketiga kalinya.
Ibn Khaldun dalam
Muqaddimahnya berkata: “Terlalu ketat dalam memberikan sanksi akan memberikan
mudharat pada anak didik, terutama pada mereka yang masih kecil. Siapa yang
mengajar anak didiknya dengan sikap yang keras dan kasar, ia akan melihat
hasilnya pada anak didiknya yang keras. Dan sikap keras tersebut akan
menghilangkan sikap terbuka anak didik dalam menerima pelajaran. Dalam kondisi
tersebut, anak didik akan bertambah malas dan bahkan akan mulai melakukan
kebohongan dan perbuatan yang tidak baik (lantaran anak didik tidak merasa
nyaman dengan sikapnya)[12]
Sikap seorang guru yang
terlampau keras dalam mendidik dan mengajar anak didiknya akan berimplikasi
nyata pada proses pendidikan. Anak didik jadi kehilangan tujuan dan semangat
belajar lantaran sudah diwarnai rasa takut. Dalam tingkatan yang lebih lanjut,
ditemukan kasus anak didik yang depresi lantaran gurunya, bahkan dendam pada
gurunya. Proses seperti itu jelas mengkhianati tujuan utama pendidikan yakni perbaikan
kehidupan manusia menuju yang lebih baik. Rasulullah sendiri sudah mengingatkan
dalam haditsnya “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang
bengis dan keras kepala, namun Allah mengutusku sebagai seorang Muallim dan
pemberi kemudahan[13]”
[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
Shahih-nya dari Ibnu Abbas, ia berkata : Suatu ketika, Musa sedang berada di
tengah-tengah kaum bani Israil, lalu datang seorang laki-laki padanya dan
berkata “Apakah engkau tahu orang yang lebih pintar darimu ?”, Musa
menjawab “Aku tidak tahu”. Allah
pun memberi wahyu pada Musa bahwa ada seorang yang lebih berilmu darinya
bernama Khidir. Musa pun bertanya pada
Allah tentang bagaimana cara menemukan Khidir. Lihat lebih lengkap penjelasan
hadits ini dalam Fathul Bari bab الخروج
في طلب العلم .
[2]
Az-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’allim, hal 72, Maktab Islami Beirut, 1981.
[3] Q.S.Al-Kahfi
: 67
[4]
Ibn Asyur, Op.Cit, hal.372
[5]
Q.S. Al-Kahfi : 70
[6]
As-Sa’adi, Tafsir As-Sa’adi, vol. IV, hal. 484, Penerbit Ar-Risalah, Beirut,
2005
[7]
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, vol.I, hal.197, Dar Rayan, Cairo
[8]
Q.S.Al-Kahfi : 70
[9]
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, vol. 13, hal.327, Penerbit Risalah,
Beirut, 2006
[10]
Q.S.Al-Kahfi : 73
[11]
Q.S.Al-Kahfi : 76
[12]
Ibn Khaldun, Muqaddimah, hal.538, Maktabah Ashriyah, Beirut, 1995
[13]
Lihat Shahih Muslim, kitab Talaq, bab بيان ان
تخيير امرأته.... , Hadist Panjang
Riwayat Sahabat Jabir bin Abdillah No. 2703 (Software Lidwa.com)
0 komentar