Gagalnya Modernitas; Arah Baru Teori Hukum Islam

7:24 PM

Modernisasi sebagai fakta sejarah merupakan sebuah fenomena yang mondial. Ia merasuk kedalam semua lini kehidupan umat manusia, baik lini sosial, ekonomi, politik, hukum, bahkan agama. Mengenai apa itu modernisasi telah banyak orang berbicara, walau bukan dalam satu perspektif yang sama. Banyak definisis ataupun karakteristik yang diberikan. Sebagai contoh Peter L Berger dalam buku Pikiran Kemabara (cetakan Indonesia 1992) memahami modernisasi sebagai hal-hal yang secara institusional menyertai pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh teknologi. Dalam definisis seperti ini maka modernisasi dipahami sebagai pertumbuhan dan penyebaran seperangkat ibstitusi atau lembaga yang berakar pada transformasi ekonomi berbasis teknologi. Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah diantaranya apa yang kita sebut dengan negara modern, khususnya lembaga birokrasi. Dipihak lain Nurkholis Madjid (dari kalangan cendikiawan Indonesia) mengintrodusir modernisasi sebagai sebuah proses rasionalisasi. Proses rasionalisasi ini dalam pengertian Weberian, yaitu menyebarnya rasionalitas kedalam semua lini kehidupan manusia. Sementara Harun Nasution menerjemahkan modernisasi sebagai pikiran-pikiran, aliran-aliran, gerakan-gerakan dan usaha untuk mengubah faham-faham, adat-istiadat, dan institusi-institusi lama untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dan banyak lagi definisi atau sekedar batasan yang diberikan oleh pakar-pakar lainnya terhadap modernisasi. Tapi yang jelas dalam setiap batasan itu selalu ada beberapa unsur; rasionalitas, teknologi, dan empirisme.

Dalam tulisan ini kita ingin mengatakan bahwa modernisasi dengan paradigma positivistiknya telah mengharu-biru semua jenis ilmu. Apakah itu ilmu-ilmu (yang pada awalnya dianggap) sakral seperti disiplin ilmu keagamaan, ataupun disiplin keilmuan profan, yaitu ilmu-ilmu non keagamaan. Teori hukum Islam sebagai salah satu disiplin ilmu inti Islam (bahkan menurut Arkoun teori hukum Islam atau usul fiqh dan teologi merupakan dua disiplin ilmu dalam Islam yang telah membentuk seluruh struktur pemikiran Islam hingga kini) tak lepas dari pengaruhnya. Maka proses modernisasi pun tidak bisa dielakkan terjadi pada teori hukum Islam. Proses modernisasi itu bisa kita lihat (sekedar asumsi tentatif) dalam dua hal, pertama terjadinya proses rasionalisasi dalam merumuskan teori hukum Islam. Proses ini bisa kita lihat dengan diberikannya peran akal yang maksimal dalam ijtihad-ijtihad yang dilakukan para ulama seperti Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Al-Tahtawi, dan lain-lain. Kedua, diperkenalkannya induktivisme kedalam proses pembentukan teori hukum Islam. Hukum tidak sekedar dijabarkan secara derivatif (dari atas ke bawah), tapi dicoba untuk melihat realitas kemanusiaan yang ada sebagai bagian dari proses penyususnan teori hukum tersebut. Serta sebuah teori tidak bisa dianggap valid kalau tidak bisa diverifikasi secara empiris. Maka berkembang biaklah ilmuan Islam yang melakukan usaha-usaha untuk merumuskan sebuah teori hukum yang mampu “bersuara” dihadapan persoalan-persoalan yang terus berkembang berdasarakan paradigma positivistik tersebut.

Proses ini melahirkan ilmuan-ilmuan yang dikelompokkan oleh Wael B Hallaq dalam bukunya A History of Islamic Legal Theory kedalam taksonomi aliran utilitarianisme religius dan liberalisme religius. Kaum utilitarianis mengorientasikan usaha-usaha teoritis yang mereka lakukan kepada kepantingan umum (maslahah). Diantara ilmuan yang dikelompokkan oleh Hallaq kedalam aliran ini adalah Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Abdul Wahab Khalaf, ‘Allal al-Fasi, dan Hasan Turabi. Sementara para anggota kelompok liberalis lebih tertarik pada pemahaman wahyu tuhan secara teks dan konteks. Mereka tidak menafsirkan teks wahyu secara literal, tapi lebih pada penafsiran terhadap semangat dan tujuan yang berada dibalik bahasa khusus teks-teks wahyu. Beberapa ilmuan yang di identifikasi oleh Hallaq sebagai bagian kelompok ini adalah Muhammad Said ‘Ashmawi, Fazlur Rahman, dan Muhammad Syahrur.

Namun paradigma positivistik modernitas bukanlah sesuatu yang absolut dan final. Modernitas ternyata juga mengidap penyakit-penyakit yang memunculkan anomali-anomali pada ranah yang dimasukinya. Begitu halnya dengan paradigma positivistik yang diabsorbsi oleh teori hukum Islam modern. Ternyata teori-teori (yang dilandaskan pada nalar modern yang positivistik) yang dikembangkan oleh para teoritisi hukum Islam modern juga mengidap anomali dan kerancuan sebagaimana sedikit dipaparkan oleh Hallaq. Oleh karena itu penting bagi kita untuk melihat kegagalan tersebut dalam hubungannya dengan nalar modernitas yang posistivistik dalam rangka pencarian yang paradigmatis bagi landasan bangunan teori hukum Islam.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images