Dan ini tentang Tujuan
2:37 AM
Prolog
Tulisan ini merupakan refleksi pribadi saat masih "Hijau" di Bumi para Nabi ini. Ditulis sekitar bulan september 2009 . Sengaja dipublish ulang kembali sebagai bahan Introspeksi diri serta tazkiyah buat adik-adik Mahasiswa Baru insya Allah akan memulai aktifitas ilmiah mereka di Mesir bulan Oktober ini. Dan semoga tulisan ini juga menjadi Alarm buat bersama, semoga waktu yang kita habiskan di depan kitab, di hadapan para ulama, di antara majelis-majelis diskusi dan Ilmu, lebih banyak atau paling tidak seimbang dengan aktivitas kita di depan komputer, di tempat-tempat wisata ataupun di atas kasur.
***
Alkisah seorang pemuda, dengan tekad yang kuat dalam menuntut
ilmu, menempuh perjalanan jauh dari
andalusia ke madinah. Meskipun dengan sarana transportasi yang apa adanya dan
belum secanggih yang kita temui saat ini. Yahya bin yahya nama pemuda tersebut.
Hari demi hari pun ia lalui dengan segala bentuk aktifitas keilmuan yang ia dapatkan dari gurunya, Imam Malik di madinah. Hingga suatu hari, ketika ia bersama murid-murid lainnya berada di majlis, datanglah sebuah rombongan entah dari mana. Mereka datang sambil membawa gajah. Para murid-murid Imam Malik berhamburan keluar ingin melihat gajah. Di jazirah Arab, makhluk besar berbelalai itu saat itu memang tergolong asing. Maka orang-orang pun keluar ingin melihat lebih dekat. Begitu pun murid-murid Imam Malik. Semua beranjak, kecuali Yahya bin Yahya. Hingga semua keluar Yahya tetap duduk di majelis itu. Melihat itu Imam Malik mendekat. "Mengapa engkau tidak keluar juga untuk melihat gajah?" tanya Imam Malik. Yahya menjawab, "Aku jauh-jauh datang dari Andalusia untuk menuntut ilmu, bukan untuk melihat gajah. " Imam Malik sangat kagum dengan keteguhan Yahya. Setelah itu Imam Malik pun menggelarinya dengan ‘aqilu Andalus (lelaki berakal dari Andalusia).
***
Yahya bin yahya Al-andalusi adalah salah satu model ideal para penuntut ilmu. Keteguhan dan semangatnya dalam menuntut ilmu serta keteguhannya dalam memegang prinsip patut kita kagumi. Ia sangat mengerti dan memahami dimana dia berada, apa yang semestinya dia lakukan dan terutama jalan apa yang sedang dia tempuh. Dia berhasil mengesampingkan godaan-godaan yang mungkin akan menghambat tujuannya dalam menuntut ilmu dan akan membuatnya melenceng dari orientasinya semula. Padahal sekiranya dia keluar waktu itu bersama-sama teman-temannya, itu pun tak jadi soal. Toh, Imam malik pun tidak meneruskan pelajarannya sebab semua muridnya keluar. Namun nilai filosofis luhur di balik sikapnya itu mencerminkan keteguhan dan kecerdasan, tentang bagaimana seorang muslim mesti memahami dan menjauhkan diri dari godaan-godaan konsistensi yang tak jarang akan membuat terlena, menghentikan atau bahkan menghempaskan diri dari tujuan semula. Betapa ia memahami bahwa ia tidak boleh terlena dan berhenti oleh godaan-godaan tersebut.
Sejujurnya dalam hidup ini, kita sering menemukan orang-orang yang terhenti dalam proses pengejaran cita-cita, kehendak mulia, dan prestasi , hanya karena keteledoran dan tidak mampu menahan diri dari godaan yang pada hakikatnya kecil. Godaan-godaan serta faktor penghambat yang sangat kecil tersebut sayangnya hanya dibiarkan begitu saja, bahkan kemudian dijadikan sebuah kebiasaan. Sikap "nanti saja" dan "sebentar dulu" sering menjadi godaan yang mulanya kecil namun kemudian membuat jiwa kita layu, semangat mulai redup dan akhirnya orientasi awal pun melenceng. Maka, Ketegasan kita dalam mengambil sikap ketika kita tergoda merupakan hal yang sangat penting sekali dalam kehidupan terutama dalam proses pengejaran cita-cita kita.
Nah, mungkin sedikit intropeksi bagi saya pribadi dan upaya saling nasehat menasehati bagi para mahasiswa terutama mahasiswa baru dari Indonesia yang menuntut ilmu dan mengejar cita-citanya di Mesir. Satu hal yang sering diingatkan oleh para senior ketika baru datang ke mesir adalah sebuah ungkapan yang mungkin mewakili pembacaan dasar kondisi mesir "Al-Qahirah, In lam taqharha, Qoharotka (Kairo, jika kamu tidak bisa menaklukannya maka niscaya dia yang akan menaklukanmu)". Sungguh hal ini ternyata sangat dalam maknanya. Kita mungkin tidak akan berbicara tentang realitas sosio masyarakat mesir yang jelas merupakan tantangan yang mesti di lalui mengingat perbedaan kultur Indonesia dan mesir. Namun ternyata ada beberapa hal yang mungkin sering menjadi godaan yang lumayan berat untuk di lalui dan hal ini sangat membutuhkan ketegasan kita dalam mengambil sikap serta keteguhan kita dalam memegang prinsip
Pertama, Kondisi mesir yang sangat banyak memiliki tempat wisata yang layak dikunjungi. Sejujurnya hal ini merupakan godaan berat terutama bagi mereka yang memiliki jiwa ekspedisi dan yang memiliki hobi rihlah. Tempat-tempat wisata seperti di Alexandria, Sinai, giza, dhimyath, luxor dan kairo sendiri sungguh merupakan godaan yang lumayan berat untuk dihindari oleh para penyuka rihlah. Maka kalau hal ini tidak disikapi dengan bijak serta tidak memiliki ketegasan, maka bisa jadi sebahagian kehidupan dan aktifitas pendidikan di mesir ini kita di lalui dengan mengunjungi tempat tersebut berulang-ulang kali mengingat pesona nya yang indah. Memang tidak ada yang melarang namun godaan yang kecil ini bisa saja akan melencengkan kita dari orientasi awal.
Kedua, dinamika masisir yang diwarnai dengan tarik menarik yang kuat antara organisasi. Sejujurnya saya pribadi tidak membayangkan bahwa tarik menarik organisasi mahasiswa Indonesia ternyata sangat kuat bahkan melebihi kuatnya dinamika tarik menarik organisasi di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Saya sendiri mengalami ketika baru dua bulan di mesir, para aktifis organisasi mulai aktif dan gencar melakukan proses rekruitmen kader, dan sasarannya tentu saja para mahasiswa baru. Nah, disini ketegasan dalam mengambil sikap sangat dibutuhkan. Karena kalau tidak, bisa jadi setiap organisasi yang menawarkan diri kita dapat kita ikuti tanpa dilandasi dengan pertimbangan yang matang. Apalagi kalau yang menawarkan adalah senior kita dulunya di Indonesia, atau orang yang kita anggap berjasa di mesir, bisa jadi kita akan terjebak dalam 5 atau 6 atau lebih organisasi. Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa berorganisasi merupakan kebutuhan kita untuk pengembangan diri, ditambah lagi dengan program yang ditawarkan beberapa organisasi juga mendukung dengan studi namun tetap kita harus bijak dalam memilih serta tegas dalam mengambil keputusan. Jangan sampai kesibukan kita dalam berorganisasi mengalahkan intensitas kita dalam menuntut ilmu yang merupakan orientasi awal kita.
Ketiga, banyaknya perubahan kebiasaan yang jadi budaya di mesir. Budaya tidur pagi, budaya malas ke kuliah serta budaya rihlah mungkin sedikit diantara budaya-budaya yang jelek yang menjadi godaan-godaan dalam proses thalabul ilm di mesir. Mungkin awalnya ini hanya sekali-sekali namun karena dibiasakan akhirnya jadilah budaya yang sebenarnya menghambat proses thalabul ilm.
Keempat, Terlena dengan internet. Budaya online di YM dan FB sudah bukan merupakan hal yang asing bagi masisir. Bahkan sampai muncul istilah LC (lulusan chating) , fakultas facebook, dan lain-lain. hal ini mungkin realitas yang tidak dapat dipungkiri. Rata-rata rumah kontrakan masisir sudah dilengkapi dengan fasilitas internet computer dan laptop, ada juga yang menggunakan Handphonenya. Hal ini bukan akan baik kalo di atur dengan sedemikian rupa dan tidak membuat kita terlena. Internet dan chating bisa jadi baik kalo digunakan untuk diskusi online contohnya, yang jadi masalah adalah ketika kita membicarakan hal-hal yang tidak perlu atau bahkan tidak pantas dengan posisi kita sebagai azhariy. Dan yang lebih parah lagi ada yang malah dari pagi sampai malamnya di depan computer, hanya dipisahkan shalat dan makan. gara-gara chating. Hal ini jelas godaan yang mesti kita sikapi dengan tegas dan bijak.
Nah, cita-cita awal kita yang luhur, orientasi pendidikan yang sudah kita targetkan sejak di Indonesia, kehendak-kehendak kita yang kuat dalam proses thalabul ilm, semestinya tidak boleh terhenti oleh apapun , apalagi terhenti oleh sesuatu hal yang sebenarnya kecil namun kita biasakan. Hiburan, rehat, rihlah, dan komplemen lainnya sendiri bukan hal yang terlarang sebetulnya, namun butuh ketegasan serta proporsional. kita harus terus mengejar cita-cita kita. jangan pernah terlena, terhenti, atau malah terhempaskan. Semoga kita semua dapat meniru kepribadian Yahya bin Yahya Al –andalusi yang tegas dalam mengambil sikap dan teguh memengang prinsip sehingga godaan sekecil apapun dapat kita antisipasi. Wallahu a'lam
Hari demi hari pun ia lalui dengan segala bentuk aktifitas keilmuan yang ia dapatkan dari gurunya, Imam Malik di madinah. Hingga suatu hari, ketika ia bersama murid-murid lainnya berada di majlis, datanglah sebuah rombongan entah dari mana. Mereka datang sambil membawa gajah. Para murid-murid Imam Malik berhamburan keluar ingin melihat gajah. Di jazirah Arab, makhluk besar berbelalai itu saat itu memang tergolong asing. Maka orang-orang pun keluar ingin melihat lebih dekat. Begitu pun murid-murid Imam Malik. Semua beranjak, kecuali Yahya bin Yahya. Hingga semua keluar Yahya tetap duduk di majelis itu. Melihat itu Imam Malik mendekat. "Mengapa engkau tidak keluar juga untuk melihat gajah?" tanya Imam Malik. Yahya menjawab, "Aku jauh-jauh datang dari Andalusia untuk menuntut ilmu, bukan untuk melihat gajah. " Imam Malik sangat kagum dengan keteguhan Yahya. Setelah itu Imam Malik pun menggelarinya dengan ‘aqilu Andalus (lelaki berakal dari Andalusia).
***
Yahya bin yahya Al-andalusi adalah salah satu model ideal para penuntut ilmu. Keteguhan dan semangatnya dalam menuntut ilmu serta keteguhannya dalam memegang prinsip patut kita kagumi. Ia sangat mengerti dan memahami dimana dia berada, apa yang semestinya dia lakukan dan terutama jalan apa yang sedang dia tempuh. Dia berhasil mengesampingkan godaan-godaan yang mungkin akan menghambat tujuannya dalam menuntut ilmu dan akan membuatnya melenceng dari orientasinya semula. Padahal sekiranya dia keluar waktu itu bersama-sama teman-temannya, itu pun tak jadi soal. Toh, Imam malik pun tidak meneruskan pelajarannya sebab semua muridnya keluar. Namun nilai filosofis luhur di balik sikapnya itu mencerminkan keteguhan dan kecerdasan, tentang bagaimana seorang muslim mesti memahami dan menjauhkan diri dari godaan-godaan konsistensi yang tak jarang akan membuat terlena, menghentikan atau bahkan menghempaskan diri dari tujuan semula. Betapa ia memahami bahwa ia tidak boleh terlena dan berhenti oleh godaan-godaan tersebut.
Sejujurnya dalam hidup ini, kita sering menemukan orang-orang yang terhenti dalam proses pengejaran cita-cita, kehendak mulia, dan prestasi , hanya karena keteledoran dan tidak mampu menahan diri dari godaan yang pada hakikatnya kecil. Godaan-godaan serta faktor penghambat yang sangat kecil tersebut sayangnya hanya dibiarkan begitu saja, bahkan kemudian dijadikan sebuah kebiasaan. Sikap "nanti saja" dan "sebentar dulu" sering menjadi godaan yang mulanya kecil namun kemudian membuat jiwa kita layu, semangat mulai redup dan akhirnya orientasi awal pun melenceng. Maka, Ketegasan kita dalam mengambil sikap ketika kita tergoda merupakan hal yang sangat penting sekali dalam kehidupan terutama dalam proses pengejaran cita-cita kita.
Nah, mungkin sedikit intropeksi bagi saya pribadi dan upaya saling nasehat menasehati bagi para mahasiswa terutama mahasiswa baru dari Indonesia yang menuntut ilmu dan mengejar cita-citanya di Mesir. Satu hal yang sering diingatkan oleh para senior ketika baru datang ke mesir adalah sebuah ungkapan yang mungkin mewakili pembacaan dasar kondisi mesir "Al-Qahirah, In lam taqharha, Qoharotka (Kairo, jika kamu tidak bisa menaklukannya maka niscaya dia yang akan menaklukanmu)". Sungguh hal ini ternyata sangat dalam maknanya. Kita mungkin tidak akan berbicara tentang realitas sosio masyarakat mesir yang jelas merupakan tantangan yang mesti di lalui mengingat perbedaan kultur Indonesia dan mesir. Namun ternyata ada beberapa hal yang mungkin sering menjadi godaan yang lumayan berat untuk di lalui dan hal ini sangat membutuhkan ketegasan kita dalam mengambil sikap serta keteguhan kita dalam memegang prinsip
Pertama, Kondisi mesir yang sangat banyak memiliki tempat wisata yang layak dikunjungi. Sejujurnya hal ini merupakan godaan berat terutama bagi mereka yang memiliki jiwa ekspedisi dan yang memiliki hobi rihlah. Tempat-tempat wisata seperti di Alexandria, Sinai, giza, dhimyath, luxor dan kairo sendiri sungguh merupakan godaan yang lumayan berat untuk dihindari oleh para penyuka rihlah. Maka kalau hal ini tidak disikapi dengan bijak serta tidak memiliki ketegasan, maka bisa jadi sebahagian kehidupan dan aktifitas pendidikan di mesir ini kita di lalui dengan mengunjungi tempat tersebut berulang-ulang kali mengingat pesona nya yang indah. Memang tidak ada yang melarang namun godaan yang kecil ini bisa saja akan melencengkan kita dari orientasi awal.
Kedua, dinamika masisir yang diwarnai dengan tarik menarik yang kuat antara organisasi. Sejujurnya saya pribadi tidak membayangkan bahwa tarik menarik organisasi mahasiswa Indonesia ternyata sangat kuat bahkan melebihi kuatnya dinamika tarik menarik organisasi di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Saya sendiri mengalami ketika baru dua bulan di mesir, para aktifis organisasi mulai aktif dan gencar melakukan proses rekruitmen kader, dan sasarannya tentu saja para mahasiswa baru. Nah, disini ketegasan dalam mengambil sikap sangat dibutuhkan. Karena kalau tidak, bisa jadi setiap organisasi yang menawarkan diri kita dapat kita ikuti tanpa dilandasi dengan pertimbangan yang matang. Apalagi kalau yang menawarkan adalah senior kita dulunya di Indonesia, atau orang yang kita anggap berjasa di mesir, bisa jadi kita akan terjebak dalam 5 atau 6 atau lebih organisasi. Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa berorganisasi merupakan kebutuhan kita untuk pengembangan diri, ditambah lagi dengan program yang ditawarkan beberapa organisasi juga mendukung dengan studi namun tetap kita harus bijak dalam memilih serta tegas dalam mengambil keputusan. Jangan sampai kesibukan kita dalam berorganisasi mengalahkan intensitas kita dalam menuntut ilmu yang merupakan orientasi awal kita.
Ketiga, banyaknya perubahan kebiasaan yang jadi budaya di mesir. Budaya tidur pagi, budaya malas ke kuliah serta budaya rihlah mungkin sedikit diantara budaya-budaya yang jelek yang menjadi godaan-godaan dalam proses thalabul ilm di mesir. Mungkin awalnya ini hanya sekali-sekali namun karena dibiasakan akhirnya jadilah budaya yang sebenarnya menghambat proses thalabul ilm.
Keempat, Terlena dengan internet. Budaya online di YM dan FB sudah bukan merupakan hal yang asing bagi masisir. Bahkan sampai muncul istilah LC (lulusan chating) , fakultas facebook, dan lain-lain. hal ini mungkin realitas yang tidak dapat dipungkiri. Rata-rata rumah kontrakan masisir sudah dilengkapi dengan fasilitas internet computer dan laptop, ada juga yang menggunakan Handphonenya. Hal ini bukan akan baik kalo di atur dengan sedemikian rupa dan tidak membuat kita terlena. Internet dan chating bisa jadi baik kalo digunakan untuk diskusi online contohnya, yang jadi masalah adalah ketika kita membicarakan hal-hal yang tidak perlu atau bahkan tidak pantas dengan posisi kita sebagai azhariy. Dan yang lebih parah lagi ada yang malah dari pagi sampai malamnya di depan computer, hanya dipisahkan shalat dan makan. gara-gara chating. Hal ini jelas godaan yang mesti kita sikapi dengan tegas dan bijak.
Nah, cita-cita awal kita yang luhur, orientasi pendidikan yang sudah kita targetkan sejak di Indonesia, kehendak-kehendak kita yang kuat dalam proses thalabul ilm, semestinya tidak boleh terhenti oleh apapun , apalagi terhenti oleh sesuatu hal yang sebenarnya kecil namun kita biasakan. Hiburan, rehat, rihlah, dan komplemen lainnya sendiri bukan hal yang terlarang sebetulnya, namun butuh ketegasan serta proporsional. kita harus terus mengejar cita-cita kita. jangan pernah terlena, terhenti, atau malah terhempaskan. Semoga kita semua dapat meniru kepribadian Yahya bin Yahya Al –andalusi yang tegas dalam mengambil sikap dan teguh memengang prinsip sehingga godaan sekecil apapun dapat kita antisipasi. Wallahu a'lam
0 komentar