Tragedi Hukum Nenek Minah (Ironi Hukum Indonesia)

6:13 PM


Kamis, 19 November 2009 pukul 07:31:00 Oleh Eko Widiyanto



Musim panen kedelai telah tiba. Ny Minah (55 tahun), seorang nenek renta, pun ikut memanen di lahan garapannya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kec Ajibarang, Kab Banyumas, 2 Agustus lalu. Lahan yang dia garap kebetulan sedang dikelola oleh PT Rumpun Sari Antan (RSA) untuk tanaman kakao.



Ketika sedang memanen kedelai itulah, dia melihat ada tiga buah kakao yang sudah ranum berwarna kuning kemerah-merahan. Melihat buah itu, Minah tertarik memetik dengan niat bijinya akan ditanam kembali di kebun miliknya. Ketiga buah kakao yang sudah dia petik, kemudian dia letakkan di bawah pohon kakao tersebut, dan Minah kembali memanen kedelai.



Tindakan nenek dengan tujuh anak dan belasan cucu itu 'tertangkap basah' dua mandor perkebunan PT RSA, Tarno dan Rajiwan. Melihat tiga buah kakao tergeletak di atas tanah, Tarno kemudian bertanya kepada Minah yang saat itu sedang memanen kedelai sendirian. ''Yang memetik buah kakao ini siapa?'' kata Tarno, ditirukan Minah.



Minah spontan menjawab, ''Saya.'' Tarno kembali bertanya, ''Buah itu akan digunakan untuk apa?'' Minah yang dikenal sebagai Ny Sanrusdi itu pun menjawab, bijinya akan disemai kemudian setelah tumbuh akan ditanam di kebunnya. Mendapat jawaban itu, Tarno kemudian menceramahi Minah supaya tidak mencuri lagi.



Minah, yang sudah mengenal Tarno, langsung minta maaf. ''Ya sudah, Mas, saya minta maaf kalau dianggap telah mencuri. Kalau begitu, buah kakaonya dibawa saja, Mas,'' balas Minah. Kedua mandor itu pun pergi dengan membawa tiga buah kakao yang dipetik Minah.



Sepekan kemudian, Minah tiba-tiba mendapat panggilan pemeriksaan dari Polsek Ajibarang. ''Di kantor polisi ini, saya diperiksa macam-macam yang intinya dituduh mencuri kakao milik perkebunan PT RSA,'' katanya.



Ketika kali terakhir diperiksa, Minah membubuhkan cap jempol tangan pada BAP (Berkas Acara Pemeriksaan)-nya, karena dia tidak bisa tanda-tangan. ''Ssaya tidak tahu tulisannya apa, kan saya buta huruf. Tadinya disuruh tanda tangan saja. Tapi, karena tidak bisa tanda tangan, ya pake cap jempol,'' katanya.



Selanjutnya, Minah harus menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Purwokerto. ''Di kejaksaan, saya juga beberapa kali diperiksa. Bu jaksa yang memeriksa saya, meminta saya tidak usah membantah agar prosesnya cepat. Kulo nggih manut mawon, wong kepingin persoalane cepat rampung (saya ya mengikuti saja biar persoalan cepat selesai),'' katanya.



Dari kejaksaan, proses hukumnya berlanjut ke pengadilan yang disidangkan dengan Ketua Majelis Hakim Muslich Bambang Purnomo, dibantu Dedy Hermawan dan Socheh. JPU-nya adalah Noorhaniyah.



Minah disidang tanpa didampingi pengacara. Humas PN Purwokerto, Sudira, mengatakan, dalam perkara yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun, terdakwa memang tidak wajib didampingi penasihat hukum. ''Tapi di awal persidangan, terdakwa pasti ditawari majelis hakim apakah ingin didampingi pengacara atau tidak. Mungkin karena yang bersangkutan tidak ingin didampingi pengacara, maka kami tidak menyediakan pengacara,'' kata Sudira.



Soal pengacara ini, Minah malah balik bertanya. ''Pengacara niku nopo, Mas? Wah, kulo leres mboten ngertos nopo-nopo bab niku (pengacara itu apa, Mas? Wah, saya tidak tahu apa-apa soal itu),'' tuturnya, lugu.



Minah pun dikenakan tahanan rumah selama masa pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan, hingga menjalani persidangan dari tanggal 13 Oktober sampai 1 November. Ia tidak pernah satu malam menjalani masa tahanan, yang kini status tahanan itu sudah selesai, karena tak ada perpanjangan lagi.



Namun demikian, Minah mengaku sangat lelah berurusan dengan polisi, jaksa, dan pengadilan. ''Saya harus bolak-balik dari rumah ke kantor jaksa dan pengadilan yang jaraknya sampai 40 km,'' keluhnya.



Lantas bagaimana kalau hakim nantinya menjatuhi hukuman penjara? ''Wah, dipenjara, Mas? Jangan, Mas. Jangan pokoknya,'' kata Minah dengan wajah cemas. Tampaknya, Minah belum menyadari dengan dakwaan tersebut, maka dia harus berpisah dengan anak dan cucunya karena mendekam di penjara maksimal enam bulan.



Ahmad Firdaus, anak sulung Minah, berharap dalam persidangan yang menghadirkan ibunya sebagai terdakwa, para penegak hukum menggunakan hati nurani. Menurutnya, sistem hukum di Indonesia memang tidak memiliki hati nurani, meski dia berharap ada keajaiban.



''Ibu saya sudah tua, bahkan gara-gara persoalan ini, ibu saya jadi sering sakit-sakitan. Untuk itu, saya berharap majelis hakim yang menyidangkan ibu saya bisa bersikap bijaksana. Kalau memang ibu saya disebut telah mencuri, barang yang dicuri nilainya tidak seberapa, dan sebenarnya sudah diambil pemiliknya lagi,'' Ahmad memohon.



Hingga kemarin, kasus yang menjerat nenek buta huruf itu sudah masuk ke Pengadilan Negeri Purwokerto. Bahkan, kasusnya sudah disidang dua kali, setiap Kamis. Dan pada Kamis (18/11) ini, sidang kasus Minah akan kembali digelar dengan agenda pembacaan pledoi sekaligus pengambilan putusan oleh majelis hakim.



Dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Noorhaniyah dari Kejaksaan Negeri Purwokerto, Minah didakwa telah melakukan tindak pidana seperti diatur dalam Pasal 362 KUHP. Yakni, telah dengan sengaja mengambil barang milik orang lain untuk dimiliki sendiri. Berdasarkan pasal itu pula, Minah diancam dengan hukuman enam bulan penjara.



Harga kakao itu



Yang menarik, dalam surat dakwaan yang salinannya disimpan Ny Minah, buah kakao yang dicurinya disebutkan seberat 3 kg sehingga menimbulkan kerugian bagi PT RSA sebesar Rp 30 ribu.



Jika dijual di pasaran, harga tiga biji kakao basah yang diambil Minah itu hanya Rp 2.100. ''Yang dipetik ibu saya, hanya 3 buah kakao. Kalau diambil bijinya, paling tidak sampai setengah kilogram kakao basah. Kalau dihitung harganya, kakao yang dipetik ibu saya paling sebesar Rp 500 per biji. Tapi, hanya gara-gara kakao sebanyak itu, ibu saya diancam dengan hukuman enam bulan penjara,'' kata Ahmad Firdaus, anak sulung Minah.



Memang, harga biji kakao di pasaran selalu fluktuatif. Saat ini, harga biji kakao kering naik mencapai Rp 17 ribu per kg. Bila dalam kondisi basah, hanya laku Rp 3.500 per kg. Namun, ketika Minah memetik buah kakao milik PT RSA pada bulan Agustus lalu, harga biji kakao kering sedang anjlok, hanya dihargai Rp 7.000 per kg. Bila dalam kondisi basah, cuma laku Rp 1.500 per kg.



Ia menyebutkan, lahan perkebunan kakao di Desa Darmakradenan tersebut sebenarnya masih sengketa. Awalnya, lahan itu merupakan lahan perkebunan karet milik Belanda. Setelah Indonesia merdeka, lahan tersebut sempat menjadi sengketa antara warga setempat yang sudah menggarap lahan dan TNI.



Akan tetapi, belum lama ini separuh lahan perkebunan seluas 250 hektare tersebut sudah menjadi milik warga dengan dilengkapi sertifikat kepemilikan. Separuhnya lagi dikuasai PT Rumpun Sari Antan. Oleh PT RSA, lahan perkebunan yang semula ditanami pohon karet, diganti menjadi lahan perkebunan kakao.



Namun, karena sudah lama dikelola warga, ada sebagian warga yang tetap menanam lahan tersebut dengan tanaman semusim, yang dilakukan secara tumpang sari dengan pohon kakao. Keadilan memang mahal di negeri ini. n ed: zaky ah



http://republika.co.id/koran/14/90256/Tragedi_Hukum_Nenek_Minah



"Ironi hukum di Indonesia; Gajah dipelupuk mata tak terlihat, semut di ujung lautan kelihatan"

You Might Also Like

2 komentar

  1. miris banged deh bacanya ..ckck

    ReplyDelete
  2. yachhhhhh......
    jaksa sekolahnya tinggi
    semua staf PT. rumpun sari antan sekolahnya tinggi
    polisi sekolahnya tinggi
    kok masalah kayak gt gak bisa diselesaian secara baik-baik....
    datang ajar kerumahku ntar aku ganti rugi....
    khn cmn 30.000,- belanja setengah hari..
    mungkin PT. Sari Antan udah kelewat miskin..
    biar saya kasih sedekah

    ReplyDelete

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images