Mengenal Al-Mabadi’ Al-‘Asyarah Ilmu Fiqh

1:53 PM

Ilmu Fiqh adalah salah satu ilmu penting yang harus diketahui oleh setiap muslim. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Minhaj al-‘Abidin berkata “Ketahuilah bahwa Ilmu yang wajib dipelajari itu ada tiga : Ilmu Tauhid, Ilmu Hati (Akhlak dan Tasawuf) dan Ilmu Syari’ah (Fiqh)[1].  Imam Nawawi berkata: “ Diantara pembagian ilmu syar’i, ada ilmu yang hukumnya adalah fardhu ‘ain yaitu ilmu-ilmu yang tidak sempurna pelaksanaan perkara wajib dari seorang mukallaf kecuali dengan ilmu tersebut, seperti ilmu tentang tata cara wudhu, shalat dan lain-lain[2], ilmu tentang hal-hal ini diketahui lewat ilmu fiqh.

Ilmu Fiqh sendiri termasuk ilmu yang sudah ada sejak awal risalah. Ia masih masuk dalam tema besar proses syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah dan belum berdiri sebagai sebuah disiplin ilmu. Proses syari’ah sendiri berlangsung sempurna pada masa hidupnya Rasulullah walau Rasulullah sendiri tidak meninggalkan sebuah kitab fiqh layaknya kitab-kitab fiqh yang kita temukan sekarang. 

Dalam perkembangannya, fiqh pun terbagi kepada beberapa mazhab dimana setiap mazhab memiliki metode tersendiri dalam menetapkan hukum. Di kalangan Ahlusunnah wal jama’ah, ada 4 buah mazhab yang disepakati : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Setiap wilayah tertentu biasanya menganut sebuah mazhab tertentu, seperti di Indonesia mayoritas menganut mazhab Syafi’i.

Untuk memasuki kajian ilmu fiqh, seperti yang telah disebutkan dalam tulisan sebelumnya, perlu diketahui Al-Mabadi’ Al-‘Asyarah bagi ilmu fiqh, seperti yang dijelaskan dibawah ini :

1.     Defenisi Ilmu Fiqh

Ilmu fiqh masyhur didefenisikan sebagai Ilmu untuk mengetahui hukum syar’i  yang sifatnya ‘amali (bukan i’tiqadi seperti ilmu Tauhid) yang diperoleh lewat usaha ijtihad terhadap dalil-dalil tafshili (terperinci)[3]

Defenisi diatas membuat ilmu fiqh berbeda dari ilmu tauhid (karena ilmu tauhid sifatnya i’tiqadi bukan ‘amali), begitu juga ilmu akhlak dan tasawuf (karena objek kajian ilmu akhlak dan tasawuf bukan hukum syar’i), begitu juga ilmu ushul fiqh (karena ushul fiqh adalah ilmu tentang kaedah dan dalil hukum syar’i), begitu juga ilmu qawaid fiqh (karena ilmu qawaid fiqh adalah ilmu tentang penjelasan hukum syar’i yang bersifat global).

2.     Penamaan Ilmu Fiqh

Istilah Fiqh sendiri sebelum terkonsentrasi pada ilmu tentang hukum syar’i yang sifatnya ‘amali lewat proses ijtihad, lebih dahulu dikenal sebagai istilah untuk segala macam ilmu syar’i. Sejak masa salaf, ilmu fiqh juga mencakup ilmu tentang tauhid, ilmu tentang ushul dan furu’ agama,  diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah yang dinukil oleh Hasan Syafi’i dalam kitabnya Al-Madkhal ila Dirasah Ilm Al-Kalam mengatakan “Ketahuilah bahwa ilmu fiqh Ushuluddin lebih utama dari ilmu fiqh masalah cabang-cabang hukum. Fiqh adalah pengetahuan diri terhadap apa yang mesti ia ketahui, baik perkara I’tikad ataupun Amaliyat. Mengetahui hal yang berhubungan dengan perkara i’tikad disebut ilmu fiqh akbar sedangkan mengetahui perkara cabang-cabang hukum disebut dengan ilmu fiqh”[4].
 
Namun seiring perjalanan waktu, ilmu fiqh lebih terkonsentrasi pada pembahasan hukum syar’i yang sifatnya ‘amali yang diperoleh lewat proses Ijtihad lewat dalil.

Nama lain dari ilmu fiqh ini adalah Ilmu Furu’, karena ia membahas masalah-masalah furu’ dari hukum. Beberapa kitab dalam ilmu fiqh kadang menggunakan nama ini seperti kitab Al-Furu’ karangan Ibn Muflah Al-Hanbali. Ilmu fiqh juga sering disebut sebagai Ilmu ahkam atau ilmu tentang hukum karena kajian tentang ilmu hukum syar’i yang sifatnya ‘amali begitu sering kita temukan.

3.     Objek kajian Ilmu Fiqh

Objek kajian ilmu fiqh adalah segala bentuk aktivitas mukallaf, baik yang berupa perkataan ataupun perbuatan, ditinjau dari sisi syari’ah. Aktivitas ini biasanya dinilai lewat variabel halal-haram, sah-batal, dan lain-lain[5]

4.     Tujuan mempelajari Ilmu Fiqh

Ilmu fiqh adalah termasuk salah satu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim mukallaf. Karena ilmu ini menjadi syarat dalam setiap aktivitasnya. Syekh Ahmad Thaha Rayyan ketika menjelaskan hadits طلب العلم فريضة على كل مسلم / Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim[6], berkata: “ada dua macam ilmu syar’i yang harus kita pelajari. Pertama, ilmu tentang hal-hal yang berhubungan dengan ibadah kita seperti tata cara shalat, wudhu, puasa, mengetahui halal-haram, sah-batal dan lain-lain. Kedua, mengetahui hukum sebuah aktivitas yang kita lakukan seperti jika kita ingin menikah, kita harus tahu hukumnya dari sisi syari’ah, begitu juga ketika kita ingin mempelajari sebuah ilmu seperti ilmu pertanian atau kedokteran dan lain-lain[7].

Pengetahuan terhadap ilmu fiqh akan membawa kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat karena esensi fiqh adalah mengetahui perintah Allah yang harus kita kerjakan serta larangan Allah yang harus kita jauhi dan tinggalkan

5.     Nilai Ilmu Fiqh

Ilmu fiqh merupakan ilmu yang sangat penting diketahui. Setelah pengetahuan tentang akidah atau tauhid, maka pengetahuan tentang tata cara pelaksanaan perintah Allah dan menjauhi larangannya adalah hal kedua yang harus dimiliki oleh mukallaf. Dan pengetahuan tersebut ada di Ilmu Fiqh.

6.     Keutamaan mempelajari Ilmu Fiqh

Ilmu fiqh adalah ilmu yang utama untuk dipelajari. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : من يُرِدْ الله بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ في الدِّينِ (“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan kepada seorang hamba maka Ia akan difahamkan tentang agamanya.”). Hadits ini dengan jelas mengatakan bahwa salah satu tanda Allah ingin kebaikan pada hambanya adalah dengan jalan memberikan ia kefahaman dalam urusan agamanya. Memahami urusan agama sendiri harus ditempuh dengan cara belajar. Ilmu agama sendiri termasuk disana adalah ilmu fiqh.

7.     Penggagas Ilmu Fiqh

Ada banyak perbedaan pendapat tentang siapa penggagas ilmu fiqh dengan makna disiplin ilmu tersendiri seperti yang kita ketahui sekarang. Sebagian ulama berkata penggagas ilmu fiqh adalah Ali bin Rafi’ maula Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagian lagi berpendapat Imam Abu Hanifah. Ada juga ulama yang berpendapat Imam Abdurrahman bin Qasim Al-Maliki, karena beliau adalah orang pertama yang menulis buku tentang fiqh.

8.     Sumber Ilmu Fiqh

Ilmu fiqh atau bisa kita sebut dengan hukum,  berasal dari proses ijtihad seorang mujtahid terhadap dalil-dalil syar’i. Dalil-dalil tersebut mencakup Nash Syar’i (Al-Qur’an dan Sunnah), Ijma’, Qiyas, dalil-dalil yang dibahas dalam ushul fiqh (Istishab, Istihsan, Al-Urf, Mashalih Mursalah, dll) dan Bahasa Arab serta logika.

9.     Hukum mempelajari Ilmu Fiqh

Hukum mempelajari Fiqh dapat kita klasifikasikan sebagai berikut :
a.  Fardhu ‘Ain : mempelajari ilmu tentang keabsahan ibadah dan mu’amalah. Juga mempelajari hukum tentang nikah, juga hukum tentang sebuah aktivitas yang akan kita lakukan
b.     Fardhu kifayah : mempelajari hukum fiqh yang berekses pada mashalah masyarakat.

10.Pokok bahasan dalam kajian Ilmu Fiqh

Ada banyak pembahasan dalam kajian Ilmu Fiqh. Secara umum, pembahasan kitab-kitab fiqh terbagi kepada dua tema besar : Pertama, hukum-hukum yang sifatnya telah ditetapkan oleh Nash Syar’i Qath’i Ats-Tsubut seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, menunaikan janji, jihad fi sabilillah, serta hal-hal lain yang telah ditetapkan oleh nash Syar’i mutawattir. Kedua, hukum-hukum terperinci yang rinciannya tidak dijelaskan secara jelas oleh Nash Mutawattir sehingga perlu digali lebih lanjut lewat proses ijtihad[8].

Adapun masalah hukum fiqh yang dikaji oleh ilmu fiqh, dapat kita klasifikasikan sebagai berikut :
a.       Masalah Ibadah : Yang berhubungan dengan ibadah kepada Allah seperti shalat, puasa, dan lain-lain serta hal-hal yang berhubungan langsung dengan keabsahan pelaksanaan ibadah tersebut

b.      Ahwal Sakhshiyah : Yang berhubungan dengan hukum keluarga seperti nikah, talaq, nasab, nafkah, wasiat, warisan dan lain-lain

c.       Mu’amalah : Segala hal yang berhubungan dengan mu’amalah manusia seperti jual beli, sewa, pinjam, hutang, dan lain-lain

d.      Siyasah Syar’iyah : Yang berhubungan dengan penegakan kepemimpinan serta eksekusi hukum dalam islam

e.       ‘Uqubat/Jinayat : yang berhubungan dengan perkara Pidana dalam Islam

f.        Al-Huquq Ad-Daulah Al-Ammah : yang berhubungan dengan etika serta diplomasi hubungan antar negeri, termasuk disana tata cara perang dan lain-lain

g.       Adab : yang berhubungan dengan etika personal dan inter personal dalam kehidupan.[9]

Mempelajari Ilmu Fiqh

Mempelajari ilmu fiqh ada baiknya dimulai dari kitab-kitab dasar yang sesuai dengan mazhab daerah kita berada. Di Indonesia misalnya, dengan mayoritas penganut mazhab syafi’i, maka yang terbaik adalah memulai pelajaran ilmu fiqh dengan kitab fiqh dasar mazhab syaf’i. Untuk kitab dasar / pemula dalam mazhab syaf’i ada kitab Matan Al-Ghayah wa Taqrib yang kita kenal dengan Matan Abi Syuja’. Juga ada kitab Matan Muqaddimah Al-Hadramiyah. Setelah menguasai kitab dasar ini, baru mulai masuk kepada kitab-kitab yang menjelaskan matan-matan tersebut seperti kitab Fathul qarib dengan Hasyiyah Baijuri atau kitab Luma’ (keduanya adalah syarah/penjelasan dari matan Abi Syuja’) dan syarah Muqaddimah Al-Hadramiyah. Untuk kalangan pelajar menengah, ada kitab Fathul Mu’in dengan Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, atau matan Minhajut Thalibin Imam Nawawi dengan Syarah Kanzur Raghibin Imam Mahalli (atau bisa juga dengan syarah Mughni Muhtaj Karangan Imam Khatib Asy-Syarbini). Untuk pelajar tingkat lanjut, baru masuk ke dunia komparatif fiqh antar mazhab dengan menggunakan kitab seperti Al-Mughni karangan Ibn Qudamah, Majmuk Syarah Muhazzab karangan Imam Nawawi dan lain-lain. Bahkan bisa masuk ke kitab-kitab yang dikarang langsung oleh pendiri mazhab seperti Muwatha’ Imam Malik dan Al-Umm imam Syafi’i.

Mempelajari fiqh lewat mazhab lebih baik dari mempelajarinya terlepas dari mazhab. Karena hal tersebut memang tabiat dari perkembangan fiqh itu sendiri. Kalau kita rujuk kepada sejarah tasyri’ dan perkembangan ilmu fiqh, fiqh diajarkan sesuai mazhab sahabat yang menyebarkan Islam. Hingga timbul kemudian madrasah Fiqh Ahlul Hadits dan Ahlul Ra’yi. Lalu berkembang mazhab-mazhab fiqh seperti mazhab imam Malik di Madinah, Imam Laits bin Sa’ad di Mesir, Imam Abu Hanifah di Iraq. Begitu seterusnya sampai masa sekarang.




[1] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Minhaj Al-‘Abidin, hal.7, Musthafa Al-Bab Al-Halabi Wa Awladuhu, 1337 H
[2] Muhy ad-din Yahya bin Syarf Abu Zakaria an-Nawawi, Majmuk Syarah Muhazzab, vol.I, hal.24
[3] Defenisi ini dipopulerkan oleh Qadhi Baydhawi dalam kitabnya Minhaj al-Wushul ila al-Ilm Al-Ushul. Lihat : Al-Ibhaj fi Syarh Al-Minhaj, vol.II, hal. 72, Dar Al-Buhuts, Dubai, 2004.
[4] Hasan Syafi’i, Al-Madkhal Ila Dirasah Ilm Al-kalam, cet. II, hal. 10, Idarah al-Qur’an wa Al-‘Ulum Al-Islamiyah, 2001
[5] Ali Rajab As-Shalihi, Tahqiq Mabadi’ Al-Ulum Al-Ahada Asyara, hal. 60, Dar Bashair, Cairo
[6] Hadits Masyhur dari Sahabat Anas bin Malik Ra (Lihat Sunan Ibn Majah hadits no 224).  Status hukumnya diperdebatkan antara Shahih Lighairihi dan Hasan. Namun, ia bisa dijadikan dalil tentang kewajiban menuntut ilmu.
[7] Transkrip ceramah majelis kitab Riyadhus Shalihin di Mesjid Al-Azhar Asy-Syarif bersama Syekh Ahmad Thaha Rayyan, Guru Besar Fiqh Muqaran Universitas Al-Azhar Asy-Syarif.
[8] Musthafa Ahmad Zarqa, Al-Madkhal ila Al-Fiqh Al-‘Am, vol.I, hal. 153, Dar Qalam, Damascus
[9] Ibid, hal. 66-67

You Might Also Like

1 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images