Pengantar Ilmu Ushul Fiqh

7:27 PM

A. Ta’rif dan Obyek Pembahasan Ushul Fiqh
kata ushul fiqh adalah kata ganda yang berasal dari kata “ushul” dan “fiqh” yang secara etimologi mempunyai arti “faham yang mendalam”. Sedangkan ushul fiqh dalam definisinya secara termologi adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalinya yang terperinci. Adapun definisi ini dikemukakan oleh Amir Syarifudin. Dan Berikut merupakan definisi-definisi ushul fiqh menurut ulama ushul yang lain:

Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi bahwa ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Al-Ghazali mena’rifkan ushul fiqh sebagai ilmu yang membahas tentang dalil-dalil hukum syara’ dan bentuk-bentuk penunjukan dalil terhadap hukum syara’. As-Syaukani mendefinisikan ushul fiqh sebagai ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah, yang mana kaidah tersebut bisa digunakan untuk mengeluarkan hukum syara’ berupa hukum cabang (furu’) dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Ulama Syafi’iy mendefinisikan ushul fiqh sebagai berkut: “Mengetahui dalil-dalil fiqh secara global dan cara menggunakannya, serta mengetahui keadaan orang yang menggunakannya.“
Definisi ini mengambarkan bahwa obyek pembahasan ushul fiqh adalah dalil syara’ yang bersifat umum ditinjau dari ketepatannya terhadap hukum syara’ yang bersifat umum pula. Atau secara praktis obyek pembahasan ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’ dari segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan orang mukallaf. Ushul fiqh juga membahas bagaimana cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil, seperti kaidah mendahulukan hadis mutawatir dari hadis ahad dan mendahulukan nash dari dhahir. Dalam pembahasan tentang sumber hukum, dibahas pula tentang kemungkinan terjadinya kontradiksi antara dalil-dalil dan cara penyelesaiannya. Dan dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang dalam melahirkan hukum syara’.

B. Tujuan Ushul Fiqh

Setelah mengetahui definisi ushul fiqh beserta pembahasannya, maka sangatlah penting untuk mengetahui tujuan dan kegunaan ushul fiqh. Tujuan yang ingin dicapai dari ushul fiqh yaitu untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dali syara’ yang terperinci agar sampai pada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali. Dengan ushul fiqh pula dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki aturan yang jelas atau bahkan tidak memiliki nash dengan cara qiyas, istihsan, istishhab dan berbagai metode pengambilan hukum yang lain. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai pertimbangan tentang sebab terjadinya perbedaan madzhab diantara para Imam mujathid. Karena tidak mungkin kita hanya memahami tentang suatu hukum dari satu sudut pandang saja kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara penjabaran hukum dari dalilnya. Para ulama terdahulu telah berhasil merumuskan hukum syara’ dengan menggunakan metode-metode yang sudah ada dan terjabar secara terperinci dalam kitab-kitab fiqh. Kemudian apa kegunaan ilmu ushul fiqh bagi masyarakat yang datang kemudian?. Dalam hal ini ada dua maksud kegunaan, yaitu:

Pertama, apabila sudah mengetahui metode-metode ushul fiqh yang dirumuskan oleh ulama terdahulu, dan ternyata suatu ketika terdapat masalah-masalah baru yang tidak ditemukan dalam kitab terdahulu, maka dapat dicari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.

Kedua, apabila menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab fiqh, akan tetapi mengalami kesulitan dalam penerapannya karena ada perubahan yang terjadi dan ingin merumuskan hukum sesuai dengan tuntutan keadaan yang terjadi, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah yang baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kemudian untuk merumuskan kaidah baru tersebut haruslah diketahui secara baik cara-cara dan usaha ulama terdahulu dalam merumuskan kaidahnya yang semuanya dibahas dalam ilmu ushul fiqh

C. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh

Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaedah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari pada ilmu ushul fiqh.

Secara embrional ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Dari cerita singkat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun pada masa ini belum sampai kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para sahabat tidak menemukan hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah.

Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung setelah nabi wafat, yaitu pada periode sahabat. Pemikiran ushul fiqh pun telah ada pada waktu perumusan fiqh tersebut. Diantaranya adalah Umar bin Khatab, Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya sudah menggunakan aturan dan pedoman dalam merumuskan hukum meskipun belum dirumuskan secara jelas.

Sebagai contoh, sewaktu sahabat Ali menetapkan hukum cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khomr, beliau berkata “Bila ia minum ia akan mabuk, dan bila ia mabuk ia akan menuduh orang berbuat zina. Maka kepadanya dikenakan sanksi tuduhan berzina.” Dari pernyataan Ali tersebut, ternyata sudah menggunakan kaidah ushul, yaitu menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al-Dzariah”. Contoh lain yaitu Abdullah ibnu Mas’ud yang menetapkan hukum berkaitan dengan masalah iddah, beliau menetapkan fatwanya dengan mengunakan metode nasakh-mansukh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian, menghapus dalil yang datang lebih dahulu. Dari dua contoh tersebut setidaknya sudah mampu memberi gambaran kepada kita bahwa para sahabat dalam melakukan ijtihadnya telah menerapkan kaidah atau metode tertentu, hanya saja kaidah tersebut belum dirumuskan secara jelas.

Pada periode tabi’in lapangan istinbat hukum semakin meluas dikarenakan banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Dalam masa itu beberapa ulama tabi’in tampil sebagai pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul, seperti Sa’id ibn Musayyab di Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di Iraq. Masing-masing ulama menggunakan metode-metode tertentu seperti mashlahat atau qiyas dalam mengistinbatkan hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Berkaitan dengan hal di atas, pada periode ulama, metode-metode untuk mengistinbat hukum mengalami perkembangan pesat diiringi dengan munculnya beberapa ulama ushul fiqh ternama seperti Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Berangkat dari keragaman metode dalam mengistinbatkan hukum inilah yang menyebabkan perbedaan aliran fiqh dalam beberapa madzhab tersebut.

Abu Hanifah menetapkan al-Qur’an sebagai sumber pokok, setelah itu hadits Nabi, baru kemudian fatwa sahabat. Dan metodenya dalam menerapkan qiyas serta istihsan sangat kental sekali.

Sedangkan Imam Malik lebih cenderung menggunakan metode yang sesuai dengan tradisi yang ada di Madinah. Beliau termasuk Imam yang paling banyak menggunakan hadits dari pada Abu Hanifah, hal ini mungkin dikarenakan banyaknya hadits yang beliau temukan. Disamping itu Imam Malik juga menggunakan qiyas dan juga maslahat mursalah, yang mana metode terakhir ini jarang dipakai oleh jumhur ulama.

Selain dua Imam diatas, tampil juga Imam Syafi’i. Ia dikenal sebagai sosok yang memiliki wawasan yang sangat luas, didukung dengan pengalamannya yang pernah menimba ilmu dari berbagai ahli fiqh ternama. Hal ini menjadikan beliau mampu meletakkan pedoman dan neraca berfikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Kemudian beliau menuangkan kaidah-kaidah ushul fiqh yang disertai dengan pembahasannya secara sistematis yang didukung dengan keterangan dan metode penelitian ke dalam sebuah kitab yang terkenal dengan nama “Risala“. Risala ini tidak hanya dianggap sebagai karya pertama yang membahas metodologi ushul fiqh, akan tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli fiqh dan para teoretisi yang datang kemudian untuk berusaha mengikutinya. Atas jasanya ini beliau dinilai pantas disebut sebagai orang yang pertama kali menyusun metode berfikir tentang hukum Islam, yang selanjutnya populer dengan sebutan “ushul fiqh“. Bahkan ada salah seorang orientalis yang bernama N.J Coulson menjuluki Imam Syafi’i sebagai arsitek ilmu fiqh. Namun yang perlu digarisbawahi, bahwa bukan berarti beliaulah yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut, karena jauh sebelumnya seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa mulai dari para sahabat, tabi’in bahkan dikalangan para Imam mujtahid sudah menemukan dan mengunakan metodologi dalam perumusan fiqh, hanya saja mereka belum sampai menyusun keilmuan ini secara sistematis, sehingga belum dapat dikatakan sebagai suatu khazanah ilmu yang berdiri sendiri.

Sepeninggal Imam Syafi’i pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik dan berkembang. Pada dasarnya ulama pengikut Imam mujtahid yang datang kemudian, mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi’i, namun dalam pengembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang akhirnya menyebabkan perbedaan dalam usul fiqh. Sebagian ulama yang kebanyakan pengikut madzhab Syafi’i mencoba mengembangkan ushul fiqh dengan beberapa cara, antara lain: mensyarahkan, memperrinci dan menyabangkan pokok pemikiran Imam Syafi’i, sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan bentuknya yang sempurna. Sedangkan sebagian ulama yang lain mengambil sebagian dari pokok-pokok Imam Syafi’i, dan tidak mengikuti bagian lain yang bersifat rincian. Namun sebagian lain itu mereka tambahkan hal-hal yang sudah dasar dari pemikiran para Imam yang mereka ikuti, seperti ulama Hanafiyah yang menambah pemikiran Syafi’i.

Setelah meninggalnya Imam-imam mujtahid yang empat, maka kegiatan ijtihad dinyatakan berhenti. Namun sebenarnya yang berhenti adalah ijtihad muthlaq. Sedangkan ijtihad terhadap suatu madzhab tertentu masih tetap berlangsung, yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis oleh Imam-imam pendahulunya.

D. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh dan Kitab-kitabnya

a. Aliran Mutakallimin

Penamaan Ulama Mutakallimim atau ulama kalam tersebut dalam hal ini karena para ulama kalam ini mengikutsertakan paham-paham teologi mereka di dalam penyusunan ilmu ushul fiqh. Keistimewaan ulama ini dalam menyusun ilmu ushul fiqh adalah pembuktian terhadap kaidah-kaidah dan pembahasannya yang dilakukan secara logis dan rasional dengan didukung oleh bukti-bukti yang autentik.

Mereka tidak hanya mengarahkan perhatiannya pada penerapan hukum yang telah ditetapkan oleh para imam mujtahid dan hubungan kaidah khilafiyah saja, melainkan semua hal yang rasional dengan didukung oleh bukti-bukti yang menjadi sumber hukum syara’. Kebanyakan ulama yang ahli dalam aliran ini adalah dari golongan Syafi’iyah dan Malikiyah.

Sedangkan kitab-kitab ushul fiqh yang terkenal dalam aliran ini diantaranya: 1. Al-Mustashfa karangan Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i (wafat 505 H) 2. Al-Ahkam karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafi’i (wafat 631 H) 3. Al-Minhaj karangan al-Baidhawi al-Syafi’i (wafat 685 H). Sedangkan kitab yang berisi penjelasan dan komentar yang terbaik adalah kitab Syarah al-Asnawi.[11] 4. Al-Mu’tamad karangan Abu Hasan al-Bashri yang dalam aliran kalam ber-aliran Mu’tazilah 5. Al-Burhan karangan Imam Haramain

b. Aliran Hanafiyah

Ulama fuqaha yang paling banyak menggunakan metode ini adalah ulama kelompok Hanafiyah, karena itu metode ushul fiqh yang digunakan dalam aliran ini disebut aliran Hanafiyah.

Para ulama di dalam aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dan pembahasan ushul fiqh dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah digunakan oleh imam mereka, dengan tujuan untuk melestarikan atau membumikan karya-karya imam mereka. Oleh karena itu dalam kitab-kitab mereka banyak menyebutkan masalah-masalah khilafiyah. Perhatian mereka hanya tertuju pada penjabaran ushul fiqh imam-imam mereka terhadap masalah khilafiyah mereka sendiri. Namun kadangkala mereka juga memperhatikan kaidah-kaidah ushul fiqh dalam perkara-perkara yang sudah disepakati. Adapun kitab-kitab yang terkenal di dalam aliran ini antara lain:

1. Kitab Ushul karangan al-Karahki 2. Kitab al-Ushul karangan Abu Bakar al-Razi 3. Kitab Ta’sis al-Nadzar karangan al-Dabbusi 4. Al-Manar karangan al-Hafidz al-Nasafi (wafat 790 H). Sedangkan kitab yang berisi pembahasan dan komentar yang terbaik adalah kitab Misykatul Anwar.

c. Aliran Pembaharu

Ada sebagian ulama lain yang menyusun ilmu ushul fiqh dengan menggabungkan antara dua metode di atas. Maksudnya mereka mencoba memberikan bukti kaidah-kaidah ushul fiqh yang sekaligus membeberkan dalil-dalilnya dan menerapkan kaidah-kaidah itu terhadap masalah-masalah khilafiyah.

Kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan gabungan dari kedua metode di atas antara lain adalah: 1. Kitab Badi’un Nidham karangan Muzhaffaruddin al-Baghdadi al-Hanafi (wafat tahun 694 H). Kitab ini merupakan gabungan dari kitab karangan bazdawi dengan kitab al-Ahkam. 2. Kitab al-Taudhih li shadris Syari’ah dan kitab al-Tharir karangan Kamal bin Hamam 3. Kitab Jam’ul Jawami’ karangan Ibnus Subuki, beliau merupakan ulama dari madzhab syafi’i.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images