Sejarah dan Perubahan Sosial Dalam Pandangan Ibnu Khaldun

9:10 PM

Dalam buku The Origin and Development of Muslim Historiography,karangan M.G Rasul,dikutip pendapat seorang intelektual Barat,Rogert Flint yang mengatakan,Thomas Hobbes,John Locke,dan Rousseau bukanlah tandingan Ibn Khaldun.Bahkan ,lanjutnya,nama-nama ini tidak layak disebut bersama namanya.Montgomery Watt mengungkapkan kesannya terhadap Khaldun,bahwa karyanya dalam bidang sosiologi merupakan kelanjutan dari pemikiran Ibn Rusyd tentang fungsi agama dan negara.Seakan-akan menambah luas posisi Ibn Khaldun di bidang ilmu pengetahuan sosial dan agama,Bernard Lewis - seorang Orientalis Yahudi – menempat Ibnu Khaldun tidak saja sebagai sejarawan Arab terbesar,bahkan sebagai pemikir sejarah terbesar pada abad-abad pertengahan.

Ibn khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 ( 1 Ramadhan 732 ) dengan nama lengkap Waliyuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi bakar Muhammad Bin Al-Hasan.Keluarganya berasal dari Hadramaut (sekarang wilayah Yaman) dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat Nabi Muhammad saw bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah.Sewaktu kecil,Ibn Khaldun telah menghapal al-Qur’an dan mempelajari tajwid yang diajarkan oleh ayahnya sendiri.Beliau juga mempelajari ilmu-ilmu lain seperti ; Tafsir,Hadist,Ushul fiqh, Tauhid,Dan fiqh mazhab Maliki.Ia juga mempelajari ilmu-ilmu bahasa ( nahwu,sharaf,serta balaghah ), fisika,dan matematika.Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dari gurunya.Khaldun mulai masuk ke dunia politik dan pemerintahan ketika para pemimpin tunis hijrah ke Maroko.Pada tahun 1350 M (751 H),dalam usia 21 tahun ,ia diangkat menjadi sekretaris Sultan dinasti Hafs.Sejak saat itu lika-liku kehidupan dan karir politiknya mengalami pasang surut sampai pada tahun 1374 M (776 H) dia mengundurkan diri dari dunia politik.Ia menyepi k eke daerah Qal’at Ibnu Salamah dan menetap disana sampai tahun 1378 M (780 H).Disinilah ia mengarang kitab monumentalnya berjudul “ Kitab al-‘ibar wa Diman al_mubtada’ wa al-Khabar fi ‘Ibar” (sejarah umum).Kitab setebal 7 jilid ini berisi kajian sejarah, yang didahului dengan Muqaddimah (jilid 1) yang berisi pembahasan tentang problematika social manusia (sosiologi).Kitab Muqaddimah itu sendiri pada akhirnya berhasil menjadi pembuka jalan menuju pembahasan ilmu-ilmu social manusia,oleh karena itu dalam ilmu sejarah islam,Ibn Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu social dan politik islam.

Pada tahun 780 H (1378 M) ,khaldun kembali ke Tunisia untuk menelaah beberapa kitab sebagai bahan untuk merevisi kitab Al-’Ibar.Pada Tahun 784 (1382 M) ia berangkat ke iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekacauan politik dinegeri Maghrib (Maroko),setelah sebulan ia pindah ke Kairo.Disini ia memulai karir di bidang ilmu pengetahuan dengan membuka halaqah di Al-Azhar untuk memberi Kuliah.Pada Tahun 786 H, Raja menunjuknya menjadi dosen ilmu fiqh maliki di Madrasah al-Qamhiyah.Pada 801 H ( 1401 M) ia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan sampai akhir hayatnya.Selama di mesir, ibn Khaldun kembali merevisi kitab al-‘ibar dan menambah pasal kitab Muqaddimah.Peristiwa terbaru ia masukkan demikian juga temuan-temuan ilmiahnya seperti konsep-konsep sosiologis.Ia wafat di Kairo 25 Ramadhan 808 H / 19 Maret 1406.Temuan pentingnya adalah mengenai konsepsi sejarah serta konsep sosilogisnya yang hingga sekarang masih dijadikan bahan utama referensi bagi seluruh ahli sejarah dan sosiologi di Dunia.

Khaldun tentang Sejarah

Kata kunci konsepsi Khaldun tentang sejarah adalah “ ‘Ibaar” yang berarti contoh atau pelajaran moral yang berguna.Kata itu pula yang kemudian digunakan Khaldun sebagai judul buku,di mana ia menuliskan seluruh fikirannya tentang sejarah.Secara terminologis,’ibar, dalam pengertian seluruh bahasa Sempit,berari melalui,melampaui,menyebrang atau melanggar perbatasan,Kelompok Sufi menggunakan kata itu sebagai alat untuk pengembangan dunia batin mereka.Dalam pengertian,untuk melukiskan fungsi spiritual dari semua ungkapan mistik untuk menuju dunia yang lebih jauh(to the world beyond).

Untuk mengetahui posisi sejarah dalam teori Ibn Khaldun,penting difahami defenisi sejarah yang diberikannya.Khaldun melihat ada dua sisi dalam bangunan sejarah,yaitu sisi luar dan sisi dalam.Dari sisi luar,sejarah tak lebih dari rekaman siklus periode dan kekuasaan masa lampau,Tetapi jika dilihat secara lebih mendalam,sejarah merupakan suatu penalaran kritis (nadhar) dan usaha cermat untuk mencari kebenaran;sejarah merupakan suatu penjelasan cerdas tentang sebab-sebab dan asal usul segala sesuatu;ia merupakan suatu pengetahuan yang mendalan tentang bagaimana dan mengapa suatu peristiwa itu terjadi.Definisi tentang sejarah yang demikian membawa Khaldun untuk berpendapat bahwa sejarah itu berakar dalam filsafat (hikmah).Ia pantas dipandang sebagai bagian dari filsafat itu sendiri.

Dengan pertautan sejarah kepada filsafat, Ibn Khaldun nampaknya ingin mengatakan,bahwa sejarah memberikan kekuatan inspiratif dan intuitif kepada filsafat.Di lain pihak,filsafat menawarkan kekuatan logik kepada sejarah.Dengan aset logika kritis seorang sejarawan akan mampu menyaring dan mengkitik sumber-sumber sejarah – tulisan maupun lisan – sebelum ia sampai kepada proses penyajian final dari penyelidikannya.Pandangan inilah yang membawa Khaldun untuk merumuskan “tujuh kritik” dalam historiografi,sebagai cerminan dari sikap kesejarawanannya yang cermat; pertama :sikap memihak kepada pendapat dan madzhab-madzhab tertentu, kedua :terlalu percaya pada pihak yang menukilkan sejarah, ketiga :gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan dan perkiraan, keempat :persangkaan benar yang tidak berdasar pada sumber berita, kelima :kelemahan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya, keenam :kecendrungan manusia untuk dekat kepada para pembesar dan figur-figur yang berpengaruh, dan ketujuh :ketidaktahuan tentang metoda-metoda kebudayaan.Dengan menggunakan kerangka “tujuh kritik” ini,Khaldun mengkritik berbagai sarjana sejarah,seperti Al-Mas’udi yang dianggap lengah dan mudah mempercayai berita-berita yang tidak masuk akal.

Ibn Khaldun berpendapat,penyelidikan terhadap peristiwa sejarah tidak boleh tidak harus menggunakan berbagai ilmu bantu.Ilmu bantu diistilahkan Khaldun sebagai ilmu kultur (‘ilm al-‘Umran).Ilmu ini berfungsi sebagai alat untuk mencari pengertian tentang sebab-sebab yang mendorong manusia untuk berbuat,melacak akibat-akibat dari perbuatan itu sebagaimana tercermin dalam peristiwa sejarah. Teori kritik sejarah yang dikembangkan Ibn Khaldun,pada dasarnya mendapatkan inspirasi dalam Al-Qur’an.Kenyataan ini, lanjutnya,pernah dikemukakan Iqbal yang mengatakan bahwa Al-Muqaddimah Ibn Khaldun penuh dengan inspirasi Al-Qur’an yang didapatkan pengarangnya.

Agama dan Filsafat

Dalam membahas dua bidang ini – agama dan filsafat - ,Khaldun sebagaimana diungkapkan oleh Ali Audah,perlu untuk melihat apa yang disebut sebagai filsafat ketuhanan, atau yang lebih popular dengan sebutan Ilmu Kalam.Masterpiece Khaldun yang terkenal,Al-Muqaddimah,secara khusus menelaah filsafat ketuhanan ini dalam bab VI.

Ilmu ini ia batasi dengan pengertian sebagai suatu disiplin yang mencakup cara berargumentasi dengan dalil-dalil logika atau dialektika dalam mempertahankan akidah keimanan serta menolak pikiran-pikiran baru yang dalam artian dogma dianggap menyimpang dari keyakinan agama menurut faham ulama salaf (ortodoks) dan kaum Muslimin awal.Betapapun demikian,Khaldun menambahkan bahwa dialektika filsafat tidak mampu membuktikan kebenaran agama,karena agama berada diluar lingkup logika.Disamping itu,dialektika sering mengerut menjadi tak lebih dari semacam permainan retorika dalam bentuknya yang lebih rendah.

Demikian, karenanya,Khaldun dalam setiap pembahasan mengenai Tuhan – filsafat ketuhanan - selalu merujuk pada ajaran-ajaran Al-Qur’an.Seperti pandangannya tentang Tuhan,bagi Khaldun – karena hasil telaahnya terhadap Al-Qur’an – melihat Tuhan sebagai sesuatu tak dapat dipersepsikan,tak dapat dijangkau oleh khayal,perasaan,fikiran dan panca indera.

Demikian ketatnya Khaldun mengikatkan diri pada Al-Qur’an,sehingga seluruh pandangannya tentang filsafat menjadi begitu kritis.Berbeda dengan Ibn Rusyd yang cenderung untuk berspekulasi dalam berfilsafat.Hal ini pula yang merupakan bantahan tegas bahwa Ibn Khaldun terpengaruh oleh aliran skolastik.

Sesungguhnya ,karya Khaldun dalam dunia filsafat – dalam artian professional – hampir hilang oleh kemasyhurannya sebagai seorang sosiolog dan kritikus sejarah.Pandangan-pandangannya tentang filsafat tidak tercermin dalam uraian khusus tentang filsafat,tetapi justru dalam menguraikan metoda-metoda penulisan Sejarah yang terdapat dalam kata pengantarnya dalam Al-Muqaddimah.Namun satu hal yang pasti bahwa dalam kedua bidang ini – agama dan filsafat – Khaldun tetap mempertahankan kekhasannya sebagai pemikir besar,yaitu sikap objektif,rasional dan kritis;tetapi juga merupakan seorang agamawan yang taat – dalam pengertian melihat Al-Qur’an sebagai sumber hukum untuk menimba berbagai pemikiran yang inspiratif.

Negara dan hukum

Dalam bidang kemasyarakatan,khususnya bidang negara dan hukum,Ibn Khaldun, menurut Drs.A.Rahman Zainuddin,MA, selalu memakai satu ciri khas,yaitu menceritakan keadaan sebagaimana adanya.Sekali lagi untuk mendukung betapa ‘terikatnya’ Khaldun terhadap Al-Qur’an,metode ini terambil dari ajaran Qur’an sendiri,demikian menurut Zainuddin.

Namun demikian,Khaldun berpendapat bahwa pendekatan keagamaan terhadap masalah-masalah kemasyarakatan bukanlah merupakan pendekatan yang tepat.Disatu pihak,,dalam kenyataannya,agama jarang menjadi sentral pemikiran manusia. Dilain pihak,negara-negara yang tidak beragama islam jauh lebih banyak daripada yang beragama Islam.Demikian,karenanya Khaldun mengatakan – dan hal ini agak membingungkan – bahwa pendekatannya terhadap kehidupan manusia didalam masyarakat bukanlah merupakan pendekatan yang bersifat keagamaan.

Apa yang dapat dirumuskan bahwa ketika Khaldun berbicara tentang pendekatan keagamaan dengan pengertian terbatas – yaitu pengertian fiqhiyah yang melihat segala sesuatu dari sudut halal dan haram saja. Sebagai gantinya Khaldun mengajukan suatu alternatif,yaitu suatu pendekatan yang lebih luas ruang lingkupnya dan lebih universal aplikasinya.Inilah yang ia namakan sebagai pendekatan budaya,atau pendekatan dari segi kehidupan manusia didalam masyarakat.Dengan pendekatan semacam ini memungkinkan dirinya untuk melihat kenyataan kehidupan masyarakat,bagaimana ia berjuang mempertahankan diri terhadap alam dan binatang buas,dan juga terhadap sesama manusia sendiri.Termasuk didalamnya adalah bagaimana ia bergulat untuk mempertahankan dan mendapatkan kekuasaan.Ringkasnya,Khaldun berusaha untuk melepaskan diri dari hukum agama dengan pengertian yang sempit,dan pergi kepada suatu hukum agama yang lebih luas pengertiannya – yaitu yang dinamakan sunnatullah.

Dari kerangka berpikir demikian,menurut Khaldun,Negara bukan merupakan hal luar biasa.Ia merupakan kewajaraj dalam perkembangan masyarakat manapun.Negara merupakan hal tertinggi yang dapat dicapai oleh ‘ashabiyah’ (solidaritas) dalam perjalanannya yang panjang.’ashabiyah’ inilah kata kunci dalam pikiran Khaldun karena ia yang menjadi motor kekuasaan.Demikian,negara menempati posisi sentral dalam kehidupan masyarakat,dimana ia digambarkan sebagai pasar yang penuh kegiatan.Dalam ‘pasar’ itu,demikian Khaldun,akan terdapat emas murni dan perak asli,jika negara menjauhkan diri dari kesewenangan,pilih kasih,kebodohan, dan kehinaan serta bertekad untuk menempuh jalan yang lurus.Tetapi jika yang dilakukan sebaliknya maka yang terdapat di ‘pasar’ itu adalah barang rongsokan dan palsu.Demikian,maka negaralah yang menentukan kualitas manusia.Jika negara baik maka kualitas manusia adalah bagaikan emas murni atau perak asli; dan sebaliknya.

Selanjutnya, bagi Khaldun,cara pelaksanaan kekuasaan dalam negara,dibagi menjadi tiga bagian.Pertama, cara pelaksanaan kekuasaan yang lemah lembut dan penuh keadilan; kedua, cara pelaksanaan kekuasaan dengan penuh dominasi,mempergunakan kekerasan dan intimidasi; dan ketiga, cara pelaksanaan kekuasaan dengan menjatuhkan hukuman dan sangsi-sangsi.

Dengan pelaksanaan kekuasaan yang pertama,manusia akan mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan segala potensi yang terdapat didalam dirinya.Ciri yang paling menonjol dalam masyarakat seperti ini bahwa setiap orang megemukakan pendapatnya sebagaimana adanya,tanpa disadari oleh rasa takut dan tanpa ada orang yang menghalangi.Demikian arus informasi menjadi begitu deras.
Dalam masyarakat ketiga,dimana kekuasaan diletakkan dengan kekerasan dan intimidasi,moral rakyat akan hancur sama sekali.Jika rakyat diperlakukan secara tidak adil dan tidak mendapat kesempatan untuk mempertahankan diri serta menjelaskan perkara yang dialaminya, maka didalam hatinya ia amat terhina dan meghancurkan daya tahannya sebagai manusia.Dalam kerangka ini Khaldun merasa kagum terhadap orang Baduwi yang hidup bebas merdeka di tengah padang pasir.

Dalam masyarakat kedua,rakyat akan memiliki jiwa penakut.Hal ini akan merugikan daya ketahanan nasional,sebab rakyat akan menjadi malas dan dihinggapi oleh perasaan acuh terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya.

Untuk mengatasi kesemuanya itu perlu suatu ideologi nasional.Dimana ia merupakan pengikat dan sumber hukum nasional yang ditaati oleh masyarakat.Ideologi nasional semacam itu,menurut Khaldun, dapat dibagi-bagi dan dikategorisasikan berdasarkan sumber pengambilanya.Pertama,ideologi yang bersifat politis rasional,dimana ideologi tersebut dihasilkan dan diwajibkan oleh para cendikiawan dan pembesar negara.Kedua,adalah ideologi nasional berdasarkan politik keagamaan,dimana Allah dengan perantara Rasulnya,merupakan sumber pemberitahuan manusia akan pentingnya suatu nilai.Diantara kedua ideologi tersebut diatas,jelas,Khaldun memilih ideologi yang kedua.Sebab,menurutnya,ideologi keagamaan akan menjamin kehidupan dunia dan akhirat.Manusia dalam hidup ini tidak semata-mata menuju pada dunia saja,sebab seluruh dunia itu “hampa” dan “bathil” – kematian dan kefanaan.Pandangan ideologis dari sudut politik semata tidaklah lengkap,karena memandang sesuatu tanpa nur­-Allah.

Khaldun tentang perobahan sosial

Para ilmuwan sosial sependapat,bahwa kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat merupakan fakta sejarah.Tetapi apakah dan siapakah yang menggerakkan dan memungkinkan terjadinya perobahan sosial itu?Tentang hal ini berbagai pendapat bermunculan.Bagi Plato,Kong Fu Tse,Thuoydides,Machiavelli,misalnya,penggerak social adalah mereka yang tengah memegang posisi sentral,yaitu para penguasa. Namun bagi Ibn Khaldun ,ia berbeda dengan tokoh-tokoh di atas.Maju-mundurnya suatu masyarakat tidaklah disebabkan keberhasilan atau kegagalan sang Penguasa,atau akibat peristiwa kebetulan atau takdir.Namun,bagi Khaldun,ia lebih mengandalkan masyarakat syari’iyyah yang akan mengalami perobahan yang sebaik- baiknya.Akan tetapi bukan hal ini sesungguhnya yang dialami Khaldun,tetapi justru perobahan sosial sebagaimana yang berlangsung secara global itu sendiri.

Bagi Khaldun,semua perobahan sosial menyusur rentang waktu sekitar 120 tahun,terangkat atas tiga generasi yang masing-masing berusia 40 tahun.Lagi-lagi teori ini,menurut Mahyuddin,karena inspirasi yang didapat Khaldun dari Al-Qur’an.Betapa pun teori ini masih dapat diperdebatkan,tapi yang justru menarik adalah persoalan ‘ashabiyah yang terdapat dalam anggota masyarakat itu. Dengan melihat tinggi-rendahnya kadar ‘ashabiyah di atas,Khaldun menggolongkan masyarakat atas dua bagian.Pertama,masyarakat Badawah(baduwi),dan kedua: masyarakat hadharah(berperadaban).Yang pertama merujuk pada suatu golongan masyarakat sederhana,hidup mengembara dan lemah dalam peradaban.Tetapi perasaan senasib,dasar norma-norma,nilai-nilai serta kepercayaan yang sama pula dan keinginan untuk bekerjasama merupakan suatu hal yang tumbuh subur dalam masyarakat ini.Pendeknya,’ashabiyah (solidaritas)dalam masyarakat ini begitu kuat.Akan halnya masyarakat kedua,ditandai oleh hubungan sosial yang impersonal dan seringkali superficial.Masing-masing pribadi berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadinya,secara masing-masing,tanpa menghiraukan yang lain.Demikian,Khaldun menjelaskan bahwa semakin moderen suatu masyarakat semakin melemahlah nilai ‘ashabiyah atau solidaritas.Integrasi sosial yang rendah mengakibatkan kontrol sosial yang rendah pula.Sebaliknya,integrasi sosial yang tinggi akan membuahkan kontrol sosial yang tinggi pula.

‘Ashabiyah dan konsepsi Khaldun tidak dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan.Bahkan ‘ashabiyah’ identik dengan power.Demikian,kelihatan dalam sejarah betapa berbagai kerajaan besar dihancurkan oleh golongan masyarakat Badawah.Di Eropa,zaman masyarakat ini diwakili oleh orang Barber yang menaklukkan berbagai kekaisaran. Suatu masyarakat Badawah yang dipimpin oleh seseorang yang dapat diterima akan dapat melumpuhkan golongan masyarakat Hadharah yang sekarat.Mereka mengambil alih seluruh kekuasaan dan budaya yang dimiliki golongan Hadharah.Lambat laun golongan Badawah yang menghancurkan golongan Hadharah,kehilangan kebaduwiannya,’ashabiyahnya,dan menjadi Hadharah yang akan digeser oleh golongan Badawah berikutnya.Demikian,hal ini akan selalu terjadi bergantian.Konflik eksternal dalam masyarakat,akan menimbulkan sirkulasi dan perobahan struktur kekuasaan.Inilah yang disebut Khaldun sebagai proses daur sejarah yang berlangsung dari masa ke masa,dari generasi ke generasi. Menurut Mahyuddin,teori proses daur sejarah Ibn Khaldun ini lebih unggul dibanding dengan teori lenear masyarakat modern sebagaimana yang dikemukakan oleh para penganut Marx, Weber atau kalangan modernisme lain.Sebab ketika ditanyakan kepada mereka: Apa sesudah komunisme ? Apa sesudah kapitalisme ? Dan apa sesudah modernisme ?Terdapat kesulitan bagi mereka untuk menjelaskannya.Hingga di sini beyond komunisme,kapitalisme,dan modernisme, terdapat kebuntuan untuk memproyektir masyarakat apa yang ada sesudahnya.

Demikian,si Tunisia Ibn Khaldun tampil sendirian sebagai genius sejarah terbesar dari Islam yang pertama melahirkan suatu konsepsi filosofis dan sosiologis tentang sejarah.Jika dalam buku Ideas and History,Cromwell disebut sebagai “pembuat sejarah” – tetapi tak pernah menulis sejarah - , maka Ibn Khaldun adalah pembuat sejarah dan sekaligus penulis sejarah.

Penulis adalah Mantan Ketua umum Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia ( PII ) KodyaBukittinggi – Kab.Agam periode 2006-2008 , sekarang aktifis PII Pasaman.

You Might Also Like

1 komentar

  1. kalau metodologi ibnu Khaldun dipakai melihat perjalanan umat Islam Indonesia? bagaimana analisanya, pak?

    ReplyDelete

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images