Belajar dari Musa dan Khidir Alaihimassalam (bagian 3 - Habis)
12:40 PM
Beberapa Prinsip Pendidikan dalam Kisah Musa
dan Khidir
Ada beberapa prinsip pendidikan yang dapat
kita ambil dari kisah yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi tersebut.
Pertama, Prinsip kebermanfaatan ilmu yang akan diajarkan. Ilmu dan maklumat yang
diajarkan harus diteliti dulu dari sisi bermanfaatnya pada si
murid atau tidak. Hal ini menjadi penting karena tidak semua ilmu itu
bermanfaat mutlak kepada seseorang. Dalam masalah ini, seorang guru bisa saja
melakukan curah pendapat dari murid untuk mengetahui ilmu apa saja yang
dianggap sangat bermanfaat buat mereka.
Hal ini dapat kita lihat dari dialog Musa
ketika beliau meminta Khidir untuk menjadi gurunya:
قَالَ لَهُ ۥ مُوسَىٰ هَلۡ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن
تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدً۬ا
Musa
berkata kepadanya” bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu
yang benar) yang telah diajarkan
kepadamu (untuk mendapatkan) petunjuk ?”[1].
As-Sa’adi ketika mentafsirkan ayat ini
berkata: artinya”Bolehkah aku mengikutimu agar engkau bisa mengajarkan kepadaku
ilmu yang telah diberitahu Allah kepadamu agar aku bisa mengambil petunjuk dan
mengenal sesuatu yang benar dalam masalah ini ?”[2].
Adapun tentang standar ilmu yang bermanfaat,
As-Sa’adi berkata dalam tafsirnya: “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang
memberi petunjuk ke jalan yang benar. Setiap ilmu yang menunjuki ke jalan yang
benar serta memberi peringatan agar menjauhi jalan yang sesat, maka itu adalah
ilmu yang bermanfa’at. Ilmu selain itu, bisa jadi merupakan ilmu yang sesat
atau ilmu yang tidak memberikan faedah. Padahal Allah telah menyuruh kita untuk
belajar (dan mengajarkan) ilmu yang memberikan petunjuk lewat firmanNya dalam
surat Al-Kahfi ayat 66 : [3]مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدً۬ا
Prinsip
kedua adalah menjelaskan kurikulum serta hal-hal yang berhubungan dengan lancar
atau tidaknya proses pembelajaran. Hal ini bisa kita maknai dari perkataan Khidir
ketika beliau menerima Musa sebagai muridnya:
قَالَ فَإِنِ ٱتَّبَعۡتَنِى فَلَا تَسۡـَٔلۡنِى عَن شَىۡءٍ حَتَّىٰٓ
أُحۡدِثَ لَكَ مِنۡهُ ذِكۡرً۬ا (٧٠(
Dia
(Khidir) berkata: “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan
padaku tentang sesuatu pun, hingga aku menerangkannya kepadamu”[4].
Tujuan
Khidir dengan memberikan aturan berupa larangan ini adalah agar Musa bisa memandang masalah serta
memperhatikannya secara menyeluruh agar ia bisa memperoleh ilmu yang ada pada
Khidir dan tidak ia miliki.
Prinsip
ketiga adalah memiliki keragaman metode pembelajaran. Pada prinsipnya, manusia
yang berasal dari bermacam-macam latar belakang juga memiliki cara-cara
tersendiri dalam memahami dan
mempelajari sesuatu. Hal ini menjadi sebuah keniscayaan bagi para guru untuk
memiliki keragaman metode dalam mentransfer ilmunya. Hal ini bisa kita lihat
dari keragaman metode Khidir ketika mengajar Musa. Dari kisah yang termaktub
dalam surat al-kahfi, Khidir menggunakan
metode dengan cara melobangi kapal yang menurut pandangan Musa adalah tindakan
zhalim. Lalu beliau membunuh seorang anak yang menurut pandangan Musa lebih
zhalim dari yang pertama. Dan terakhir, Khidir malah membangun sebuah bangunan
yang telah roboh di sebuah kampung yang bahkan penduduknya enggan untuk menjamu
mereka.
Pada
akhirnya, Khidir membuka tabir rahasia atas segala perbuatannya yang ternyata
mengandung ilmu yang dalam. Metode Khidir juga menunjukkan tentang efektifnya
belajar dengan cara mempraktekkannya (learning by doing). Khidir tidak
mencukupkan metode dengan hanya ceramah saja, mengingat jika seorang guru
terpaku pada metode ceramah dan hafalan tanpa praktek, akan cepat menimbulkan
kebosanan bagi murid serta mudahnya ilmu hilang dari mereka.
Hal
yang sama juga kita temukan dalam kisah-kisah teladan Nabi Muhammad, para salaf
dan generasi emas islam terdahulu. Dahulu ketika para sahabat misalnya ingin
belajar tentang wudhu, sahabat lain yang melihat cara berwudhu nabi, langsung
mempraktekkannya dan tidak mencukupkan diri dengan memberi tahu lewat lisan
saja.
Prinsip
keempat yang bisa kita ambil dari kisah Musa dan Khidir adalah prinsip
kesesuaian antara metode dengan kondisi dan kemampuan murid. Tidak semua ilmu
mesti disampaikan kepada murid. Seorang guru harus bisa mengetahui sampai
dimana muridnya sanggup untuk menerima ilmu yang ia ajarkan. Kondisi ini juga
meniscayakan pengetahuan serta kedekatan seorang guru dengan muridnya agar ia
(guru) bisa menyesuaikan metode apa yang lebih tepat untuk ia gunakan pada
murid bersangkutan. Ketidak sesuaian antara metode yang digunakan guru dengan
kondisi murid akan membuat proses pembelajaran jadi tidak efektif, bahkan dalam
kondisi yang lebih fatal bisa menimbulkan fitnah. Sayyidina Abdullah bin Mas’ud
pernah berkata: “Tidaklah seseorang kamu menceritakan sebuah kejadian kepada
kaum yang belum sampai akal mereka (untuk memahami kejadian tersebut) kecuali
pasti akan terjadi fitnah disebagian mereka”[5].
Hal
ini bisa kita lihat ketika Khidir berkata kepada Musa:
قَالَ إِنَّكَ لَن تَسۡتَطِيعَ مَعِىَ صَبۡرً۬ا (٦٧( وَكَيۡفَ تَصۡبِرُ عَلَىٰ مَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ
خُبۡرً۬ا (٦٨(
Dia
menjawab “sungguh engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana
engkau akan dapat bersabar atas sesuatu sedangkan engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang hal itu ?”[6].
Imam
Fakhruddin ar-Razi ketika menafsirkan ayat diatas berkata:” Ayat diatas
merupakan isyarat bahwa Musa tidak
mengetahui tentang hakikat sesuatu. Dan kami telah menyebutkan bahwa ketika
sesuatu (yang tidak diketahui hakikatnya) tersebut muncul, akan sulit sekali untuk
menahan ucapan...”[7].
Epilog
Proses
pembelajaran adalah proses yang tidak hanya membutuhkan kualitas otak, namun
juga kualitas hati yang siap bersabar dan menerima ilmu. Dalam belajar, tidak
cukup hanya bermodalkan semangat dan kesungguhan tekad, namun juga harus
dibarengi dengan kesiapan mental untuk teguh memegang aturan yang telah
disepakati. Begitu juga bagi seorang guru, kedalaman ilmu sebenarnya meniscayakan
mereka untuk terus belajar. Karena hakikat hidup di dunia ini adalah belajar
dan terus belajar. Belajar dulu, baru menghakimi.
Ketinggian
sebuah ilmu bukan (hanya) dilihat dari kualitas ilmu tersebut, namun lebih dari
itu adalah seberapa besar manfaat yang diberikan kepada umat manusia. Dan di
dalam Islam, tidaklah seseorang disebut sebagai seorang yang Alim sebelum ia
belajar dengan sungguh-sungguh, mengajarkan ilmu tersebut dan menebar
manfaatnya serta mengamalkan ilmu yang telah ia peroleh dan ajarkan tersebut.
Wallahu
A’lam bish-Shawaab
[1]
Q.S. Al-Kahfi : 66
[2]
As-Sa’adi, Op.Cit, hal.482
[3] ibid
[4] Q.S.Al-Kahfi
: 70
[5]
Abu Al-Husein, Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisabury, Shahih Muslim,
Mukaddimah bab Larangan menceritakan setiap yang didengar.
[6] Q.S.Al-Kahfi
: 67-68
[7]
Fakhruddin ar-Razi, Op.Cit.
0 komentar