Taragak gulai paku
11:55 AMDi masyarakat minangkabau , biasanya konsep sarapan beda dengan makan pagi.Sarapan identik dengan beberapa kuliner bukan nasi.Ada banyak pilihan untuk sarapan , namun biasanya yang jadi favorit adalah Goreng Pisang dengan Ketan , Bubur kacang ijo , Bubur ketan hitam , Pical lontong dan Ketupat gulai.Adapun yang namanya makan pagi harus dengan nasi.Karena di minang, belum disebut makan kalau tidak dengan nasi.
Salah satu makanan favorit saya adalah ketupat gulai.Biasanya ada 3 jenis kuah a.k.a gulai yang jadi siraman si ketupat.Ada gulai buncis , gulai nangka a.k.a cubadak , dan gulai pakis a.k.a paku.
Dan pagi ini saya harus jujur mengakui kalau saya rindu berat dengan ketupat gulai paku.
Iseng-iseng habis holat subuh , saya nyari gambar ketupat gulai paku di gugel.Gambar ketupat gulai pakunya cukup untuk saya kelaparan sendiri.Paku alias pakis ini merupakan tanaman kenangan bagi saya.Waktu SD , saya pernah berjualan paku untuk mendapatkan upah sekedar beli permen dan rental PS.Lokasi yang lembab adalah tempat favorit si paku untuk tumbuh.Biasanya di tepi sungai , atau di dekat hutan.Jadi setiap pulang sekolah , saya hunting tanaman paku –walau harus bertarung dengan pacet dan lintah- untuk besok paginya di jual ke ibuk-ibuk penjual ketupat gulai paku.
Waktu sekolah di Pondok , tanaman paku menjadi menu darurat ketika duit belanja sudah seret.Tinggal nyari ke hutan di belakang kos-kosan lalu diramu dengan skill memasak ala chef ga jelas , jadilah beberapa model masakan.Biasanya tanaman paku identik dengan gulai atau rendang , tapi selama di pondok saya berhasil menciptakan goreng paku , ‘uok’ paku , dan favorit adik saya , tumis paku pedas.
Sayang , waktu pulang di evakuasi kemaren , hanya satu kali saya sempat menyantap ketupat gulai paku yang istimewa.Dan pagi ini kangen itu memuncak ...
***
Bicara tentang ketupat gulai paku.Ada sebuah cerita yang cukup membuat saya tertawa geli.Cerita ini saya dapatkan di blog uda Yudi helfi.
Alkisah Seorang Pariaman membawa Ketupat Gulai Pakis untuk dijual di Jakarta. Berbekal payung besar dan sebuah gerobak, ia mangkal saban pagi di dekat mall pinggiran Jakarta. Di kaca gerobak tertulis "Ketupat Sayur. Masakan Padang". Padahal saya tahu persis ia adalah orang Pariaman, bukan orang Padang.
Pagi ini ia apes. Ternyata penjual daun pakis yang menjadi langganannya tidak datang. Sementara stok sudah habis. Dengan kesal terpaksa ia memilih satu di antara dua pilihan : Tidak berjualan dengan resiko tidak ada pemasukan hari ini, atau tetap berjualan dengan resiko harus mengganti gulai. Akhirnya pilihan jatuh pada alternatif kedua. Digulainyalah buah nangka sambil mengumpat-umpat.
Setelah menggelar tenda di tempat mangkal, merapatlah sebuah mobil mentereng ke gerobaknya. Tak lama kaca depan terbuka dan menjulurlah sebuah kepala milik lelaki paruh baya. Dari gayanya tampaknya ia orang Minang juga.
"Ada Ketupat?" tanyanya tanpa turun dari mobil. Perlu diketahui, cara seperti ini dianggap tidak sopan di Minang.
"Ada, Pak." Jawab si Penjual menahan kekesalannya.
"Apo Gulainya?" Si lelaki mulai berbahasa Minang menanyakan gulai.
"Gulai Cubadak (nangka), Pak"
"Oh, mengapa tak pakai gulai paku?" Si penjual masih kesal dan sekarang suhu kekesalannya bertambah naik dengan gaya si lelaki yang tak sopan itu.
"Susah mencari paku sekarang Pak."
"Ah, kamu aja yang pemalas. Datang aja ke Toko Material. Di sana sambuah* paku dengan berbagai ukuran" (* banyak)
Sekarang si penjual sudah marah. Rasanya sudah mendidih di ubun-ubun. Ia tak peduli lagi lelaki paruh baya ini membeli dagangan atau tidak. Keluarlah jawabannya.
"Bagha kilo paku tu ka Apak kandak-an? Bia den tolong manggulaikan !!!"
Si lelaki terdiam, jual beli batal.
0 komentar