Nasehat Ayah

11:32 AM

Bagian 1 

Nak....Jika kakimu sudah kau langkahkan tiga langkah ke depan, maka usahlah kau surut ke belakang lagi walau apapun yang terjadi, karena di belakang itu ada syetan yang akan mengganggu perjalananmu.

Entahlah, mungkin sudah tabi’atnya bahwa anak laki-laki itu tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Sama seperti saya, saya sendiri bisa dibilang tidak terlalu dekat dengan ayah saya. Entah karena kesibukan saya dan beliau yang membuat kami jarang sekali bercengkrama atau memang karena kami berdua bukanlah tipe pembicara, terutama hal-hal yang tidak terlalu penting. Bahkan disaat kami berada di tempat yang sama, seperti saat meminum teh pagi atau berdua bekerja di ladang pun, tidak terlalu banyak cerita yang kami ungkapkan disana.

Begitu pula dalam soal nasehat. Ayah saya bukanlah tipe orang yang terlalu banyak menceramahi anaknya. Nasehat beliau selalu singkat dan padat namun disampaikan dengan bahasa sederhana. Nasehat-nasehat tersebutlah yang selalu saya jadikan sandaran ketika saya lemah atau merasa putus asa.

Diantara nasehat beliau adalah yang saya tuliskan di awal mula tulisan ini. Nasehat tersebut adalah nasehat yang beliau berikan pada saya tatkala saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan setamat SD jauh dari orang tua saya. Saya memilih untuk melanjutkan bangku pendidikan di tempat dimana Ayah saya dahulunya ditempa. Saya melanjutkan sekolah di sebuah pondok di kaki gunung merapi di Bukittinggi yang bernama Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang. Disinilah saya menghabiskan 7 tahun masa remaja saya, sedikit lebih lama dari waktu yang dihabiskan oleh teman-teman sebaya.

Tentang nasehat yang satu ini, boleh  dibilang cukup banyak mempengaruhi sikap dalam diri saya. Nasehat tersebut mengajarkan saya untuk tidak mundur jika telah memulai sesuatu. Saya harus menyelesaikan sesuatu yang saya mulai kecuali memang ada sinyal dari takdir Allah yang melarang saya untuk meneruskannya.

Pernah suatu ketika, saat saya berkesempatan pulang kampung untuk kedua kalinya. Waktu itu saya masih berumur 13 tahun. Ceritanya, sehabis dari kampung, saya membawa beras untuk persediaan saya di pondok. Beras dengan berat kurang lebih 25 kilogram itu saya bawa dengan menggunakan kantong plastik warna-warna ala ibu-ibu ke pasar jaman dulu. Paling tidak, beras tersebut –rencananya- cukup untuk 15 hari. Lumayanlah untuk mengurangi biaya hidup lainnya.

Sembari memanggul beras tersebut, saya pun menaiki bis jurusan Talu (kampung saya waktu itu) ke Lubuk Sikaping. Perjalanan akan memakan waktu paling tidak sekitar 3 jam, melewati hutan dan tebing yang sering longsor di musim hujan. Saya pun duduk di bis dan menghabiskan perjalanan sambil bermenung lantaran masih rindu pada orang tua dan keluarga.

Baru sekitar 15 menit  perjalanan, hujan pun turun. Rasa cemas pun datang, khawatir hujan tersebut akan membuat jalan longsor. Firasat saya pun akhirnya terbukti. Beberapa menit setelah hujan turun, terlihat antrian panjang mobil. Usut punya usut ternyata sebuah tebing anjlok dan menutupi jalan. Tidak ada kendaraan yang bisa melewatinya, termasuk bis yang saya tumpangi. Rasa gundah pun melanda, bagaimana tidak, besok pagi saya harus sudah masuk ke sekolah kembali. Jika saya masih absen, akan berpengaruh buruk terhadap nilai saya di sekolah.

Lama menunggu menunggu disana membuat saya memperhitungkan beberapa kemungkinan agar bisa sampai ke pondok saya hari itu juga. Ada satu opsi yang sempat saya pikirkan yakni saya kembali ke kampung dan mengambil bis menuju pondok lewat jalan memutar ke simpang empat-maninjau dan matur sebelum menuju bukittinggi. Sayangnya, opsi ini akan membuat saya lama di perjalanan dan kemungkinan lain bahwa bis tersebut tidak berangkat.

Setelah lama berpikir, tiba-tiba terdengar suara dari sopir bis. Katanya, bagi yang ingin meneruskan perjalanan, bisa dengan cara berjalan melalui tumpukan longsor lalu menaiki mobil angkot menuju daerah Panti yang sudah stand by di lokasi setelah longsor. Pilihan ini pun dengan sigap saya ambil. Sambil memanggul tas dan beras, saya pun berjalan menuju lokasi longsor.

Musibah terjadi disini. Beras tersebut ternyata cukup berat untuk bisa saya panggul dalam waktu yang lama. Setelah beberapa langkah saya pun istirahat. Beras dalam kantong plastik tersebut saya taruh di bibir jalan. Tidak ada firasat apa-apa yang muncul dalam diri saya ketika beberapa saat kemudian, sebuah mobil tiba-tiba menerobos barisan antrian lalu dengan tragis menginjak kantong beras saya. Kantong pun remuk dan beras saya berserakan di jalanan. Saya hanya terdiam terpana. Air mata saya perlahan menetes. Hati saya remuk lantaran beras tersebut adalah hasil keringat orang tua saya. Beras yang rencananya bisa untuk bekal 15 hari itu pun telak membuat air mata saya turun untuk waktu yang cukup lama.

Kegalauan akibat longsor plus melihat beras yang sudah berserakan dimana-mana, membuat saya sempat memikirkan untuk pulang lagi ke kampung. Saya ingin mengadu pada ayah dan ibu saya. Saya ingin menangis sejadi-jadinya di pelukan mereka. Disaat itulah saya teringat pesan ayah saya tadi. Bahwa perjalanan saya telah dimulai. Telah lebih tiga langkah saya tapakkan dalam perjalanan ini. Tidak ada kata mundur dan pulang. Saya pun perlahan mengusap air mata. Lalu saya punguti beras-beras yang masih bisa dipakai. Saya keluarkan semua pakaian dari dalam tas, lalu saya masukkan beras tersebut kedalamnya. Yah, paling tidak beras tersebut masih ada yang bisa dipakai.  Saya pun meminta kantong plastik pada mobil antrian terdekat untuk diisi dengan pakaian saya. Sambil berucap bismillah, saya kembali berjalan, menerobos lumpur hasil dari longsor dan menaiki angkot. Alhamdulillah, malamnya saya telah sampai kembali ke pondok saya tercinta.

Kisah ini, belum pernah saya ceritakan pada siapapun, termasuk ayah dan ibu saya. Saya mempunyai prinsip bahwa kepedihan itu adalah milik pribadi, maka saya lah yang akan memutuskan kapan saya akan menceritakannya. Namun, nasehat ayah saya itu memang luar biasa dahsyat. Saya sadari, saat ini pun nasehat itu masih saya teguhkan dalam dada. Semoga kelak, nasehat yang sama dapat saya sampaikan kepada anak cucu saya.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images