WATAK DASAR MANUSIA
5:50 PM
Oleh : Ustadz. Nidhol Masyhud. Lc / Fb : Babanya Shofia
Dalam
filsafat kuno, manusia didefinisikan sebagai “animal rationale” alias “hewan
(dalam arti makhluk hidup) yang berakal”. Oleh sebagian kalangan, manusia
didefinisikan sebagai “animal loquens” atau “animal symbolicum”, yaitu hewan
yang berbahasa. Akan tetapi, definisi-definisi ini tidaklah persis. Banyak
manusia yang mengalami keterbatasan sehingga tidak berakal atau berpikir dan
tidak berbahasa atau berkomunikasi melebihi pemikiran dan komunikasi ala
binatang, tanpa mereka harus kehilangan identitasnya sebagai “manusia”.
Sebaliknya, jin dan malaikat adalah makhluk hidup yang juga berpikir dan
berbahasa (serta beraktivitas dan beremosi), padahal mereka bukanlah manusia.
Jadi, definisi semacam ini tidaklah persis membatasi apa dan siapa saja yang
disebut sebagai manusia.
Manusia
lebih tepat didefinisikan sebagai “Adam AS dan keturunannya”. Definisi ini
sederhana, namun persis dan praktis. Semua anak keturunan Nabi Adam adalah
manusia dan semua manusia setelah generasi pertama adalah anak keturunannya.
Bahkan, Hawa sebagai perempuan pertama pun diciptakan dari tulang rusuknya.
Kita tidak mengenal manusia di luar Adam-Hawa dan keturunannya. Teori Evolusi
Biologi yang meskipun kontroversial dan mengandung banyak kesalahan pun turut
mengindikasikan bahwa semua komunitas manusia di bumi ini adalah hasil
perkembangan biak dari hanya satu pasang homo sapiens. Dalam Al-Quran sendiri,
Allah SWT kerap memanggil manusia dengan sebutan “bani Adam”. Sebutan ini sudah
cukup mencakup serta memilah spesies manusia (insan) dari malaikat, jin,
binatang, dan makhluk-makhluk lainnya.
Ada yang
amat penting setelah mendefinisikan manusia, yaitu mengenal watak dasarnya.
Dengan mengenal watak dasar ini, kita sebagai manusia dapat menyadari hakikat,
derajat, kualitas, serta arah perjalanan diri kita. Dengan mengenal watak
dasarnya, akan jelas bagi seorang insan—setelah menyadari fungsi dan tugasnya
di dunia ini—apa saja aspek-aspek dalam dirinya yang merupakan kekuatan dan
kelemahan yang harus ia kelola dengan cermat serta apa saja peluang maupun
hambatan di sekelilingnya yang harus ia sikapi secara tepat. Maka, tak heran
bila kemudian Al-Quran kerap sekali menyoroti hal ini. Setidaknya, dalam empat
puluh ayat Al-Quran telah menyinggung watak-watak dasar insan. Al-Quran juga
menjelaskan apa pengaruh watak dasar ini terhadap sikap dan nasib manusia serta
bagaimana menghadapinya.
Nah, ada hal
penting yang amat mencolok di sini, yaitu ternyata puluhan ayat Al-Quran
tersebut menegaskan bahwa watak-watak dasar manusia adalah hal-hal yang amat
negatif. Pada mayoritas puluhan ayat itu, Al-Quran menyatakan bahwa manusia
pada dasarnya adalah makhluk yang diciptakan dengan karakter alami berupa
sifat-sifat yang buruk. Dalam Al-Anbiyâ': 37 dan Al-Isrâ’: 11 dijelaskan bahwa
manusia suka tergesa-tergesa, mudah memutuskan dan bertindak atau nekad melawan
dan menantang tanpa berpikir matang. Dalam Al-Ma`ârij: 19 dijelaskan pula bahwa
manusia diciptakan dengan watak dasar egois, suka berkeluh kesah dan berputus
asa kala ditimpa musibah namun angkuh dan enggan berbagi kala mendapatkan
karunia. Egoisme dan ketergesaan ini pun semakin paten dengan adanya watak
gemar mendebat (mengeyel) sebagaimana ditegaskan oleh Al-Kahfi: 54 dan watak
kikir pelit sebagaimana ditandaskan oleh Al-Isrâ': 100.
Ketergesaan
mengakibatkan pengabaian akan kualitas masa depan, sementara egoisme
menghancurkan kesadaran untuk memaklumi dan menyikapi secara positif keadaan
yang tengah berjalan. Pengeyelan memunculkan keengganan untuk menerima
kebenaran, sedangkan kekikiran meniscayakan rendahnya kepekaan sosial. Sifat
tergesa-gesa yang dibarengi dengan mudah mengeyel tentu berbuah kebodohan yang
ujungnya adalah berkata tanpa tahu, bertindak tanpa ilmu, serta menolak atau
setuju tanpa mengerti ini-itu. Adapun egoisme yang diiringi dengan kekikiran
akan melahirkan kesewenangan yang isinya adalah pengabaian hak-hak dan
kewajiban serta penerjangan berbagai aturan dan larangan. Kebodohan (al-jahl)
dan kesewenangan (azh-zhulm) inilah dua watak amat negatif yang merupakan
pangkal segala bencana. Dengan kedua watak negatif inilah, manusia nekad
menyanggupi tugas tetapi tidak becus menjalankannya. Allah SWT mengingatkan:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ
فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ
كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Artinya:
“Sesungguhnya Kami (Allah SWT) telah menawarkan amanah kepada langit dan bumi
beserta gunung-gunung. Kemudian mereka tidak sanggup memikulnya serta
menganggapnya berat. Namun, manusia menyanggupi untuk memikulnya. Sesungguhnya
manusia itu (pada dasarnya) amatlah zhalim (sewenang-wenang) dan jahil
(bodoh).” (QS. Al-Ahzâb [33]: 72).
Hasil dari
watak bodoh dan sewenang-wenang ini adalah kekufuran, yaitu pengingkaran atas
kebenaran maupun kebaikan yang merupakan lawan dari keimanan dan kesyukuran.
Dalam banyak ayat (misalnya Hûd: 9, Ibrâhîm: 34, Al-Isrâ': 67, Al-Hajj: 66,
Asy-Syûrâ: 48) Al-Quran menandaskan sifat kufur ini sebagai karakter dasar yang
mewarnai jiwa manusia. Sesungguhnya manusia itu, tegas Al-Quran, adalah makhluk
yang kafûr dan kaffâr (kuat watak kufurnya). Dalam Az-Zukhruf: 15 dan `Abasa:
17 bahkan manusia dikecam sebagai makhluk yang kafûrun mubîn (amat jelas
kufurnya) dan mâ akfarah (alangkah parah kekufurannya). Kekufuran terhadap
kebenaran adalah pengingkaran atas kenyataan yang telah jelas buktinya dengan
mendustai atau melalaikannya, sedangkan kekufuran terhadap kebaikan adalah
pengingkaran atas karunia yang telah diterima dengan cara mengabaikan atau
melawan konsekwensinya. Kedua hal inilah pangkal dari segala kerusakan di muka
bumi, baik kerusakan pribadi, kerusakan sosial, maupun kerusakan alam.
Kekufuran
pun bertingkat-tingkat, dari kekufuran yang melahirkan dosa kecil dan kesalahan
paham ringan, kemudian kekufuran yang menyebabkan kemaksiatan dan doktrin
menyimpang serta yang mendatangkan dosa besar dan bid'ah tercela, sampai
kekufuran yang mengakibatkan kemunafikan, perilaku syirik, status kafir, dan
kemurtadan. Na`ûdzu billâh min dzâlik. Sayangnya, kekufuran ini sudah menjadi
watak dasar manusia, sehingga mayoritas umat manusia di muka bumi pun akhirnya
menjadi orang-orang yang kufur, orang-orang yang tidak beriman atau tidak
bersyukur. Kalangan yang beriman dan rajin bersyukur hanyalah kalangan
minoritas. Manusia-manusia yang berilmu dan rajin beramal shalih adalah
pengecualian, bukan kebanyakan. Ini ditegaskan oleh Al-Quran pada banyak
ayatnya, semisal Al-Baqarah: 155, Yûsuf: 103, Ar-Ra`d: 1, dan Ghâfir: 59 yang
menandaskan bahwa mayoritas manusia itu tidak beriman serta Al-Baqarah: 243,
Yûnus: 60, Yûsuf: 38, An-Naml: 73, dan Ghâfir: 61 yang menyatakan bahwa
mayoritas mereka tidaklah bersyukur.
Watak dasar
yang negatif inilah yang disebut dengan hawa nafsu manusia. Karena mendasar, ia
tentu bukan perkara yang mudah diatasi. Lantas watak dasar itu negatif, maka
akibat-akibat buruk yang ditimbulkannya pun amatlah sulit untuk dibendung atau
diluruskan. Kebenaran adalah perkara yang jelas-jelas harusnya diterima, tetapi
watak kufur akan membutakan nurani seseorang dan menghalanginya untuk percaya.
Kebaikan adalah suguhan positif yang jelas-jelas harusnya dipuji dan
diteladani, namun watak kufur akan mengotori jiwa sehingga kebaikan yang
tersalurkan pun tidak memantul serta tidak diimbangi dengan rasa dan gerak
syukur. Dalam Al-Isrâ': 89 dan Al-Furqân: 50, Al-Quran menyebutkan bahwa
kebenaran wahyu itu sudah amat jelas serta argumen-argumennya amat logis dan rasional.
Akan tetapi, tetap saja mayoritas insan itu terbutakan oleh watak kufurnya,
sehingga Allah SWT pun mengingatkan Rasul bahwa: “Tidaklah kebanyakan manusia
itu, walau engkau berupaya keras (berdakwah), bersedia untuk beriman.” (QS.
Yûsuf: 103).
Bahayanya
hawa nafsu dan watak dasar ini semakin diperparah oleh adanya Syetan yang telah
mengetahui kelemahan manusia ini (Al-A`râf: 17) tetapi aktif bekerja
membisikinya dengan godaan-godaan yang tercela. Padahal, selain berwatak dasar
negatif manusia juga merupakan makhluk lemah (QS. An-Nisâ': 28) yang cenderung
tak kuasa menjalani tugas berat dan tak berdaya menghadapi serangan yang
mengucur lebat. Akibatnya jelas: mayoritas umat manusia pun merupakan
orang-orang yang merugi (QS. Al`Ashr: 1). Mereka yang beruntung adalah
minoritas. Mereka yang jaya adalah pengecualian. Dar sini, jelas sekali bahwa
menjadikan pendapat dan keinginan mayoritas manusia sebagai standar kebenaran
atau sentral kebaikan sebagaimana arus pemikiran sekuler zaman ini adalah
kesalahan fatal. Menekankan rasa percaya pada diri sendiri dan menuruti suara
hati (bukannya rasa tawakal kepada Allah serta suara wahyu ilahi) sebagaimana
digembar-gemborkan oleh pegiat motivasi belakangan ini adalah sebuah
penyimpangan fatal. Allah SWT telah menegaskan dalam Al-An`âm: 166 bahwa
seandainya yang dituruti adalah pandangan mayoritas manusia, maka ujungnya
adalah kesesatan.
Meskipun
tercipta dalam watak dasar yang negatif, manusia ketika lahir juga telah
dibekali oleh Allah SWT dengan hati nurani dan fitrah tauhid. Atas karunia Yang
Maha Kuasa, manusia terlahir dalam status muslim dan membawa potensi untuk
menerima kebenaran ketika hatinya tetap bersih terjaga. Akan tetapi, fitrah ini
barulah 'celupan awal'. Fitrah keislaman memang dapat mengimbangi watak dasar
negatif sang manusia serta membuatnya berpotensi untuk menjadi hamba yang
shalih, namun ia amatlah lemah sementara godaan bertubi-tubi menerpa sehingga
manusia yang dibiarkan hidup tanpa dididik secara berkelanjutan akan menjauhi
fitrahnya dan terseret mengikuti watak dasar serta bisikan Syetan sang musuh
sejatinya. Hanya hidayah Allahlah yang mampu menyelamatkannya dari
saluran-saluran negatif ini. Hanya perlindungan-Nyalah yang mampu menangkis
segala bisikan buruk dan hanya bimbingan-Nyalah yang mampu mencipta
niatan-niatan baik.
Oleh karena
itu, bertakwa dan bertawakal kepada Allah adalah satu-satunya cara untuk mengatasi
watak-watak negatif kita. Beriman dan beramal shalih adalah satu-satunya cara
untuk melawan hawa nafsu kita. Bekerja sama dalam kebaikan serta saling
menasehatkan ketegaran dalam memegang teguh kebenaran adalah satu-satunya cara
untuk senantiasa menjaga dan menyuburkan fitrah serta menangkis tipu daya.
Sebaliknya, meremehkan Agama dan menuruti begitu saja bisikan jiwa adalah
pangkal segala bahaya. Mempercayai diri sendiri atau mengandalkan opini pribadi
tanpa dilandasi panduan ilahi serta disaring oleh tuntunan Nabi adalah awal
dari semua bencana. Keengganan untuk berdakwah, mendengar nasehat, serta
mengevaluasi diri adalah pembiaran bagi mengguritanya watak-watak negatif di
dalam diri (ketergesaan, egoisme, pengeyelan, kekikiran, kebodohan, kesewenangan,
kekufuran) serta pemersilaan bagi menggeliatnya pengaruh-pengaruh buruk dari
Syetan dan lingkungan. Jalan kebaikan memang terjal dan penuh hambatan, tetapi
ujungnya adalah kejayaan yang amat gemilang. Sebaliknya, jalan keterlenaan itu
seolah nyaman dan menyenangkan, tetapi ujungnya adalah kerugian berkepanjangan.
Wallâhu
a`lam, wabihi-l musta`ân.
0 komentar