Semua Ilmu itu Penting

4:52 PM

Ada seorang ahli hadis bernama Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim Al-Isma’ili dari kota Jurjan (sekarang berada di kawasan Iran). Beliau adalah seorang ulama yang sangat alim dan masyhur dalam bidang fiqh dan hadis. Buku-buku karangannya sangat banyak antara lain kitab “Al-Mustakhraj ‘ala Sahih Al-Bukhari” yang ramai mendapatkan pujian dari kalangan ahli hadis di masanya. Beliau wafat pada tahun 371 H.

Sebagai ahli hadis yang memandang negatif ahli kalam, tokoh ini sangat membenci ilmu kalam dan membenci setiap orang yang mempelajari ilmu ini. Padahal sebenarnya tidak ada masalah dengan ilmu ini bila digunakan untuk mempertahankan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah dengan hujjah-hujjah rasional. Kebencian tokoh-tokoh besar seperti Imam As-Syafi'i dan lain-lain terhadap ilmu kalam bukan karena ilmunya, melainkan karena sikap sebahagian dari tokoh-tokoh kalam seperti Muktazilah yang menolak ajaran Al-Qur’an dan Sunnah jika menyalahi logika  mereka sendiri.

Kita kembali kepada kisah Abu Bakar Al-Isma’ili. Beliau bercerita, “Suatu hari saya masuk ke kota Ray. Aku segera mendatangi sebuah masjidnya untuk melakukan shalat dua rakaat. Dalam shalat, tiba-tiba aku mendengar suara dua orang laki-laki yang sedang berdiskusi tentang ilmu kalam. Hatiku merasa tidak suka, aku mempercepat shalatku agar segera meninggalkan tempat itu.

Namun tanpa sadar sebuah ucapan mereka melekat di hatiku. Mereka berkata : Sebenarnya aliran Syiah Ismailiah sangat bodoh akalnya. Seorang ulama tidak perlu menyusahkan diri untuk mengajukan dalil ketika berdebat dengan mereka. Cukup tanyakan “mengapa?”, maka mereka tidak akan mampu menjawabnya. Aku lalu cepat-cepat pergi dari tempat itu.

Tidak lama setelah itu, kebetulan para pengikut aliran Syiah Ismailiah di Ghazna menyatakan keluar dari agama Islam. Mereka menulis surat kepada Sultan Wasymaker, Penguasa Ghazna, untuk menyatakan sikap tersebut. Mereka berkata, “Kami tidak akan menerima agama Muhammad kecuali jika kamu dapat menunjukkan mukjizat. Jika kamu dapat memperlihatkannya, kami akan kembali kepada agama Islam.”

Kondisi ini semakin sulit apabila mereka mengutus seorang tokoh yang sangat licik untuk mewakili mereka. Orang itu mendatangi Sultan dan berkata kepadanya, “Engkau seorang raja dan penguasa. Dan seorang raja tidak boleh bersikap seperti orang awam, ia tidak boleh bertaklid dalam akidah. Oleh itu, ajukanlah bukti-bukti kebenaran agamamu.”

Sultan menjawab, “Aku tidak akan berdebat denganmu. Akan tetapi aku akan memilih seorang ulama dari rakyatku yang akan berdebat denganmu di hadapanku.”

Orang itu segera berkata, “Pilihlah Abu Bakar Al-Isma’ili.” Sebab ia tahu bahwa tokoh ini hanya seorang ahli hadis dan tidak menguasai ilmu kalam dan perdebatan. Namun Sultan yang menyangka bahwa seorang ulama pasti menguasai semua ilmu, segera menjawab, “Memang itu niatku. Ia seorang ulama yang sangat terkenal.”

Sultan segera menulis perintah untuk membawa Imam Abu Bakar Al-Ismaili dari kota Jurjan ke Ghazna. Mendengar perintah ini, semua ulama di negeri itu putus harapan. Mereka yakin bahwa agama Islam pasti kalah. Di dalam hati mereka berkata, “Si kafir ini pasti dapat mengalahkan Imam Abu Bakar Al-Ismaili.”

Mereka tidak bisa memberitahu perkara sebenarnya kepada Sultan karena takut beliau akan menuduh mereka iri hati. Para ulama ini hanya mampu berdoa kepada Allah agar Ia menolong agama-Nya.

Abu Bakar Al-Hafiz berkata, “Setelah menerima surat perintah dari Sultan, aku tidak dapat menolak. Sepanjang perjalanan aku berkata di dalam hati: Inna lillah, bagaimana aku dapat berdebat tentang suatu perkara yang tidak aku kuasai? Apakah aku harus menjelaskan sendiri kepada sultan keadaan diriku agar ia memilih orang lain untuk membela agama Islam? Aku menyesal karena seumur hidup tidak pernah mengkaji ilmu kalam. Tiba-tiba aku teringat dialog dua orang laki-laki di masjid Ray. Hatiku menjadi kuat kembali. Aku akan menjadikan ucapan mereka sebagai peganganku.”

Ketika Abu Bakar Al-Hafiz ini tiba di Ghazna, Sultan dan semua rakyat menyambutnya. Tidak lama kemudian, tokoh bida'h datang dan dijumpakan dengan tokoh sunnah ini.

Sultan berkata kepadanya, “Silahkan jelaskan mazhabmu agar Imam Abu Bakar mendengarnya.” Dengan penuh semangat, orang ini segera menjelaskan mazhabnya dengan panjang lebar. Satu persatu prinsip dan filosofi aliran sesatnya diuraikan dengan penuh percaya diri.

Setelah orang ini mengucapkan semua argumentasinya, giliran Imam Abu Bakar berucap. Ia tidak berkata apa-apa selain mengajukan satu pertanyaan kepadanya, “Mengapa?”

Mendengar pertanyaan ini, tokoh aliran sesat itu kaget bukan main. Ia menyangka Imam di hadapannya ini telah menguasai seluk beluk mazhabnya. Ia hanya terdiam dan tidak berani berkata apa-apa lagi. Sultan bersama seluruh rakyat bertakbir melihat kemenangan tersebut.

Setelah kejadian ini, Abu Bakar Al-Isma’ili merubah pandangannya terhadap ilmu kalam. Ia berkata, “Sejak saat itu, aku termotivasi untuk mengkaji ilmu kalam. Dan aku yakin bahwa ilmu ini adalah salah satu tiang dari tiang-tiang agama Islam.”


Sumber kisah : Al-I'tisham karya Imam Asy-Syathibi (w.790 H)

************************
Semua ilmu itu penting. Hal ini saya rasakan ketika duduk di bangku kuliah. Dulu, semasa di pesantren, saya alergi dengan ilmu yang saya hukum ilmu "umum". Saya alergi dengan Ilmu eksak, padahal dulu saya jurusan IPA di Pesantren. Setiap pelajaran matematika, kimia, fisika, biologi, saya akan tidur di kelas. Hingga nyaris ketika Ujian Nasional, niat saya belajar hanya untuk lulus, tidak lebih. Harapan saya waktu itu dikabulkan Allah, saya lulus dengan nilai yang lumayan, namun tiada satupun ilmu tersebut yang saya kuasai.

Saat melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar, saya kaget karena ternyata ilmu-ilmu tersebut masih saya temukan walau bukan sebagai mata kuliah tersendiri. Di Mata Kuliah Fiqh Kontemporer, saya harus mengusap mata berulang kali karena ternyata pokok bahasan yang keluar adalah soal tentang  Biologi, dimana waktu itu dibahas tentang proses cangkok, hitung-hitung DNA, dan yang seperti itulah. Saya pun akhirnya harus bolak-balik buka google untuk melihat pengertian tentang masalah-masalah tersebut. Begitu juga soal hitung-hitungan yang sering muncul dalam persoalan ekonomi kontemporer persfektif islam.

Saya pun lalu menginsyafi diri saat membuka lembaran sejarah Islam. Islam tidak pernah membeda-bedakan ilmu itu apakah ilmu dunia atau akhirat. Ilmu Islam atau ilmu Umum. Buktinya para penemu dan ahli ilmu "umum" dalam Islam adalah para Ulama. Siapa yang tidak kenal dengan Imam Ar-Razi, seorang ahli Kedokteran, ahli Fisika, ahli ilmu-ilmu eksak lainnya, namun juga ahli Ushul Fiqh, pakar Akidah dan Fiqh pada masanya. Imam Abu Hasan Asy-Syadzuli yang merupakan ahli Sufi ternyata adalah seorang ahli Kimia. Di Universitas Al-Azhar sendiri, ada Imam Ahmad Damanhuri yang masyhur karena ketinggian ilmu beliau dalam bidang Fiqh, ternyata juga merupakan ahli Geografi, astronomi dan  Kimia. Bahkan guru hadits saya, Syekh Yusri Rusydi adalah seorang Doktor dalam bidang bedah.

Membeda-bedakan ilmu memang upaya terselubung utnuk menjauhkan umat Islam dari kemajuan. Islam sendiri tidak pernah membeda-bedakan Ilmu. Hanya saja, seorang penuntut ilmu harus mengetahui hukum mempelajari sebuah ilmu tersebut sebelum masuk kedalamnya, seperti seorang yang mau belajar ilmu komputer mesti mengetahui dulu bagaimana hukum mempelajari ilmu komputer dalam pandangan Islam, begitu nasehat guru saya Prof.Dr. Ahmad Thaha Rayyan.

Imam Al-Syafi'i juga berkata, “Setelah ilmu halal dan haram, aku tidak mengetahui sebuah ilmu yang lebih mulia daripada ilmu kedokteran. Akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita dalam ilmu ini.”

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images