Dan andai mereka tahu bagaimana kuliah di kairo bag 3
1:05 PMAda pertanyaan yang aku ingin teman2 menjawabnya dengan jujur..”..berapa kali teman2 dibentak oleh kondektur a.k.a knek bis a.k.a cingkariak and stokar (untuak wilayah minangkabau dan sekitarnya)..? ” bisa jadi teman2 pernah merasakannya... atau ada juga yang masih belum pernah merasakannya..? namun tentunya dengan frekuensi dan intensitas yang berbeda-beda.
Aku sendiri ketika masih di indonesia bisa dibilang jarang sekali dibentak oleh kondektur bis bahkan seingatku tidak pernah,karena kebanyakan kondektur bis sendiri mengenalku.Awal aku mulai mengenal mereka adalah sejak aku merantau ke sebuah kota yang jaraknya lumayan jauh dari kampung halaman ku,Bukittinggi .
Adat merantau yang masih kuat di kampung ku,membuat ayahku memberikan pilihan beberapa sekolah setelah ku tamat SD yang berada di luar kampungku.Takdir membawa ku untuk menentukan pilihan di Sebuah pondok pesantren bernama Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang,berlokasi Kurang lebih 10 KM dari kota Bukittinggi yang sangat terkenal dan lebih 200 km dari kampung ku.
Model merantau yang kuanut tentu saja tidak se-ekstrem yang teman2 bayangkan (apalagi yang sudah menonton film “Merantau”).Aku sendiri masih diizinkan untuk pulang kampung maksimal 1 bulan sekali.Nah,intensitas kepulangan ku yang lumayan sering (1 kali sebulan) membuat para kondektur dan supir bis familiar dengan wajahku.Bahkan ada yang mencatat jadwal2 kepulanganku.
Beranjak dewasa a.k.a santri tingkat SMU,aku sudah banyak disibukan oleh beberapa kegiatan yang sering berada di luar negeri (luar negeri tempat pondok pesantren ku berada tentunya heheheh).Aktifitas ku di PII seringkali membuatku harus berada di beberapa tempat dan tentunya memakan jadwal aktivitas pendidikan ku.Bisa dibilang dalam satu bulan hanya 20 hari yang kulewati di bangku sekolah.Itupun di korupsi dengan kesibukan ku sebagai ketua umum Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia Kota Bukittinggi.Nah keseringan bepergian ini membuat frekuensi ku ke terminal bus antar daerah meningkat.Implikasinya adalah para kondektur bis lain (yang bukan asal kampung ku) pun mengenal ku.
Nah dari sini bermula lah keakraban ku dengan beberapa kondektur dan supir bis.Bahkan dalam beberapa kesempatan pun aku lah yang menjadi kondektur tersebut.Mengangkut barang penumpang,meminta ongkos,bahkan berdiri dalam bus dengan jarak ratusan kilo pun sudah ku lakoni.ternyata para kondektur memiliki ciri khas yang unik dalam bersosialisasi.Dan aku tidak mau menceritakannya ,bagi yang ingin merasakan dan mengetahuinya silahkan mendaftar jadi kondektur bis di tempat teman2 berada.Bagi ku sungguh pengalaman yang luar biasa bersosialisasi dengan mereka---tentunya tanpa bentakan.
***
Nah hari ketiga di mesir,untuk pertama kali nya aku menaiki bis “mesir”.Sebenarnya kalau dipandang dari sisi benda alias bisnya,itu bis kedua yang kunaiki.Bis pertama mesir adalah bis yang menjemput kami di bandara,bedanya bis tersebut adalah carteran para senior kami di mesir,dan tentunya tanpa kondektur.
Bis pertama yang ku naiki ini besarnya kira-kira sama dengan bis Lorena yang ku tumpangi ketika berangkat mengikuti Advance Leadership Training PII di Jawa Barat,dan sama ukurannya dengan bis ANS jurusan Padang-Jakarta.Sekilas aku tidak melihat perbedaan arah jurusan dari setiap bis di terminal (mahattoh0 zahro’ tersebut.Mungkin karena bentuk dan warnanya yang sama serta hanya sedikit papan pengumuman rute bis tersebut.Aku sendiri pada waktu itu belum tahu di Mesir bagian mana Universitas Al-Azhar berada.
Nah kami pun naik ke bis tersebut.kata salah seorang senior kami Bis ini bernomor “65 Kuning” jurusan sayyidah Aisyah dan akan melewati Masyikhotul Azhar tempat dimana kita akan turun.Baru saja kunaiki bis tersebut,hidung ku pun langsung bereaksi.Aku mencium bau aneh seperti bau BBM jenis Solar namun dengan versi bau yang lebih keras dan menyengat.Dan ketika ku lepaskan pandangan ku ke seluruh penjuru bis,aku ternganga.Bis tersebut menurut penilaian ku sudah “tidak layak beroperasi”.Bayangkan Bangku-bangku nya sudah banyak yang tanggal,belum lagi lantainya yang super hitam dan kotor.Kaca-kacanya di “hiasi” dengan debu setebal 3 melimeter.Suara bis nya pun mengingatkan ku kepada mesin penggilingan padi di kampung ku.Sungguh tragis.Senior kami tersenyum melihat ke”ternganga-an” kami.”sudah..nikmati saja.toh suatu saat kalian akan merindukan bis ini..” ujar para senior.
Aku bersama teman2 langsung mengambil bangku di deretan paling belakang.Kebetulan bangku di depan rata-rata sudah diisi,dan supaya kami tidak terpisah , kami biarlah berkumpul di bangku belakang saja.Sayangnya kami belum menyadari bahwa bangku deretan belakang ternyata berada di atas mesin bis yang sangat panas dan mengeluarkan asap yang lumayan mengganggu.Kami baru menyadari setelah supir bis menginjak gas pertamanya.Sungguh menyedihkan.
Bangku bis pun sudah terisi penuh,dan bis bersiap – siap untuk berangkat.Supir bis sudah siap di depan dan seseorang yang ku ketahui sebagai kondektur pun mulai menagih para penumpang.Senior pun kemudian membayar ongkos untuk kami semua.kami pun di berikan semacam karcis.Setelah kurang lebih satu menit berjalan,bis berhenti di sebuah halte.Beberapa penumpang pun naik di pintu belakang dekat kami semua duduk.Kekagetan ku pun bermula,karena tiba-tiba si kondektur berteriak dengan keras “yalla ya syabab khus uddem...yalla..khus ghowwah”.Jantungku pun memompa darah dengan cepat.Aku mengira ada yang salah dengan kami karena terlihat si kondektur menatap kami dengan tatapan tajam.Aku pun mencoba untuk tetap tenang meskipun jantung ku hampir copot rasanya.Beberapa saat kemudian bis pun berhenti di halte berikutnya,beberapa orang naik dan kejadian tadi pun mulai lagi,sang kondektur berteriak dengan keras dengan kata-kata yang sama “yalla ya syabab khus uddem...yalla..khus ghowwah”.Dengan wajah pias, kutatap senior ku.Senior ku Cuma tersenyum dengan kekagetan ku.
Itulah fenomena “horror” kedua yang kurasakan ketika baru berada di mesir.Bahwa ternyata suara orang mesir itu “SANGAT KERAS SEKALI” dan mereka “SUKA TERIAK-TERIAK”.Aku tidak tahu penyebabnya.Yang ku tahu dulu waktu di indonesia hanya mereka yang tinggal di pesisir pantai yang teriak keras,itupun karena dipengaruhi oleh angin laut yang kencang yang membelokkan arah suara mereka.Kairo sendiri jauh dari pantai.
Fenomena menarik yang kutemukan di mesir adalah penumpang,supir dan kondektur yang tidak Bis-iawi dan tentunya kurang manusiawi.bayangkan saja jumlah penumpang ternyata sering melebihi jumlah kursi yang disedikan bis.Bis sedianya hanya menyediakan kurang lebih 40 kursi namun yang berdiri di sela2nya bisa mencapai jumlah yang sama,bahkan lebih.
Perjalanan menuju Kampus Universitas Al-Azhar ternyata lumayan jauh.Kurang lebih membutuhkan waktu 1 jam untuk sampai ke halte Masyikhoh azhar tempat kami akan turun.Ketika turun bis aku sempat berpikir bagaimana jika aku yang berada dalam posisi berdiri dalam bis tadi.Kalau Cuma sekedar berdiri sendirian saja sih tidak masalah,parahnya harus berdiri diantara keringat dan bau manusia yang panas,satu jam lagi.Di kemudian hari , hal –hal yang kuceritakan ini akhirnya telah menjadi kebiasaan sehari-hari dan kucoba untuk menikmatinya.
Kesulitan dalam memahami bahasa arab amiyah mesir sejujurnya menjadi kendala terbesar dalam bersosialisasi disini.Sering terjadi hal- hal yang membuatku salah sangka terhadap omongan orang sekitar (orang mesir tentunya).Apalagi karena omongan mesir dilakukan layaknya mereka saling berbicara dari tempat yang jauh,berteriak dengan suara yang keras.Pada masa-masa awal di mesir hal ini sering ku alami.Jantungku hampir mau copot setiap kali orang mesir berteriak (atau sekedar bertegur sapa) di sampingku.Belum lagi horror kalau tiba-tiba orang mesir menanyakan sesuatu kepada kami dengan bahasa amiyah yang cepat dan sulit dipahami.Untungnya senior mengajarkan kami kalimat pamungkas untuk menolak pembicaraan orang mesir, bunyinya “ ma’lesy,ana musy fahim,ana gadid hena” (maaf,aku tak paham,aku baru disini).Sungguh ungkapan kejujuran yang lugu namun diucapkan dengan penuh keikhlasan.
***
Di kemudian hari,ketidak-tahuan akan bahasa arab amiyah mesir membuat horror yang paling parah ku alami selama di mesir...(bersambung)
0 komentar