Kisah Imam Abu Yusuf saat remaja
10:28 AM
Lemah Lembut [Part 3]
Alkisah, Imam Abu Yusuf pun beranjak remaja. Ia tumbuh menjadi
pemuda yang cerdas, ilmu agamanya sangat dalam. Itu semua adalah berkat
bimbingan Imam Abu Hanifah. Tak pernah sekalipun Abu Yusuf absen di majelis
tersebut.
Suatu ketika, Imam Abu Yusuf dilanda sakit yang begitu parah.
Sakit tersebut membuat beliau tidak bisa hadir di majelis Imam Abu Hanifah.
Saking parahnya sakit yang beliau derita sampai beliau tidak bisa bangun dari
tempat tidur bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulut beliau.
Ketidak hadiran beliau di majelis tentu saja menarik perhatian
Imam Abu Hanifah. Selepas majelis pun, Imam Abu Hanifah pergi ke rumah Abu
Yusuf untuk menjenguknya. Melihat gurunya datang, Imam Abu Yusuf pun sedih
lantaran beliau tidak bisa berdiri menyambut kedatangan gurunya bahkan tidak
bisa mengucapkan sepatah kata pun. Imam Abu Hanifah pun tak kalah sedihnya
melihat kondisi sakit yang dialami oleh muridnya. Sakit tersebut di mata beliau
seolah-olah akan berujung kepada kematian. Saking sedihnya, saat Imam Abu
Hanifah keluar rumah, ia pun berkata-kata sendiri “Wahai Abu Yusuf, Sesungguhnya
aku benar-benar mengharapkan kamu akan menjadi penggantiku di Majelis”. Sebuah
perkataan yang menyiratkan kerasnya sakit yang dialami oleh Abu Yusuf hingga
seolah mendekati kematian.
Selama Abu Yusuf sakit, Imam Abu Hanifah selalu mengulang-ulang
perkataan tersebut di Majelisnya. “Sesungguhnya aku benar-benar mengharapkan
Ya’qub (Nama Asli Abu Yusuf) akan menjadi penggantiku di Majelis”, beliau lalu
memuji-muji ketinggian ilmu yang sudah dimiliki oleh Imam Abu Yusuf muda. Para
hadirin pun terkesima dengan pujian tersebut, menurut mereka ketinggian Ilmu
yang dimiliki oleh Abu Yusuf muda sudah pantas untuk menjadi guru di majelis
sebagaimana pujian Imam Abu Hanifah.
Berkat izin Allah, beberapa hari kemudian sakit Abu Yusuf pun
sembuh. Beliau pun membersihkan diri, memakai pakaian yang bagus dan menyiapkan
buku untuk hadir di majelis Imam Abu Hanifah. Di tengah perjalanan, beliau pun
disapa dan dipuji oleh masyarakat yang mendengarkan persaksian dan pujian Imam
Abu Hanifah terhadapnya. “Kenapa engkau masih mengikuti majelis Imam Abu
Hanifah ? sungguh Imam Abu Hanifah telah memberikan persaksian atas tingginya
ilmu mu. Sungguh, engkau telah pantas
untuk membuka majelis ilmu dan menjadi pengajar disana”.
Sebagai seorang pemuda, rasa Pe-de Abu Yusuf muda pun muncul. Ia
pun datang ke Masjid tempat Majelis Imam Abu Hanifah berlangsung. Sesampai disana, ia tidak bergabung ke
Majelis Imam Abu Hanifah, tapi pergi ke pojok Masjid dan mendirikan halaqah
ilmu sendiri disana. Beberapa penuntut ilmu yang sudah mengetahui ketinggian
Ilmu Abu Yusuf pun bergabung ke halaqahnya.
Imam Abu Hanifah yang waktu itu ada di Masjid pun bertanya pada
hadirin “Siapa Syekh yang ada disana ?” (padahal beliau sendiri sudah tahu
bahwa muridnya yang paling pintar yaitu Abu Yusuf lah yang mengajar disana).
Para Hadirin pun menjawab “Itu Halaqah Abu Yusuf wahai Imam”. “Apakah ia sudah
sembuh dari sakitnya ?” tanya Imam Abu Hanifah. “Iya Syekh, dia sudah sembuh”
jawab para muridnya.
“Lalu kenapa ia tidak bergabung dengan majelisku ?” tanya Imam Abu
Hanifah lagi.
“Setiap orang yang mendengar engkau bersaksi atas ketinggian
ilmunya telah mengajaknya untuk duduk mengajar manusia di majelis tersendiri
dan ia merasa sudah cukup serta tidak butuh ke majelis engkau lagi wahai guru”,
jawab para muridnya.
Secara adab, sebenarnya sikap Abu Yusuf itu kurang sopan, karena
adab dalam majelis, ketika masih ada ulama yang ilmunya lebih tinggi dari kita
(apalagi Abu Yusuf adalah Murid Abu Hanifah) maka harus disilahkan beliau
dahulu untuk mengajar Atau, setidaknya ada izin dari beliau untuk mengajar.
Nah, untuk menegur hal ini, Imam Abu Hanifah tidak bersikap frontal. Beliau
malah tersenyum dan ingin memberikan pelajaran kepada Abu Yusuf muda dengan
cara yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan.
Imam Abu Hanifah pun bertanya pada murid-murid yang hadir di
majelisnya “Siapa yang mau menanyakan pertanyaan ini pada Syekh Abu Yusuf
disana ?”. Salah seorang muridnya menjawab “Pertanyaan apa itu Imam ?”. Imam
Abu Yusuf berkata “Tanyakan persoalan ini padanya. Ada seorang laki-laki pergi ke penjahit. Ia
meminta pada penjahit tersebut agar mengecilkan pakaian yang ia miliki. Setelah
beberapa hari berlalu, si laki-laki datang ke penjahit untuk menagih pakaian tersebut. Ternyata si
penjahit tidak mau mengakui bahwa ia sudah menerima pakaian dari si laki-laki
untuk dikecilkan. Si laki-laki pun tidak terima dan mengadu pada Hakim. Setelah
diusut, ternyata ditemukanlah pakaian
tersebut lalu diserahkanlah pada si laki-laki.”
“Nah, pertanyaannya : Jika ternyata pakaian tersebut dalam kondisi
sudah dikecilkan dan dijahit, apakah si penjahit berhak menerima upah dari si
laki-laki atas pekerjaannya atau tidak ?”
“Jika ia menjawab “Benar, si penjahit berhak menerima upah” maka
katakanlah “Jawaban engkau salah”. Dan jika ia menjawab “Tidak, si penjahit
tidak berhak menerima upah” maka katakan juga “Jawaban engkau juga salah”.
Si murid pun gembira mendengar masalah ini. Ia pun segera berjalan
ke majelis Imam Abu Yusuf, lalu berkata “Wahai Syekh, Aku punya pertanyaan
untukmu”. Abu Yusuf menjawab “Apa pertanyaanmu ?” Si murid pun menceritakan
kisah dan pertanyaan yang diajarkan oleh Imam Abu Hanifah.
Setelah selesai, Imam Abu Yusuf pun langsung menjawab “Ya, si
penjahit berhak mendapatkan upahnya lantaran ia telah menyelesaikan tugasnya”.
Si murid –sebagaimana yang telah diajarkan oleh Imam Abu Hanifah- langsung
berkata “Engkau salah Syekh”. Abu Yusuf pun termenung. Lalu ia bertanya pada si
murid “Siapa yang menyuruhmu menanyakan persoalan ini ?”. Si Murid pun menunjuk
ke arah majelis Imam Abu Hanifah.
Imam Abu Yusuf pun bangkit dan berjalan ke arah majelis Imam Abu Hanifah.
Setelah sampai, ia langsung bertanya pada Imam Abu Hanifah “Wahai guruku, aku ingin
menanyakan sesuatu kepadamu”. Namun Imam Abu Hanifah tidak mengacuhkannya. Abu
Yusuf pun langsung maju ke arah Imam Abu Hanifah. Lalu duduk dengan takzim dan
penuh perhatian. Ia pun bersimpuh dan bertanya dengan penuh adab pada Imam Abu
Hanifah “Wahai guruku, aku ada pertanyaan untukmu”. Imam Abu Hanifah pun
menjawab “Apa pertanyaan mu ?”
“Engaku sudah mengetahuinya wahai guruku” Ujar Abu Yusuf.
“Pertanyaan tentang baju dan si penjahit ?” kata Imam Abu Hanifah.
“Iya guruku”
“Bukankah kamu adalah seorang syekh yang alim ? pergilah dan jawab
pertanyaan itu dengan ilmumu”
“Bukan wahai guruku, Engkaulah Syekh yang sebenarnya”
Imam Abu Hanifah pun tersenyum lalu menjawab “Untuk menjawab
masalah itu, lihat pada tujuan si penjahit mengerjakan pakaian tersebut. Jika
tujuan awalnya adalah untuk memiliki pakaian itu maka ia tidak berhak
mendapatkan upah. Namun jika ia menyelesaikan pakaian tersebut atas perintah
dari yang punya pakaian, baru setelah itu timbul keinginannya untuk memiliki
baju tersebut, maka ia berhak mendapatkan upah.”
Sejak saat itu, Imam Abu Yusuf langsung menutup majelisnya dan
kembali aktif hadir di Majelis Imam Abu Hanifah. Beliau selalu menghadiri
majelis tersebut sampai Imam Abu Hanifah wafat. Setelah itu, ia lah yang duduk
menggantikan Imam Abu Hanifah sebagaimana harapan gurunya mengajar manusia di
majelis tersebut.
***
Lihat bagaimana indahnya adab yang diajarkan oleh Imam Abu Hanifah.
Ia memberikan pelajaran kepada muridnya dengan cara yang lembut. Tidak dengan
memarahinya, tidak pula dengan membencinya atau memprovokasi orang lain agar
menjatuhkan Abu Yusuf. Imam Abu Hanifah memberikan pelajaran yang bukan hanya
menambah kepintaran Abu Yusuf dalam ilmu, namun juga dengan memberikan
pelajaran agar Imam Abu Yusuf tidak meremehkan ilmu dan menghadiri majelis
ulama walau sudah memiliki ilmu yang tinggi.
Hari ini kita sudah jarang melihat keindahan budi dan
kelembutan yang seperti ini. Kita maunya memberikan pelajaran dengan bersikap
frontal dan tak jarang kasar serta keras. Sayangnya, bukan pelajaran yang
didapatkan oleh orang namun malah hati diliputi kekesalan akibat pelajaran yang
kita berikan.
Semoga Ramadhan kali ini membuat hati kita semakin lembut,
mulut kita semakin lembut dan seluruh tingkah laku kita diliputi dengan
kelembutan dan kasih sayang.
Allahumma Aamiin.
0 komentar