Kisah masa kecil Imam Abu Yusuf
11:25 AM
Lemah Lembut [Part 2]
Imam Abu Yusuf – salah
seorang murid Imam Abu Hanifah dan Hakim Agung pada masa Khalifah Harun
Al-Rasyid – pada masa kecilnya adalah seorang yang sangat miskin dari keluarga
yang juga sangat miskin. Beliau pernah berkata : “Ayahku wafat ketika aku masih
kecil. Ibuku lalu membawaku kepada seorang penjahit agar aku belajar Ilmu
menjahit”.
“Suatu hari, saat
aku pergi menuju tempat si penjahit tersebut, aku melewati majelis ilmu Imam Abu
Hanifah. Aku pun tertarik lalu duduk mendengarkan pengajaran beliau. Saat itu,
tiba-tiba ibuku datang lalu menarik tanganku. Ibuku pun menarikku keluar dari
majelis itu lalu membawaku ke tempat si penjahit.”
“Hingga, pada suatu
hari, aku pun memutuskan untuk meninggalkan kursus menjahitku. Aku hanya ingin menghabiskan
waktuku hadir di majelis ilmu Abu Hanifah. Aku pun benar-benar melakukannya.
Beberapa waktu pun akhirnya Ibuku datang kepada Imam Abu Hanifah sambil
marah-marah.”
Ibuku berkata pada
beliau : “Anakku ini adalah anak yatim. Kami tidak memiliki apa-apa selain
hasil pekerjaanku memintal benang. Oleh karena itulah aku ingin anakku belajar
menjahit agar ia bisa membiayai hidupnya. Namun lihatlah sekarang, engkau telah
merusak anakku”.
Imam Abu Hanifah
berkata : “Tenanglah buk. Ia sekarang sedang belajar ilmu agama. Kelak, suatu
hari nanti ia akan menyantap Faluzaj bercampur minyak Gajus” (sejenis makanan
mewah yang hanya dihidangkan dan dimakan oleh raja-raja dan orang-orang kaya
masa itu).
Namun, ibu beliau
malah semakin marah. Ia berkata “Engkau orang tua yang benar-benar menyebalkan”
sambil berlalu meninggalkan majelis Imam Abu Hanifah.
Dalam riwayat lain
diceritakan bahwa Imam Abu Hanifah berkata pada ibunya : “Berapa penghasilan
yang didapatkan oleh Ya’qub (Nama Asli Imam Abu Yusuf) setiap harinya ?”.
Ibunya pun menjawab : “Sekitar 2 Dirham”. Imam Abu Hanifah berkata : “Suruhlah
Ya’qub untuk hadir setiap hari di Majelis Ini, dan aku akan berikan padanya
Uang 2 Dirham sesuai pendapatan yang ia peroleh setiap harinya”.
Sejak saat itu pun
Imam Abu Yusuf selalu hadir di Majelis Imam Abu Hanifah. Beliau pun menjadi
murid paling hebat, hingga kelak beliau menjadi pengganti Imam Abu Hanifah di
majelis Ilmu tersebut. Beliau juga orang yang paling berjasa menyebarkan mazhab
Hanafi. Kemampuan beliau dalam ilmu tidak usah diragukan lagi. Hidup beliau
diisi dengan ilmu. Bahkan dikisahkan saat sakaratul maut pun beliau masih
sempat menyelesaikan sebuah kasus fiqh (Insya Allah kita tulis di tulisan
lain).
***
Ada banyak pelajaran
dari kisah ini, namun yang saya ingin sorot adalah bagaimana kepiawaian Imam
Abu Hanifah dalam merangkul Imam Abu Yusuf kecil dengan penuh kelembutan. Kelak
hubungan guru dan murid ini benar-benar membuat kita iri. Kelembutan Imam Abu
Hanifah telah menjadikan Abu Yusuf bertahan di majelisnya dan terus belajar
hingga menjadi alim dan faqih yang luar biasa.
Kita akan sering
temukan orang-orang yang berubah di tangan orang-orang yang lembut. Kelembutan
orang lain padanya, telah membuat hatinya begitu tersentuh hingga akhirnya ia
pun menjadi orang yang luar biasa. Sungguh salah kaprah jika dengan bersikap
kasar kita dapat memaksa orang lain untuk mengikuti kita. Kekasaran mungkin
akan membuat orang tunduk, namun itu tidak akan bertahan lama. Kelak, saat
orang-orang yang mendapat perlakuan kasar dari kita telah mempunyai kekuatan,
maka sikap kasar kita tidak akan ada efeknya lagi. Kita pun akan menuai apa
yang telah kita tanam.
Berlemah lembutlah !
Dunia, kehidupan, dan segala isinya ini telah membuat kita serta manusia
disekeliling kita menjadi orang-orang yang berhati kasar. Maka, tugas kita lah
untuk melembutkan kembali. Melembutkan hati kita, dan orang-orang disekeliling
kita. Yakinlah, betapapun kasarnya seseorang, ia tetap memiliki celah hati yang
ingin disentuh dengan kelembutan. Sentuhlah ia dengan sikap dan tutur kata yang
lembut. Niscaya, ia akan luluh.
***
Suatu ketika, Imam Abu
Yusuf yang sudah menduduki jabatan sebagai Hakim Agung, duduk bersama khalifah
Harun Al-Rasyid. Saat itu, ia dihidangkan kue yang begitu mewah. Imam Abu Yusuf
berkata: “Aku tidak mengenali kue itu karena belum pernah melihatnya seumur
hidupku.”
Harun Al-Rasyid berkata
kepadaku: “Wahai tuan Hakim, cicipilah makanan ini. Tidak setiap hari kue ini
bisa dibuat untuk kita nikmati.”
Aku bertanya: “Apa
nama kue ini, wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab : “Ini Faluzaj
bercampur minyak gajus.”
Mendengar itu, Imam
Abu Yusuf tersenyum. Khalifah Harun Al-Rasyid pun bertanya: “Kenapa engkau
tersenyum?” Abu Yusuf berkata: “Tidak ada apa-apa, tuanku.”
Khalifah terus merayunya:
“Beritahukanlah padaku.” Maka Abu Yusuf pun menceritakan kisah dirinya seperti
di atas, dari awal hingga ke akhirnya.
Mendengar kisah ini,
Harun Al-Rasyid menjadi sangat terpana. Beliau berkata: “Sesungguhnya ilmu
dapat bermanfaat dan mengangkat derjat manusia di dunia dan di akhirat. Semoga
Allah merahmati Abu Hanifah, beliau mampu melihat dengan mata akalnya sesuatu
yang tidak terlihat oleh mata kepalanya.”
0 komentar