Kaedah "Yang mahal, Yang lebih Baik"
4:15 PM
Kadang saya heran dengan nalar beberapa masyarakat hari ini dalam memilih produk.Entah darimana kaedah “Yang mahal adalah yang lebih baik” muncul,yang jelas hari ini saya,anda dan kita semua akan sering temukan bahwa salah satu sebab seseorang dalam memilih produk adalah harganya yang bersaing.Saya tidak tahu dan tidak punya ilmu tentang teori-teori ekonomi.Jadi anggap saja tulisan ini curhatan saya.
Nalar ini bukan hanya berada di sektor ekonomi profit saja, namun sudah menjalar ke wilayah-wilayah yang sebenarnya bukan “kerjanya” ekonomi.Coba kita lihat sekarang,Di wilayah pendidikan , salah satu faktor dalam mengambil dan memilih sebuah institusi pendidikan adalah harga “SPP” nya yang mahal.Bahkan sampai di wilayah agama macam pemilihan Ustadz untuk ceramah dan khutbah, cenderung memilih yang “standar” uang sakunya besar.
Mirisnya, Kaedah diatas akhirnya menjadi standar baku subjek pasar dan produsen produk itu sendiri.Harga-harga barang dinaikkan dan diletakkan di tempat yang memiliki prestise tinggi macam di Supermarket.Walhasil kalau penjual ingin barangnya laku,ia harus merombak “toko kecilnya” menjadi sebuah market “agak” mewah.Dan jadilah para pedagang asongan, pedagang kaki lima dan pedagang emperan menjadi bulan-bulanan.padahal seringkali produl yang dijual adalah sama kualitasnya, bahkan sama source-nya.
Di wilayah pendidikan, setiap sekolah mau tak mau menaikkan uang “SPP” dan uang-uang lainnya.Sekolah dibikin macam kerajaan bisnis Trump dengan gedung-gedung tinggi dan tata ruang yang elit.Sehingga jadilah sekolah-sekolah rakyat menjadi korban.Ditinggal peminat,ditinggal murid, ditinggal guru , lalu mati tergeletak.
Bahkan di sektor agama pun , memilih para da’i dan ustadz dibikin layaknya memilih alat kecantikan di Pasar.Da’i yang keren,penampilan menarik, akan menerima “uang saku” yang tinggi.Jangan hiraukan “ustadz-ustadz kampung” yang meskipun ilmunya mumpuni , namun masih sering memakai sarung dan kopiah butut.Semakin tenar Da’i , semakin tinggi “harganya”.
Padahal - meminjam bahasa ilmu qawa’id Fiqhiyah – sebuah produk dinilai dari “maqoshid” atau tujuan yang ada pada produk itu sendiri.Kita mungkin masih ingat iklan salah satu produk pembasmi Nyamuk “yang lebih mahal banyak , namun tiada yang lebih bagus dari Kit”.Mahal bukanlah patokan murni dalam memilih yang terbaik.Kita memilih celana jeans misalnya, bukanlah dari harganya tapi kualitas barangnya.Kita memilih tas , baju , sepatu dan barang-barang lainnya , bukanlah dari Harganya saja, sehingga ketika datang ke toko mereka yang ditanya pertama kali adalah “bagaimana kualitasnya ? terbuat dari apa ?” baru kemudian bertanya “harganya berapa ?” tidak malah terbalik menanyakan harganya terlebih dahulu.
Dalam pemilihan sekolah pun seperti itu , sejauh mana sekolah itu telah memberikan kontribusi pada pendidikan lebih kita dahulukan ketimbang sekedar bertanya “Uang SPP-Nya” berapa ? Kualitas pendidikan harus kita dahulukan dari bertanya “Setahun habis berapa ?”.Toh yang akan kita ambil adalah ilmunya, bukan kemewahannya.Banyak hari ini sekolah yang biasa-biasa saja lalu dianggap mumpuni lantaran Uang SPP-nya tinggi , gedungnya mewah , fasilitas nya High Class.Padahal tidak jarang sekolah dengan modal kelas , duduk di tikar , tanpa uniform , banyak menghasilkan orang-orang dengan kualitas super karena kualitas didik-nya memang bagus.
Begitu pula dengan para da’i dan ustadz.Standar memilih mereka seharusnya adalah kualitas ilmunya dan kualitas penyampaiannya , bukan tampilannya dan bukan pula “Harga”nya.Toh yang kita ambil dari mereka adalah ilmunya , bukan “ketampanan”nya , bukan Pula “guyonan”nya.Saya teringat kondisi di mesir,seringkali yang ceramah itu adalah Professor dan Doktor di Universitas Al-Azhar, dengan penampilan sederhana namun kualitas ceramahnya sangat mengagumkan.Hampir seluruh ucapannya adalah ilmu.
Meskipun begitu , saya tidak menafikan banding lurus antara baiknya sebuah produk dengan harganya.Saya hanya mencoba “bertanya” kenapa harus menjadikan Harga sebagai standar awal , bukan “Maqoshid” dari Produk tersebut.Apakah ini salah satu dari sekian banyak bukti bahwa masyarakat kita sedang dibodoh-bodohi ? atau sebenarnya kita sadar namun tidak mampu melawan dan akhirnya terseret zaman ? wallahu a’lam...semoga Ramadhan kali ini menjadikan kita lebih cerdas.
Haa tiba-tiba saya diingatkan dengan kondisi masisir (mahasiswa indonesia di mesir) yang dalam minggu-minggu ini akan melaksanakan suksesi Pemilihan Umum Raya dimana di arena ini akan terpilih Presiden PPMI untuk satu periode kedepan.Semoga para pemilih tidak lagi menjadikan “Prestasi Pribadi untuk Pribadi” sebagai standar memilih yang terbaik.Standar dari ini lebih baik mungkin adalah kualitas pengalaman , kekuatan analisa , serta kemampuan menyelesaikan masalah dengan bacaan hasil analisa.Tak pula ketinggalan adalah sejauh mana Sang Calon memiliki Track Record bagus dalam membangun komunikasi dengan semua pihak dan merangkul semua golongan tanpa ada “wayang di belakangnya”.Selamat memilih (maaf saya golput).
0 komentar