Nasehat Ayah (Bagian 2)
12:28 AM
Bagian
2. Filosofi merantau Ayah
Motivasi
merantau bagi orang minangkabau itu bermacam-macam. Kalau kita tilik dari
filosofi karatau madang di ulu, di rumah babungo balun, ka rantau bujang
daulu, dirumah baguno balun, bisa kita simpulkan bahwa merantau secara
tidak langsung adalah lari dari getirnya hidup di kampung. Adat di minang
meniscayakan bahwa seorang laki-laki itu harus berdaya guna. Ia harus mampu
mengangkat dan mempertahankan derajat dan kehormatan keluarganya. Laki-laki
yang tidak bekerja dan berusaha itu aib. Makanya, ketika potensi tersebut
tidak/belum bisa diberdayakan di kampung, anak laki-laki minang pun merantau
dengan harapan bisa “mambangkik batang tarandam”, sebuah filosofi agar ia harus
sukses dan bermanfaat bagi keluarga dan kampungnya.
Motivasi
lain yang saya temukan juga adalah untuk melarikan diri dari getir asmara.
Pahitnya putus bercinta seringkali menjadi alasan merantau anak bujang minang.
Tak heran lagu bertemakan merantau atau “bajalan” agak identik dengan seseorang
yang tidak kuat menahan beban asmaranya. Ia pun merantau untuk merubah nasibnya
serta untuk menghilangkan duka.
Selain
itu, merantau juga kadang dijadikan sebagai ujian kedewasaan. Bagi yang pernah
menonton film ‘Merantau’ pasti masih ingat bahwa salah satu motivasi tokoh
utamanya adalah sebagai ujian kehidupan. Ia ingin melihat dunia luar agar bisa
men-daya guna-kan ilmunya. Perlu diketahui, dahulu setiap anak bujang minang
–sebelum merantau- setidaknya menguasai 4 hal : Bapamahaman Islam, Bapasambahan
atau Bapanitahan,Ba Silek, Badendang.
Bapahaman
Islam artinya bahwa anak bujang Minang memiliki bekal ilmu keislaman yang
nantinya akan ia amalkan dan ia dakwahkan. Bapasambahan atau Bapanitahan
artinya anak bujang minang siap untuk survive dalam kehidupan sosial seperti
apapun. Bapasambahan juga meniscayakan kemampuan perantau bujang untuk mampu
berdiplomasi. Basilek artinya anak bujang minang memiliki olah tubuh yang baik
dan kemampuan bela diri. Hal ini sejalan dengan konsep “Mukmin yang kuat lebih
disukai dari Mukmin yang lemah”. Adapun Badendang meniscayakan kehidupan yang
penuh seni serta hasrat untuk mempertahankan dan melestarikan kebudayaan
negeri.
***
Terlahir
sebagai orang minang asli, dari ayah bersuku melayu minang dan ibu bersuku
jambak, membuat tradisi merantau juga bertahan di keluarga saya. Dalam soal
merantau ini, Ayah saya punya nasehat yang selalu saya jadikan salah satu
filosofi hidup saya “Nak, jika anak pisang tidak dipisahkan dari induknya
maka ia tidak akan pernah bisa tumbuh, berkembang apalagi berbuah. Untuk tumbuh
dan menghasilkan kehidupan baru, ia harus ditanam jauh dari induknya. Dengan
begitu, si anak pisang pun tumbuh dan menghasilkan buah yang baru”.
Di
Keluarga kami, implementasi dari filosofi merantau terbukti dalam aturan tak
tertulis. Aturan itu berbunyi seorang anak laki-laki tidak boleh melanjutkan
sekolahnya setelah SD dekat dari orang tua. Artinya, setelah tamat dari SD,
kami yang laki-laki harus siap untuk memilih sekolah di tempat jauh yang tidak
boleh dekat dari orang tua. Di Keluarga kami, ada 3 anak laki-laki. Kakak
laki-laki saya yang tertua, setamat SD melanjutkan ke salah satu madrasah
tsanawiyah yang cukup terkenal di kabupaten. Jaraknya cukup jauhlah dari rumah.
Kurang lebih sekitar 80 Km. Jarak ini cukup untuk membuat kakak saya tersebut
hanya bisa pulang di waktu libur mengingat padatnya jadwal sekolah.
Saya
sendiri kemudian memilih melanjutkan sekolah di pondok pesantren dimana ayah
saya pernah nyantri dulunya (Adik laki-laki saya pun akhirnya mengikuti jejak
saya). Pondok pesantren tersebut bernama Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)
Canduang. Di pondok ini, saya akan menjalani bukan 6 tahun masa sekolah
menengah seperti yang dijalani oleh teman-teman sebaya. Saya akan menjalani 7
tahun, dimana sebelum memasukan bangku sekolah menengah, ada 1 tahun kelas
persiapan.
Di
pondok inilah saya kemudian menjalani sekolah kehidupan. Hidup jauh dari orang
tua, berada di asrama yang kondisinya memprihatinkan dimana saya hanya bisa
bertahan kurang lebih 2 bulan di asrama itu. Tahun-tahun berikutnya saya
memilih tinggal di kos-kosan bersama santri yang lain.
Selama
di pondok, kadang saya berpikir, kenapa saya harus sekolah jauh-jauh dan
berpisah dari orang tua saya ? bukankah sekolah menengah di dekat rumah juga
tidak jelek-jelek amat ?. Pertanyaan ini pun sering kali dibumbui tangisan
lantaran kangen dengan orang tua. Betapa tidak, umur 11 tahun saya harus
tinggal jauh dari orang tua. Masak sendiri, makan sendiri, cuci baju sendiri,
tidak ada televisi, tidak ada permainan. Komunikasi pun hanya lewat telpon satu
kali seminggu. Itupun sengaja nelpon di warung telpon di pagi hari sebelum
pukul 6 agar biasanya murah.
Pada
akhirnya, setelah menjalani bertahun-tahun perantauan, saya bisa memahami
nasehat ayah saya tadi. Saya pun bersyukur telah diberi “pilihan” untuk sekolah
jauh dari orang tua. Saya bersyukur bahwa merantau telah mengajarkan saya
kedewasaan yang besar kemungkinan tidak akan saya dapatkan jika saya masih
sekolah dekat dengan mereka.
Seperti
kata Imam Syafi’i “Berjalanlah, engkau akan menemukan ganti dari apa yang
engkau tinggalkan”. Kata mutiara imam besar islam ini pun terbukti dalam
perantauan saya. Selama di perantauan, saya menemukan orang tua asuh (yang
sebenarnya pemilik kos-kosan) yang sayangnya luar biasa kepada saya dan
teman-teman di kos-kosan. Di Perantauan juga, saya belajar untuk memahami
karakter masing-masing santri. Di Perantauan juga, saya sempat menjadi idola
ibuk-ibuk dan nenek-nenek pengajian (maklum saya pernah tinggal di masjid aka
jadi marbot dan suka ngasih pengajian juga). Semua ini tidak akan –sekali lagi,
tidak akan- saya temukan jika saya masih berlindung di ketiak orang tua saya.
***
Suatu
saat, jika saya sudah mempunyai anak, nasehat yang sama pun Insya Allah akan
saya turunkan pada anak saya. Saya ingin mereka merasakan nilai yang sama
sebagaimana yang pernah saya alami dengan pengalaman yang berbeda. Karena itu
semua adalah filosofi dari merantau, bertahan dan terus berjuang demi kebaikan
kita.
0 komentar