Imagination Effect pada Teks Al-Qur’an Persfektif Said Nursi

7:01 AM

Imagination Effect pada Teks Al-Qur’an Persfektif Said Nursi

(Sebuah Celotehan Singkat)

Prolog

Tidak ada yang meragukan kemukjizatan Al-Qur’an. Sebagai wahyu terakhir yang turun kepada Nabi Muhammad Saw, Al-Qur’an telah meninggalkan kesan yang begitu menggoda yang membuat semua manusia mengakui bahwa Al-Qur’an benar merupakan Firman Allah. Walau begitu, konsep kemukjizatan itu sendiri masih diselimuti teka-teki. Apa dan bagaimana konkritnya kemukjizatan tersebut sebenarnya ?

Kesimpulannya memang tidak ada kesepakatan di kalangan seluruh ulama tentang konsep kemukjizatan tersebut. Imbasnya adalah setiap orang pun berusaha menggali dan meneliti Al-Qur’an dalam rangka mencoba menemukan konsep tersebut. Implikasinya jelas terlihat hari ini kita temukan dimana-mana ada berbagai macam karya yang mengkampanyekan konsep kemukjizatan Al-Qur’an dari berbagai dimensi dan sisi. Ada yang dari sisi sains teknologi, dari sisi kebahasaan dan sastra, bahkan ada yang dari sisi ruhani dan efek jasmani.

Salah satu ulama yang berkontribusi dalam hal ini adalah Syaikh Badi’uzzaman Said Nursi. Beliau adalah tokoh intelektual sekaligus pejuang bangsa Turki yang hidup rentang tahun 1877 sampai 1960 M. Dalam menggali konsep kemukjizatan Al-Qur’an, beliau mencoba menelitinya dari persfektif bahasa dan sastra serta estetika dari Al-Qur’an itu sendiri.

Sebelum Nursi, sebenarnya sudah ada Abdul Qahir Al-Jurjani yang telah lebih dahulu mengupas kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi bahasa. Lewat teori An-Nazhm-nya, Al-Jurjani mencoba mengupas kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi teks dan susunan redaksionalnya. Menurut teori ini, dimensi kemukjizatan Al-Qur’an bisa kita lihat dari kombinasi teksnya yang serasi dan harmonis serta relasi semantis antara lafaz dengan kandungan maknanya yang defenitif dan sinergis. Teori ini sekaligus menambahkan warna dan wacana baru dalam ilmu balaghah yang spesifik meng-anatomi visi keindahan kata, ungkapan dan retorika, yang oleh Al-Jurjani dituangkan lewat dua karya monumentalnya, Asrar Al-Balaghah dan Dalail Al-I’jaz. Sayangnya, kejeniusan Al-Jurjani dalam merumuskan teori An-Nazhm, tidak dilanjutkan dalam aplikasi secara intensif berbentuk karya tafsir.

Sekian abad kemudian, barulah muncul Said Nursi yang mengembangkan teori tersebut dalam bentuk kajian aplikatif surat Al-Fatihah dan Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 33 sebagaimana yang tertuang dalam karyanya Isyarah Al-I’jaz fi Mazhann Al-Ijaz. Sayangnya, kita pun harus kembali meratap, karena Said Nursi juga tidak berhasil menyelesaikan proyek tafsirnya ini. Prof.Dr. Muhsin Abdul Hamid, seorang pakar tafsir dan pemikiran Islam dari Universitas Baghdad mengatakan dalam pengantar kitab ini “Nampak jelas sekali bagi setiap orang yang mencermati kitab ini berikut sistematika penulisannya, bahwa sesungguhnya Said Nursi hendak menulis sebuah tafsir lengkap. Andai saja sang Ustadz (Said Nursi) ditakdirkan untuk dapat menyelesaikan usahanya tersebut, niscaya dia akan meninggalkan karya tafsir yang balaghi dan filosofi yang sempurna serta komprehensif”. Tulisan ini sama sekali bukan tulisan ilmiah yang ditulis sesuai standarisasi. Tulisan ini hanya celotehan penulis yang begitu tertarik untuk menarasikan apa yang penulis dapatkan dari tulisan Syaikh Badi’uzzaman Said Nursi.

Imagination Effect pada Teks Al-Qur’an Persfektif Said Nursi

Salah satu bentuk aplikasi teori An-Nazhm oleh Said Nursi adalah bagaimana beliau mengungkapkan dimensi kemukjizatan estetika Al-Qur’an yang sangat indah. Bahwa Al-Qur’an memiliki susunan huruf, kata dan kalimat yang begitu menarik untuk diungkap karena memiliki efek tersendiri. Lihat bagaimana beliau mencontohkan aplikasi dari teori tersebut saat meneliti dan menafsirkan Q.S Al-Anbiya’ ayat 46 berikut ini:

وَلَئِنْ مَسَّتْهُمْ نَفْحَةٌ مِنْ عَذَابِ رَبِّكَ لَيَقُولُنَّ يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ

Dan sesungguhnya jika mereka disentuhkan sedikit saja dari siksa Tuhan-mu, pastilah mereka berkata “Aduh celakalah kami, bahwasanya kami adalah orang yang menganiaya diri sendiri”

Ketika menjelaskan susunan redaksional dan diksi dari teks Al-Qur’an diatas, Said Nursi memperlihatkan kepakarannya dalam ilmu balaghah yang belum pernah dikemukakan oleh para pendahulunya. Mari kita simak kajian filologis-semantis yang beliau tampilkan.

1. Kata “Jika” (ان) dalam retorika arab mengandung semantika pengandaian akan sesuatu atau peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Berbeda dengan kata (اذا) yang lebih memberikan makna pasti terjadi. Ketidakpastian tersebut semakin kuat dengan adanya penambahan huruf lam taukid pada kata ان

2. Kata مَسَّتْهُمْ secara etimologis diartikan dengan “menyentuh”. Diksi ini menggambarkan frekuensi pemberian siksa yang lebih kecil dari kata yang lain seperti kata اصاب (menimpa) yang digunakan dalam ayat lain.

3. Kata نَفْحَةٌ dengan tanwin secara gramatikal berposisi sebagai nakirah (undefenitif) mengisyaratkan makna khayali (semu, tak ada, khayalan). Selain itu shigat (bentuk morfologis)-nya sebagai mashdar marrah menunjukkan makna sedikit.

4. Kata من dalam bahasa arab mengandung beberapa makna. Dalam konteks ayat ini, min menunjukkan makna tab’idhiyyah “sebagian dari” (tidak semua).

5. Kata عَذَابِ secara etimologis diartikan dengan “siksaan”. Diksi ini mengindikasikan jenis hukuman yang lebih ringan daripada kata yang lain seperti kata عقاب (kutukan) yang digunakan dalam ayat lain.

6. Kata ربك secara etimologis berasal dari kata kerja رب yang dapat diartikan sebagai “mendidik” atau “merawat”. Kata ini tentu lebih memberikan nuansa kesejukan dan kasih sayang daripada sinonim kata dari asma Allah lainnya seperti Al-Qahhar (Maha Penakluk), Al-Jabbar (Maha Memaksa) atau Al-Muntaqim (Maha Pembalas).

Dari analisa filologis-semantis terhadap diksi dan susunan redaksional ayat diatas, Said Nursi seolah ingin menyampaikan bahwa Al-Qur’an begitu jenius dan brilliant dalam mendeskripsikan siksaan Allah kepada kaum zalim dengan siksaan yang begitu pedih, mengerikan dan dahsyat. Betapa tidak, dengan mengimajinasikan bentuk siksaan Allah yang paling ringan dan paling kecil (sentuhan + sedikit + dari +siksaan + Tuhan-mu) akibatnya begitu pedih sehingga mereka sampai memelas dan meratap “Aduh celakalah kami, bahwasanya kami adalah orang yang menganiaya diri sendiri”. Kalau siksaan yang begitu kecil dan ringan sudah membuat mereka mengerang dan meratap, lalu bagaimana seandainya diberikan siksaan yang berat dan itu pasti terjadi ??!!

Ini adalah jawaban telak bagi Yahudi (dan setiap manusia) yang menyepelekan dan meremehkan siksaan Allah, seperti celotehan Yahudi yang diungkapkan Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 80 “Dan mereka berkata: kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali selama beberapa hari saja”.

Epilog

Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa tema estetika Al-Qur’an adalah salah satu hal paling sulit untuk dinarasikan dalam bahasa verbal. Hal ini mengingat ia lebih menuntut pada visualisasi intuisif dan ekspresi emosi yang terkadang menampik adanya standarisasi. Walau begitu, warisan konsep kemukjizatan Al-Qur’an persfektif Said Nursi ini tetap menjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji. Tentu saja butuh beberapa pendekatan multidisipliner untuk memahami apalagi mengembangkannya lebih jauh. Namun setidaknya, apa yang beliau wariskan telah memberikan wacana baru bagi kita dalam berinteraksi lebih jauh, lebih tinggi, lebih dalam dengan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi kita semua hingga akhir zaman.

Wallahu A’lam bish-Shawab

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images