Sejarah Pensyariatan Puasa Ramadhan
6:49 PMPuasa pada awal Islam
Ada 2 puasa yang telah dibiasakan (wajib) oleh Nabi Muhammad Saw dan umatnya sebelum Allah mensyariatkan puasa di Bulan Ramadhan. Puasa tersebut adalah puasa 3 hari di setiap bulan qamariyah (yang kita kenal dengan puasa Ayyam Al-Biydh, puasa setiap tanggal 13, 14 dan 15) dan puasa di hari ‘Asyura. Puasa ini hukumnya wajib dilaksanakan sesuai hadits dari Jabir bin Samurah ra “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh untuk melaksanakan puasa hari ‘Asyura dan benar-benar mengingakan kami untuk melaksanakannya, kami pun berjanji untuk melaksanakan puasa tersebut disisi Rasulullah. Ketika puasa Ramadhan difardhukan, Rasulullah pun tidak lagi menyuruh kami untuk melaksanakan puasa hari ‘Asyura tersebut” (HR. Muslim).
Tahapan-tahapan pensyariatan puasa Ramadhan
Kemudian pada bulan sya’ban tahun ke dua dari hijrah, Allah pun menurunkan surat Al-Baqarah ayat 183 yang berisi perintah pensyariatan puasa:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Walau begitu, pada tahap awal pensyariatan puasa ini, diberikan pilihan antara berpuasa atau memberikan makan bagi orang miskin, sesuai firman Allah ta’ala pada ayat ke 184:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan sesuai hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud ra, dimana Rasulullah Saw bersabda:
من شاء صام و من شاء افطر
Siapa yang ingin silahkan berpuasa dan siapa yang ingin silahkan berbuka (HR. Bukhari dan Muslim)
Pilihan ini pun akhirnya dinasakh-kan dan ditetapkan bahwa siapa yang menyaksikan bulan (bertemu dengan bulan Ramadhan) maka wajib baginya berpuasa. Tidak ada pilihan memberikan makan orang miskin lagi. Keringanan untuk berbuka hanya diberikan bagi orang yang sakit, dalam perjalanan atau bagi orang yang sudah tua dan tidak sanggup untuk berpuasa. Bagi yang sakit atau dalam perjalanan, harus mengganti (qadha) puasanya di hari yang lain di luar bulan Ramadhan. Sedangkan bagi yang tidak bisa lagi berpuasa (seperti orang tua) tetap diberikan kewajiban memberikan makan orang miskin. Hal ini sesuai firman Allah dalam ayat yang ke 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dari sini dapat kita lihat bagaimana bertahapnya proses pensyariatan puasa bagi umat Islam. Mulai dari kewajiban melaksanakan puasa 3 hari dalam sebulan, lalu puasa hari ‘Asyura selain 3 hari setiap bulan, lalu diwajibkan puasa Ramadhan namun sifatnya pilihan, boleh memilih untuk puasa atau memberi makan orang miskin. Terakhir, kewajiban puasa Ramadhan ditetapkan tanpa ada pilihan bagi orang yang sehat dan bermukim. Keringanan untuk berbuka hanya diberikan bagi yang lagi sakit, dalam perjalanan atau orang tua yang tidak sanggup puasa lagi.
Tahapan pada Bentuk pelaksanaan puasa Ramadhan
Pelaksanaan Puasa pada awal pensyariatan dahulu tidaklah sama dengan cara berpuasa yang kita laksanakan saat ini. Bentuk pelaksanaan puasa pada awal pensyariatan masih sama dengan cara berpuasa umat terdahulu sebelum syariat nabi Muhammad Saw. Bagi orang yang berpuasa, diharamkan untuk makan, minum dan berhubungan suami istri sejak ia tidur selepas terbenam matahari atau setelah salat Isya’, manapun dari dua hal ini yang didapati terlebih dahulu. Jadi, jika seorang yang berbuka puasa ketika terbenam matahari lalu tidur atau salat isya’, maka ia tidak boleh lagi melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Artinya, ia memulai puasa saat itu juga.
Hingga pada suatu hari, ketika Nabi Saw masih hidup, ada seorang sahabat yang bernama Qais bin Shurmah Al-Anshari. Sehari-hari sahabat ini kerja di ladang. Sebuah pekerjaan yang sangat melelahkan dan menguras tenaga. Suatu sore, ketika ia pulang ke rumah, ia bertanya kepada istrinya. “Adakah makanan untuk berbuka puasa ?” begitu ia bertanya. “Tidak ada apa-apa” jawab istrinya, “Tetapi tunggu sebentar, saya akan membeli makanan di warung” lanjutnya.
Maka keluarlah istrinya membeli makanan, sementara Qais bin Shurmah istirahat di rumah untuk menghilangkan lelah. Namun apa hendak dikata, ketika istrinya datang dengan membawa makanan, ia sudah tertidur lelap. “Waduh, sial sekali. Kamu sudah tertidur” sapa istrinya yang menyesalkan suaminya yang sudah tertidur, karena itu artinya makanan yang sudah dibelinya tidak dapat dimakan lagi oleh suaminya. Secara otomatis, Qais harus sudah memulai puasanya sejak saat ia tidur tadi.
Esok harinya ia kembali bekerja di ladang. Karena kemarin ia tidak sempat berbuka setelah lelah bekerja seharian, dan hari ini harus bekerja keras lagi, ia pun jatuh pingsan. Kabar ini pun adukan kepada Nabi Muhammad Saw. Selain kabar tentang Qais yang kelelahan karena tidak sempat berbuka, ada juga kabar sahabat lain yang berhubungan badan dengan istrinya di malam hari.
Dan begitulah, Allah pun menurunkan kasih sayang-Nya dengan mewahyukan Surat Al-Baqarah ayat 187, yang intinya menjelaskan bahwa boleh makan, minum dan berhubungan suami istri sejak matahari terbenam hingga terbit fajar shadiq, walaupun sebelumnya sudah didahului tidur atau salat isya’. Bentuk puasa seperti inilah yang kemudian berlaku seterusnya.
Ada banyak hikmah yang bisa kita gali dari tahapan-tahapan pensyariatan puasa maupun tahapan bentuk pelaksanaannya. Namun apapun hikmah itu, mari kita laksanakan puasa Ramadhan atas dasar ketakwaan dan ketundukan kita kepada Allah ta’ala.
Nb: Sengaja terjemahan Ayat tidak disertakan agar pembaca membuka sendiri tafsir terjemahan dan mulai memaknai al-Qur’an sesuai maknanya, pen.
0 komentar